Budaya Adil Gender: Antara Utopia dan Wujud Akhir Cita-Cita

288

Oleh: Salsabilla Ramadhanty Surachman

Secara terminologi, Gender dimaknai sebagai hasil konstruksi sosial dimana kontruksi tersebut merupakan pembentukkan sistem yang mengkosepsikan bahasa (linguistik) dan kebudayaan. Sedangkan kontsruksi dalam konteks peran gender, berbicara bagaimana kapasitas gender dibangun dari sistematika kebudayaan yang disosialisasikan. Terminologi tersebut menegaskan bahwa gender bicara peran laki-laki dan perempuan yang dikonstruk oleh sosial dan budaya. Namun, proses konstruk yang panjang menimbulkan celah-celah disosialisasi terhadap pemaknaan gender, yang kemudian menciptakan stereotip pada aspek pembagian peran antara perempuan dan laki-laki. Tidak dapat dipungkiri, dalam pembagian kerja-kerja secara substansial, khususnya dalam konteks pembangunan dan ekonomi, eksistensi perempuan menjadi satu hal yang bisa disebut ada atau tiada. Secara continuitas, ketimpangan ini hanya akan membentuk dampak-dampak baru, yang salah satunya berkenaan dengan diskriminasi, subordinasi dan marjinalisasi. Yaitu pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, pemanfaatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya. Lantas, bagaimanakah konsep budaya adil gender dapat mereduksi subordinasi dan marjinalisasi tersebut ataukah hanya sekedar retorik belaka?

Konsep adil gender, sudah digaungkan ketika dunia mulai bekerja secara klasifikal dari era ke era. Hadirnya globalisasi yang terbalut oleh sistem kapitalisme mau tak mau membawa sejumlah perubahan tatanan sosial yang memberikan dampak terhadap banyak hal. Industrialisasi yang masif selama beratus tahun belakangan menjadi salah satu faktor yang membuat peran perempuan mulai terpinggirkan. Pada awalnya perempuan merupakan salah satu sumber daya manusia yang banyak terlibat dalam proses produksi dan pengepakan, seiring dengan munculnya alat-alat serta teknlogi yang lebih canggih, praksis, dan ekonomis, peran mereka pun mulai tergantikan, dan untuk pengoperasian alat-alat serta teknologi tersebut pun dominan dilakukan oleh laki-laki sehingga perempuan mulai kehilangan pekerjaan. Diskriminasi ini juga berarti awal mula dari pemiskinan perempuan serta ketidakmandiriannya secara ekonomi terutama terjadi pada perempuan di masyarakat lapis bawah, sehingga dampak daripada ini juga menciptakan keadaan serta mendorong akan ketergantungan terhadap laki-laki atau suami. Belum lagi, ketika berkelitkelindan bersama sistem yang begitu tersentralisir, dimana hal tersebut justru menggenalisir banyak hal. Jika berbicara secara spesifik, arus gelombang ekonomi pasar bebas mulai membentuk suatu pengukuran yang menentukan standar-standar tertentu. Dimana standar yang ditautkan dalam banyak aspek, dianggap menjadi sebuah tolak ukur substantive yang harus diwujudkan.
Permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan dewasa ini dianggap sebagai satu isu krusial yang akan selalu eksis di berbagai negara. Hanya konteks yang berkaitan dengan cara-cara yang ditempuh bisa jadi berbeda, namun pada intinya sama-sama bertujuan untuk mencapai transisi kesejahteraan keadaan normatif menjadi lebih baik. Tak dapat diingkari lagi, bahwa dalam eksekusinya, pembangunan secara ideal harus menggiring keikutsertaan lapisan masyarakat. Kalkulasi yang terang-terangan mengatakan bahwa dalam segala aspek, partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan selalu menduduki indikator pertama dalam mencapai pembangunan yang paripurna. Dalam bedah kajian literature, saya mencoba menimbang kembali pemikiran filsuf perempuan asal Perancis, Simone De Beauvoir dalam bukunya, “The Second Sex” yang menggambarkan keadaan Eropa yang mempertontonkan kemenohokkan peran perempuan sebagai subjek kedua dalam sistematika sosial, ekonomi maupun politik. Dari kacamata De Beauvoir, eksistensi perempuan seolah tak memiliki “kehadiran”, sebab menurutnya, hanya laki-laki lah yang memberi “pemaknaan” dengan maskulinitasnya. Adanya polarisasi tersebut, membuat banyak perempuan terkungkung, yang akibatnya dilabelisasi sebagai the second sex atau dalam arti lain sebuah subjek yang diobjektifkan sebagai manusia kedua baik secara hakikat sosial, ekonomi hingga politik. Beauvoir mencoba menyentil kita bahwasannya hingga hari ini, perempuan diobjektifikasi sebagai subordinat dalam sistem, yang mana eksistensi perempuan masih dianggap sebagai anomali. Mari kita sepakati bahwasannya perempuan hari ini, bisa mengenyam pendidikan tinggi hingga mendapatkan banyak akses dalam infromasi dan komunikasi. Namun citra perempuan–dalam banyak aspek, masih digambarkan sebagai manusia kedua, persis seperti pemikiran Beauvoir.
Data statistik memperjelas subordinasi perempuan, yang dilihat dari perspektif partisipasi gender dalam data proporsi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) per tahun 2019. Data sekunder tersebut, membuktikan bahwa presentase pastisipasi perempuan dalam pembangunan hanya sebesar 69,18%. Perbandingannya jauh lebih rendah dari partisipasi laki-laki yang menyentuh angka 75,96%. Selisih yang cukup signifikan hingga menyentuh angka 6,78%. Kondisi tersebut, kemudian menegaskan bahwa peran serta perempuan di dalam pasar kerja masih sangat minim. Hal tersebut dibahas dalam kajian dalam Feminis Sosialis-marxis, yang mana menjelaskan ihwal pembagian kerja sesuai dengan gendernya. Dalam hal ini, perempuan yang memilih untuk bekerja memiliki hambatan, yang pertama sistem kapitalisme dan yang kedua sistem patriarki. Kapitalisme, sebuah ideologi yang berkenaan konsep efisiensi modal, menginginkan tenaga kerja dengan upah murah, dimana hal tersebut bertujuan untuk meringankan beban kos dari faktor produksi, berupa tenaga kerja murah. Dengan pengeluaran produksi yang murah, maka akan dapat menetapkan harga pada output yang dihasilkan, sehingga oiutput tersebut dapat bersaing dalam pasar bebas. Tentu saja, sistematika pasar dan kapitalis semacam itu, akan mengalirkan keuntungan yang besar bagi para pemilik kapital, namun tumpul terhadap pekerja. Disisi lain, masuknya sistem patriarki dalam pasar, juga menindas perempuan dengan memangkas kuantitas pekerja perempuan, dan lebih banyak memperkerjakan tenaga kerja laki-laki.

Femisnisme Serta Upaya Mewujudkan Budaya Adil Gender: Retorika Belaka?
Peristiwa ketimpangan gender merupakan manifetasi nyata yang merepresentatifkan cacatnya distribusi intelektual dalam masyarakat. Padahal, Karl Marx dalam teorinya pernah menyinggung perihal peran perempuan dalam tatanan sosial. Marx mengemukakan antithesis dari sistem pembangunan patriarkis dengan menyatakan bahwa perempuan berperan penting dalam kemajuan sosial. Manifestasi ujud pemikiran Marx, mengalir kedalam gerakan feminis sosialis yang dimaksudkan untuk mengkritik struktur patriarki serta mengubah struktur tatanan masyarakat menjadi lebih adil.

Perubahan tersebut dapat dicapai melalui peranan perempuan dan laki-laki dimana kekuasaannya dibagi secara merata dan sederajat. Gerakan tersebut juga tak hanya dimaknai sebagai cara untuk menempuh peranan yang setara, namun juga sebagai rantai pembebasan dari berbagai stereotip yang dikotomis antara perempuan dan laki-laki. Feminis sosialis-marxis mencoba menjawab terkait tantangan yang berifat eksploitatif itu. Inti aliran gerakan feminis sosialis-marxis, bertumpu pada keyakinan bahwa sistem kapitalisme merupakan kausalitas penyebab opresi pada kaum perempuan. Sistem kapitalis mengamini bahwasannya pekerjaan perempuan selalu diidentikan dengan ketidakrampungan, misalnya, ketika perempuan tidak melakukan pekejaan A, maka tidak bisa disebut sebagai perempuan.

Kembali lagi, dalam konteks kontruksi sosial dan budaya, Indonesia masih betah menerapkan struktur budaya feodalis, dimana sangat kentara dan menimbulkan efek ketidakberimbangan terhadap konsep adil gender yang didambakan. Relevansi dari konsep keadilan, menurut Aristoteles terbagi menjadi dua. Pertama konteks adil komutatif, yang dalam arti lain yakni keadilan yang sama bagi semua manusia. Misalnya, hak untuk hidup, hak memeluk keyakinan, dan sebagainya. Kedua, konteks adil secara distributive, dimana keadilan disesuaikan dengan peran masing-masing. Misal, berkenaan dengan hak dan kewajiban, hak untuk memilih pekerjaan, hak atas gaji, dan sebagainya. Dalam konsep keadilan kedua, perbedaan kewajiban menimbulkan perbedaan hak. Namun, yang menjadikan konsep keadilan itu menjadi sulit ialah, bagaimana cara mengukurnya? Dalam konteks gender, konsep berkeadilan itu sendiri masih belum menemui substansi pengukuran yang jelas. Dalam eksekusinya masih didapati celah-celah yang menimbulkan bias. Banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Salah satunya ialah kontruks sosial budaya masyarakat yang masih terbalut konservatisme primitif. Karena tak bisa dipungkiri lagi bahwasannya masyarakat Indonesia masih mentaksonomikan banyak hal.

Apakah hal tersebut, berarti ujud adil gender hanyalah retorik saja? Jawabannya adalah, tidak. Memang, dalam konteks apapun, konsep berkeadilan memang selalu akan sulit diimplementasikan karena biasnya alat ukur yang dapat digunakan sebagai tolak ukur. Namun dalam membudayakan adil gender, harus selalu ada pengupayaan agar konstruksi sosial budaya yang konservatis, dapat direduksi. Karena tidak ada yang tidak mungkin dalam mengupayakan cita-cita revolusioner, demikian pula dengan budaya berkeadilan gender yang masih sangat bisa diwujudkan.

Untuk melangkah menuju kesetaraan dan keadilan gender diperlukan sosialisasi di tingkat personal atau individu agar memiliki sensitivitas gender, suatu sikap dan perilaku tanggap dan peka terhadap adanya kesenjangan gender dengan memberi kesempatan dan peluang yang sama untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Sosialisasi pada tingkat lembaga diperlukan untuk mewujudkan responsibilitas gender, entah itu melalui kurikulum pendidikan yang berwawasan gender atau kebijakan yang ditetapkan berdasarkan analisis gender, misalnya menggunakan strategi Pengarusutamaan gender. Pengarusutamaan gender merupakan strategi untuk memasukkan isu serta pengalaman perempuan dan laki-laki dalam suatu dimensi yang menyeluruh dalam rancangan, pelaksanaan, pemantauan, serta evaluasi kebijakan dan program dalam setiap bidang agar perempuan dan laki-laki mendapat manfaat yang sama.
Pengarusutamaan gender dalam pembangunan, khususnya pembangunan kesejahteraan sosial akan memastikan perempuan mampu bertahan hidup dan menjalankan fungsi sosialnya dengan baik. Peningkatan kesejahteraan ekonomi akan meningkatkan posisi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga fungsi sosial dan kesejahteraan sosialnya terpenuhi. Segala bentuk pelibatan dan pemberdayaan perempuan tetap harus mempertimbangkan kodrat alami perempuan itu sendiri dan tidak berarti bersaing dengan laki-laki, serta saling mengisi dan menghargai satu sama lain merupakan wujud nyata bagi terciptanya konsepsi budaya keadilan gender.

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan 

*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis 2018

Comments

comments