
Surat Terbuka untuk Jokowi dari Keluarga Korban Kerja Paksa: Negara Harus Segera Bertindak!
Oleh: Abellinda Rahmah Oktaviani
Indonesia, Isolapos.com,-Bertepatan dengan Hari Anti Penyiksaan Sedunia pada Rabu (26/06), keluarga dari delapan orang WNI yang menjadi korban kerja paksa di Myawaddy, Myanmar mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Isi surat tersebut meminta agar Presiden segera membebaskan keluarga mereka dari jerat kerja paksa dan penyiksaan yang sudah menanti pembebasan selama dua tahun.
Dalam rilis resmi Solidaritas Korban Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan Siber, pihak keluarga telah menanti pembebasan dan kepulangan korban selama dua tahun, padahal mereka sudah mengadu ke berbagai lembaga.
“Sudah dua tahun kami menanti pembebasan dan kepulangan mereka. Kami tidak menunggu dengan hanya duduk manis. Kami sudah mengadukan apa yang dialami keluarga kami ke pemerintah,”Sebagaimana tertulis dalam rilis yang diterima Isolapos.
Dalam rilisnya, mereka mengadu ke lembaga-lembaga seperti Kementerian Luar Negeri–Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia, Kedutaan Besar Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Lembaga pengiriman Tenaga Kerja, hingga pemerintah daerah tempat mereka tinggal.
Di balik hal tersebut, para korban masih dapat berkomunikasi dengan keluarganya melalui telepon seluler secara sembunyi-sembunyi, sehingga terkumpul beberapa informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi disana. Mirisnya, informasi tersebut membuktikan bahwa banyak perlakuan yang tidak baik terhadap keluarga mereka.
“Dari komunikasi tersebut kami mendapat sedikit informasi tentang kondisi mereka. Sudah terperangkap di negeri asing, kondisi mereka sangat memilukan: disuruh bekerja selama 12 hingga 18 jam kerja; disiksa bila tidak memenuhi target dan dipaksa masuk ruang penjara/isolasi yang disebut sebagai “sel hitam”, …” tulis Solidaritas Jerat Kerja Paksa.
Solidaritas Jerat Kerja Paksa selalu berusaha untuk menuntut hak karena sejatinya tidak ada pembenaran untuk melakukan tindakan penyiksaan. “Kami percaya bahwa tidak ada satu pun manusia yang pantas untuk disiksa dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, karena sudah pasti merupakan tindakan melawan hukum.” sebagaimana tertulis dalam rilis.
Adapun tuntutan yang diajukan dalam surat terbuka tersebut, yaitu:
- Mengerahkan segala daya upaya untuk segera membebaskan dan mengevakuasi Warga Negara Indonesia yang terjebak dan dipekerjakan secara paksa di Perusahaan Penipuan Daring di Myanmar mengingat bahwa sudah 2 (Dua) Tahun mereka berada di sana dengan kondisi buruk,mengalami penyiksaan dan perendahan martabat.
- Meminta Pemerintah Indonesia dan Kepolisian untuk dapat menangkap segera para Mafia, yang mengatur dan memberangkatkan pekerja , yang saat ini masih berkeliaran, mengingat kami sudah melaporkan tindak pidana yang telah mereka lakukan;
- Meminta agar seluruh jajaran pemerintah yang bertanggung jawab terhadap masalah ini untuk dapat lebih berempati terhadap korban dan keluarganya serta menunjukkan komitmen yang serius dalam upaya penanganan persoalan ini.
- Menjamin para korban dan keluarganya bisa mendapatkan reparasi yang efektif dan menyeluruh sesuai dengan standar-standar hukum internasional.
Mengutip dari BBC News Indonesia, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Nugraha, Judha Nugraha, mengatakan telah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan WNI tersebut, salah satunya melalui penyampaian nota diplomatik kepada Kemlu Myanmar dan melakukan koordinasi dengan Perwakilan Negara Asing di Myanmar yang menghadapi kasus serupa antara lain Sri Lanka, RRT, Filipina, Vietnam, Thailand, Nepal, dan India.
“Sejauh ini tantangan yang kita hadapi di lapangan adalah otoritas Myanmar tidak memiliki kontrol penuh terhadap lokasi-lokasi online scammer yang ada di Myawaddy maupun Hpa Lu,” tutur Judha kepada BBC News Indonesia.
Hingga kini, Nurmaya, Yulia Rosiana, Yuli Yasmi, Tan, Selvi, Laily Rosidah, Syahfitri, dan Erna, yang merupakan keluarga korban, masih terus menyuarakan agar pemerintah segera bertindak.
Seperti pada momentum aksi International Worker Memorials Days (IWMD) 2024, dilansir dari Isolapos.com, salah satu keluarga korban, Yulia, ikut hadir pada aksi yang diselenggarakan di Bandung tersebut. Saat itu, kepada wartawan Isolapos, ia mengatakan bahwa para korban telah mengalami penipuan, di mana sesampainya di luar negeri, mereka tidak bekerja sesuai dengan yang dijanjikan, tetapi dipaksa bekerja dalam praktik online scamming.
“… tentunya saya berdiri di sini untuk seluruh buruh di Indonesia. Saya pun keluarga buruh dan kakak saya masih terjebak di Myanmar menjadi korban perdagangan orang yang diselundupkan dan dijual sampai berkali-kali.” pesannya dalam aksi yang digelar pada bulan April silam itu.[]
Redaktur: Harven Kawatu