Mengulik Kebijakan UKT dan Ancaman Kebebasan Akademik

109

Oleh: Renren Nur Fauziah*

*Reporter Magang Isolapos.com

Bandung, Isolapos.com,-Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) berkolaborasi dengan Aliansi Pendidikan Gratis (Apatis), dan Front Mahasiswa Nasional (FMN) menggelar diskusi publik berjudul “Kebijakan UKT dan Ancaman Kebebasan Akademik”. Diskusi ini dilakukan pada Kamis (30/5) via Zoom Meeting. Diskusi ini membahas permasalahan mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dianggap dapat memberikan ancaman bagi kebebasan akademik di Indonesia.

Narasumber pertama, Saiful Mahdi selaku Dewan Pengarah Kaukus Indonesia menyampaikan bahwa sebuah proses pengambilan kebijakan publik yang baik harus melibatkan partisipasi umum dan sesuai dengan perundang-undangan yang ada. Menurutnya, yang terjadi dalam kasus kebijakan UKT saat ini adalah tidak adanya transparansi dari pembuat kebijakan mengenai proses penentuan standar biaya operasional pendidikan tinggi. 

“Masalahnya dari awal prosesnya, saya kira tidak transparan ya. … penentuan UKT ini memang mendiskriminasi bukan hanya mereka yang secara ekonomi berhadapan pada kelas sosial paling bawah, tapi juga bahkan kelas menengah,” kata Saiful.

Selain itu, menurut Saiful, sebaiknya data golongan UKT itu dibuka untuk melihat pemerataan setiap golongan. “Karena konsepnya itu mengikuti keadaan masyarakat. Jadi, mengikuti distribusi normal,” tuturnya.

Narasumber lain, Hani Yulindrasari, perwakilan pengurus Kaukus dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) turut menyampaikan dampak kenaikan UKT pada kelas menengah. Menurutnya, pemerintah harus melihat riset di lapangan untuk mengetahui realita penghasilan ASN dan kalangan menengah lainnya. “Walaupun saya memang middle class ASN, tapi merasa ini sangat terdampak karena tidak bisa mengakses UKT lebih rendah daripada level tertentu untuk ASN,” ucapnya. Hani juga menambahkan bahwa hak pendidikan seharusnya dipenuhi bukan dibeli. 

Sementara itu, Aldino dari Aliansi Pendidikan Gratis (Apatis) telah mengagendakan gugatan hukum atas pemenuhan UU Ekonomi dan Sosial Budaya No. 11 Tahun 2005 pasal 13, yang menyebutkan bahwa pendidikan tinggi itu gratis dan harus dilakukan secara bertahap. Terlepas dari itu, menurut Aldino,  sebetulnya masyarakat juga harus cukup terlibat dalam membiayai pendidikan, hanya saja kebijakan biayanya harus disesuaikan dengan keadaan ekonomi mahasiswa. 

Aldino juga menyampaikan kekhawatirannya tentang pinjaman biaya pendidikan yang dijadikan solusi oleh pemerintah. “Takut mekanisme pinjol (pinjaman onlineRed), yang mana itu akan lebih memberatkan bagi saya untuk beban pikiran ke depannya,” katanya.

Adapun narasumber terakhir, Adinda Putri dari Kepala Departemen Perempuan Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional (PP FMN) membahas terkait gerakan mahasiswa dalam menanggapi isu UKT saat ini. Menurutnya, banyaknya pembatasan kebebasan akademik yang dipaksa oleh negara akan menghasilkan banyak reaksi penolakan, baik dari mahasiswa maupun tenaga kependidikan itu sendiri. Seperti telah diketahui, banyak mahasiswa yang sudah memberi reaksi dan aksi penolakan terhadap kebijakan pemerintah, khususnya terkait UKT. 

Agak ironis sebetulnya. Kita menuntut apa yang memang menjadi hak kita, tapi kita malah didiamkan. Kita tidak diperbolehkan untuk menyampaikan aspirasi,” tuturnya. 

Pada akhir pembahasan, Adinda menyampaikan bahwa isu kenaikan UKT saat ini harus direspon bersama-sama. “Kita memang harus membersamai seluruh respons-respons dari mahasiswa dan juga sektor lainnya, yang merespons tekait biaya UKT ini,” tutupnya.

Redaktur: Amelia Wulandari

Comments

comments