Kita Masih Rawan Celaka di Tempat Kerja
Oleh : Harven Kawatu
Bandung, Isolapos.com,-Massa aksi kompak meneriakkan “Kami menjual tenaga bukan nyawa. Tempat kerja bukan kuburan bagi kami!” di tengah suara lalu lalang kendaraan pada Minggu (28/04). Mereka berkumpul untuk memperingati Internasional Workers Memorial Days (IWMD) atau Hari Perkabungan para Buruh Sedunia di Taman Cikapayang, Dago, Kota Bandung. IWMD adalah hari yang didedikasikan untuk mengenang para pekerja yang meninggal, sakit, dan terluka karena pekerjaannya.
Kegiatan IWMD 2024 ini dihiasi dengan penyampaian orasi, pembentangan poster dan spanduk, pertunjukan teatrikal, hingga prosesi mengheningkan cipta yang dibalut penyalaan lilin dan penaburan bunga. Adapun poster dan spanduk yang dibentangkan massa bernada kritikan atas tingginya tingkat kecelakaan kerja dan korban penyakit karena pekerjaan di Indonesia. Selain itu, selebaran atau flyer berisi kritikan yang sama juga disebarkan dan dibacakan oleh Fayyad, perwakilan Aksi Kamisan Bandung.
Selebaran tersebut mengingatkan kembali soal kasus-kasus kecelakaan kerja yang menimpa buruh di Indonesia, seperti kasus pekerja PT Kahatex bulan April lalu. Ia juga menjelaskan bahwa potensi terkena penyakit karena pekerjaan dapat terjadi pada semua sektor pekerjaan. Melihat kondisi ini di tengah upah yang minim dan jam kerja yang berat, tentunya memparah kesehatan buruh yang seringkali tidak diperhatikan. “Tidak hanya mengorbankan waktu istirahat, buruh juga dipaksa untuk mengurangi jumlah dan kualitas nutrisi makanan yang dikonsumsinya,” ujar Fayyad saat membacakan isi flyer di depan massa.
Faktor yang memperburuk lainnya ialah jumlah layanan kesehatan yang tidak sebanding dengan jumlah populasi warga. “Tak sulit menduga apabila kondisi kerja yang buruk dan fasilitas kesehatan publik yang buruk turut menyebabkan buruh menjadi korban kecelakaan kerja yang hampir terjadi saban waktu. Sialnya, kondisi nahas ini jarang terungkap, apalagi terdokumentasi oleh negara. Sungguh tidak masuk akal jika Kementerian Tenaga Kerja hanya mencatat 91 kasus penyakit dan 159.127 kecelakaan kerja pada tahun 2023, sementara terdapat 147 juta penduduk yang bekerja.” baca Fayyad.
Nyawa Bukan Statistika
Menurut Ajat Sudrajat dari Local Initiative for Occupational Safety and Health Network (LION) Indonesia, sebuah organisasi non-pemerintah yang berfokus pada isu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), data kasus kecelakaan kerja di Indonesia hanyalah bagian dari fenomena gunung es. “… karena angka kasus kecelakaan kerja itu didapatkan dari laporan perusahaan untuk mendapatkan klaim BPJS Ketenagakerjaan. Sementara itu, masih banyak kasus kecelakaan kerja yang tidak tercatat karena beberapa hal. Pertama, karena mereka (para pekerja-Red) tidak terdaftar sebagai anggota BPJS Ketenagakerjaan. Yang kedua adalah banyak kasus yang ditutup-tutupi untuk menghindari sanksi atau menyelamatkan nama baik perusahaan atau tempat kerja tersebut.” jelasnya.
Dilansir dari lionindonesia.org, berdasarkan Laporan Keuangan BPJS Ketenagakerjaan (2022), tercatat peningkatan jumlah klaim jaminan kematian kerja dari 30.094 (2020) menjadi 104.769 (2021). Kemudian, terdapat peningkatan klaim kecelakaan kerja dari 221.740 (2020) menjadi 234.370 (2021). Sementara itu, menurut laporan Profil K3 Indonesia 2022 (Kemnaker, 2022), tingkat fatalitas Kecelakaan Kerja dan Kematian Kerja mencapai 21,37% per 100.000 pekerja pada tahun 2021. Hal tersebut meningkat dari tahun sebelumnya 11,12% (2020) dan 13,07% (2019).
Bagi Ajat, momen IWMD adalah momen untuk menyadarkan masyarakat bahwa angka kasus kematian ketika bekerja bukan sekedar statistika. Ia ingin para pekerja atau buruh yang meninggal di tempat kerja diingat sebagai manusia yang memiliki martabat dan perlu dipenuhi hak-haknya, bukan sebuah mesin yang dapat diganti ketika tidak dapat dipakai lagi.
“… para buruh pun tidak boleh mendapatkan pelecehan dan juga kekerasan seksual. Para buruh perempuan juga perlu dipenuhi atas hak cuti haid, cuti melahirkan, dan hak-hak kesehatan reproduksi lainnya.” ucap Ajat. Ia menegaskan bahwa mendapat pekerjaan yang aman dan sehat merupakan hak asasi manusia yang harus dijamin pemerintah serta para pemilik modal atau pengusaha.
Bekerja di Luar Negeri Bukan Solusi
Tidak hanya mengangkat isu dalam negeri, IWMD 2024 juga turut menyuarakan permasalahan buruh migran yang terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia. Yulia Rosiana dari Jerat Kerja Paksa hadir sebagai representasi keluarga korban yang dipaksa bekerja dalam bisnis penipuan online (online scamming) di Myanmar. “… tentunya saya berdiri di sini untuk seluruh buruh di Indonesia. Saya pun keluarga buruh dan kakak saya masih terjebak di Myanmar menjadi korban perdagangan orang yang diselundupkan dan dijual sampai berkali-kali.” ucapnya.
Yulia menyebutkan masih banyak warga Indonesia dari berbagai kota yang menjadi korban dan belum kembali sampai saat ini karena terjebak di luar negeri. Merespons hal itu, Yulia dan Jerat Kerja Paksa melaksanakan beberapa upaya, seperti melaporkan kepada kepolisian daerah hingga menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Myanmar untuk segera melakukan evakuasi. “… karena keluarga kami tidak bisa menunggu lagi di sana, bahkan mereka sudah sering banget disekap di sana jika tidak mau memenuhi keinginan mafia-mafia di sana.” jelasnya.
Yulia memaparkan kakaknya sempat belajar di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang terdaftar dan memiliki izin sebelum menjadi korban perdagangan manusia. Hal tersebut membuat Yulia mencurigai bahwa ada kerja sama antara para mafia dan pihak LPK-LPK di Indonesia. “… ini juga menjadi edukasi bagi masyarakat bahwa pihak sekolah yang resmi pun, yang memiliki izin dan terdaftar di Dinas Ketenagakerjaan tidak menjamin mereka itu benar.” katanya.
Yulia berpesan agar masyarakat berhati-hati apabila ingin bekerja di luar negeri. Ia juga meminta pemerintah agar lebih melindungi dan memberikan hak-hak untuk seluruh warga Indonesia.
Selaras dengan Yulia, Ajat mengatakan bahwa pada dasarnya buruh migran merupakan warga negara. Hak para buruh migran sama dengan pekerja pada umumnya, yaitu mendapat penghidupan dan pekerjaan yang layak. Sayangnya, seringkali mereka dianggap sebagai buruh yang unprocedural.
“Pada kasus buruh migran, mereka (buruh migran-Red) dianggap sebagai buruh yang unprocedural, pekerja yang nakal gitu, tapi kan hal yang mendasari mereka (bekerja ke luar negeri-Red) adalah ingin mendapatkan kehidupan yang layak dan negara tidak bisa menghadirkan itu di tempat tinggalnya.” tutup Ajat.
Redaktur : Amelia Wulandari