Mengkritik Secara Anonim, Bentuk Kebebasan Berpendapat
Oleh: Amelia Wulandari dan Zahra Putri
Bumi Siliwangi, Isolapos.com– Pada era digital yang semakin berkembang, kebebasan berpendapat semakin terlihat melalui fenomena penggunaan akun anonim dalam dunia maya. Dilansir dari Kompas.com, Menfess atau akun base merupakan akun X yang memungkinkan penggunanya mengirimkan pesan dengan identitas anonim. Contohnya, upifess.
Berkaitan dengan hal tersebut, Tim isolapos.com mencoba bertanya kepada Aceng, dosen ahli Linguistik Forensik, untuk mengetahui alasan seseorang lebih memilih berpendapat secara anonim. Menurutnya, hal tersebut tidak bisa dihindari karena teknologi yang terus berkembang. Selain itu, seseorang menggunakan akun anonim karena bisa lebih bebas berpendapat.
“Karena anonim itu secara teknologi virtual itu sangat memungkinkan. Artinya, fitur anonim adalah sesuatu yang niscaya ada, kan, gitu. Kalau nggak ada kan orang nggak akan menggunakannya. Itu pertama, karena ada kan. Yang kedua, ya, orang cenderung untuk merasa lebih leluasa, lebih merdeka, lebih bebas untuk mengungkapkan kritiknya dengan akun anonim,” kata Aceng.
Aceng juga mengatakan dampak mengutarakan pendapat pada ruang virtual secara anonim adalah pendapat yang diutarakan lebih berani. “Kritik sosial jadi lebih berani, lebih langsung, lebih terbuka, lebih blak-blakan daripada di ruang konvensional karena kan ciri-ciri ruang virtual itu cenderung indirect, tidak langsung. Tidak berhadapan-hadapan dengan pihak yang dikritik,” ujarnya.
Aceng tidak memungkiri bahwa akun anonim ini memiliki dampak negatif. “Ini memang bermata dua, akun anonim itu kecenderungannya memang berdampak negatif karena orang jadi bisa lempar batu sembunyi tangan,” katanya.
Menurut Aceng, walaupun kritik menggunakan akun anonim lebih berani, tetapi kita perlu mengonfirmasi ulang kebenarannya. “Nah, dengan ada fasilitas akun anonim, jadi berani. Kenapa nggak? Itu positifnya. Jadi kita tahu apa sebetulnya yang ada di benak masyarakat walaupun itu harus dikonfirmasi kebenarannya karena akun anonim itu cenderung berlebihan, tidak menggunakan data yang memadai,” ujarnya.
Selanjutnya, Aceng mengutarakan bahwa kata-kata kasar yang digunakan saat mengkritik merupakan salah satu dampak dari karakteristik komunikasi di ruang virtual.
“Jadi, saya tidak melihatnya ini sebagai sesuatu yang negatif, tapi kata-kata kasar itu muncul dari pilihan isi yang langsung, yang direct speed, yang lugas, yang terbuka, gitu, ya sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Ini penting dari segi positifnya. Negatifnya, munculnya kata-kata itu bisa merusak relasi,” ungkapnya.
Aceng juga menjelaskan ujaran kebencian pada saat mengkritik orang bisa terkena dampak hukum hanya jika orang yang dikritik merasa dirugikan secara material. “Jadi, hate speech itu adalah menurut undang-undang yang berlaku, ya, Undang-Undang ITE di kita ya Tahun 2016 ya atau pasal 28 itu adalah tindak tutur, ya, yang menimbulkan kerugian material bagi orang lain. Selama tidak menimbulkan kerugian material, itu tidak tergolong sebagai hate speech, ujaran kebencian gitu ya,” jelasnya.
Aceng berharap kita bisa bertindak rasional dan beretika dalam berkomunikasi pada ruang virtual. “Jadi pertimbangan akal sehat itu akan menjadi ukuran, akan menjadi norma. Apakah sesuatu itu layak dilakukan atau tidak, layak dikatakan atau tidak, seperti ini. Hanya, di tengah kehidupan yang rasional itu, kita harus juga berbasis moral, berbasis etika yang berlaku di tengah masyarakat,” kata Aceng.
Acha, seorang mahasiswi Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Perancis mengaku sering berpendapat secara anonim di media sosial dan forum. Ia menjelaskan bahwa alasannya memilih anonim karena bisa berbicara tanpa dipandang sepihak sehingga bisa lebih leluasa untuk mengekspresikan diri. “Alasannya simpel sih, biar aku bisa bebas ngomong tanpa takut direcokin orang atau di-judge. Lagian, kalo anonim lebih gampang ngeekspresiin diri aja.”
Acha juga merasa lebih berani saat berpendapat secara anonim karena tidak ada risiko dicap jelek atau dicibir oleh orang lain. Meskipun demikian, ia menekankan pentingnya menggunakan anonimitas dengan bijak dan menjaga etika dalam berkomunikasi di dunia maya. “Menurut aku, anonim bisa oke kalo digunain dengan bijak, tapi penting juga buat jaga etika dan ga ngelempar kebencian. Kalo semua orang bisa ngomong bebas, dunia maya jadi lebih seru dan berwarna aja,” ungkap Acha.
Berbeda dengan Acha, Rafka salah satu mahasiswa Prodi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) mengatakan dirinya lebih suka berpendapat menggunakan akun pribadi dari pada anonim. “Saya lebih nyaman kalau orang tuh tau siapa yang ngomong. Saya pikir, kalau kita punya pendapat, ya harus berani mengungkapkan dengan identitas kita,” ujarnya.
Meskipun anonimitas dapat membuat orang lebih berani dalam berpendapat, Rafka berpendapat bahwa anonimitas cenderung mendorong perilaku negatif. Ia menegaskan pentingnya berpendapat dengan sopan dan bertanggung jawab. “Saya rasa, berpendapat itu bagus, tapi lebih bagus lagi kalau kita bisa melakukannya dengan sopan dan bertanggung jawab. Jadi, anonimitas bukan pilihan saya,” ungkap Rafka.
Penggunaan akun anonim dalam dunia maya memberikan kebebasan berpendapat, tetapi juga menghadirkan tantangan dalam menjaga etika dan bertindak rasional. Penting untuk menggunakan anonimitas dalam bermedia sosial dengan bijak. []
Redaktur: Razib Ikbal Alfaris