Menggugat Negara atas Pelanggaran Hak Pendidikan
Oleh : Fidya Wiedya
Bumi Siliwangi, Isolapos.com-“Yang seharusnya digugat adalah negara, bukan kampus saja, teman-teman yang selalu melakukan advokasi di kampus-kampus tapi tidak pernah didengar, ini adalah saatnya untuk menggugat negara karena negara sudah melanggar hak atas pendidikan warga negaranya” tegas Panji Mulkillah Ahmad, penulis buku berjudul “Kuliah Kok Mahal”, saat berorasi dalam mimbar bebas yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI.
Mimbar bebas tersebut merupakan bagian dari aksi yang bertajuk “Refleksi Kebijakan Pendidikan 2 Periode Rezim Fasis Jokowi” pada Kamis (08/02), di Depan Gedung Sate, Jl Diponegoro, Kota Bandung. Aksi ini juga beragendakan diskusi yang diisi oleh perwakilan dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung, Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS), mahasiswa dan kalangan masyarakat lainnya. Mimbar bebas dan aksi ini bertujuan untuk menyuarakan keresahan tentang pendidikan.
Panji dan Permasalahan Pendidikan Indonesia
Beberapa waktu lalu, ramai diperbincangkan di berbagai media mengenai Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mengeluarkan kebijakan cicilan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada mahasiswa yang terkendala finansial. Dilansir dari kumparan.com, dalam berita yang berjudul “Heboh ITB Tawarkan Cicilan UKT ala Pinjol, Ada Bunganya”, disebutkan bahwa layanan itu diberikan oleh ITB yang bekerja sama dengan pihak ketiga yakni Danacita. Adapun peminjaman dana yang diajukan tanpa Down Payment (DP) dan jaminan. Mahasiswa yang meminjam dapat memilih opsi pembayaran dalam waktu 6 bulan atau 12 bulan berikut dengan bunganya.
Menanggapi hal tersebut, Panji menjelaskan di dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi No 12 tahun 2012 pasal 76 poin c menyebutkan bahwasannya bantuan yang diberikan dapat berupa pinjaman tanpa bunga dari perguruan tinggi ataupun pemerintah dan pelunasannya dibayar ketika sudah lulus. “Tapi yang jadi masalah saat ini kan pinjamannya itu tidak dibayar saat lulus dan jadi berbentuk tunggakan yang harus dicicil dan itu bukan dari kampus. Kampus bekerja sama dengan suatu lembaga keuangan tertentu. Jadi ini bentuknya transaksi bisnis karena ada bunga. Jadi ini bertentangan dengan undang-undang.” ujar Panji ketika ditemui oleh tim Isolapos.
Menurut Panji, alih-alih pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara, pada kenyataanya pendidikan justru semakin mahal. “Alih-alih diberikan solusi, mahasiswa malah disuruh mengakses pinjaman online.” ucapnya. Ia menambahkan, dari 275 juta penduduk Indonesia hanya 6,41 persen yang pernah merasakan jenjang Pendidikan tinggi, dan mayoritas rakyat indonesia hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Panji lalu mengutip riset yang dilakukan Bhima Yudhistira, seorang ekonom lulusan Universitas Gadjah Mada. Dalam hasil riset yang dilakukan Bhima pada tahun 2020 tersebut, disebutkan bahwa untuk menggratiskan UKT Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia baik negeri maupun swasta hanya membutuhkan Rp 64 Triliun.
“Bagi kita 64 Triliun merupakan angka yang besar, tapi bagi negara apakah itu angka yang besar? Karena nyatanya di tahun yang sama kerugian negara akibat korupsi, (berdasarkan-red) laporan dari ICW (Indonesia Corruption Watch-red) itu sebesar 64 Triliun. Jadi seandainya pejabat-pejabat kita tidak korupsi, itu bisa untuk membiayai UKT.” jelas Panji.
Hal tersebut juga, bagi Panji, menjelaskan bahwa masih ada harapan untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia agar dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, dengan memberantas korupsi sebagai salah satu caranya.
Panji menilai permasalahan UKT bukan hanya permasalahan tingkat kampus tetapi sudah menjadi permasalahan tingkat nasional. Oleh karena itu, selaku perwakilan dari APATIS, Ia menawarkan adanya gugatan hukum secara bersama-sama yang bernama citizen lawsuit. “Jadi gugatannya itu atas dasar kerugian yang dirasakan warga negara. Gugatan ini (diajukan-red) ke pengadilan negeri yang terhubung dengan MA (Mahkamah Agung-red).” jelasnya.
Lebih lanjut, Panji menyebutkan isi gugatannya yang menuntut pemerintah untuk dapat memenuhi hak pendidikan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Gugatannya yang pertama, yaitu pemerintah bisa bertanggung jawab supaya tidak ada pelanggaran hak atas pendidikan. Lalu, dalam gugatan yang kedua, Ia berharap pemerintah memiliki peta jalan untuk mencapai pendidikan gratis. “Karena sudah diatur juga dalam Undang-Undang No 11 tahun 2005 pasal 13, bahwa pendidikan memang harus gratis sampai pendidikan tinggi tapi memang ada tahapannya” tutup Panji.
Redaktur : Harven Kawatu