PLTU Baru di Jawa Barat: Proyek Strategis atau Beban Lingkungan dan Finansial?

47

Oleh: Haura Nurbani

Bandung, Isolapos.comAliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengadakan kampanye bertajuk “Sorotan PSN Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Jawa Barat” pada Senin (3/2). 

Salah satu isu utama yang mencuat dalam diskusi ini adalah proses perizinan yang dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. 

LBH Bandung mencatat bahwa beberapa proyek PLTU tersebut berisiko besar merusak lingkungan dan berdampak negatif pada kesehatan masyarakat sekitar. 

Direktur LBH Bandung, Heri Pramono, dalam sesi diskusi mengungkapkan bahwa saat ini terdapat beberapa PLTU yang beroperasi di Jawa Barat, seperti PLTU Pelabuhan Ratu di Sukabumi, PLTU 1 Indramayu, dan PLTU 1 serta 2 Cirebon. Dua PLTU lainnya, yaitu PLTU 2 Indramayu dan PLTU Tanjung Jati A, masih menghadapi masalah hukum dan belum dapat beroperasi.

“Kedua PLTU itu sempat kami gugat rencana keberadaan dan izin dampak lingkungannya sampai sekarang masih belum bisa pembangunan PLTU-nya,” ujar Heri.

Direktur Walhi Jawa Barat, Wahyudin, turut mengkritisi pembangunan PLTU yang menurutnya sering kali mengabaikan hak asasi manusia.

“Karena kegiatan pembangunan ini selalu dipaksakan pemerintah dan mengesampingkan masalah lingkungan dan keselamatan manusia,” ujar Wahyudin. 

Ia juga menyoroti peningkatan penyakit saluran pernapasan atas (ISPA) di sekitar PLTU, yang sebagian besar menyerang anak-anak dan lansia. 

“Walau Puskesmas tidak mau menyampaikan, hal itu salah satunya dari abu PLTU,” ujarnya.

Selain dampak sosial dan lingkungan, diskusi ini juga menyoroti fakta bahwa Jawa Barat mengalami kelebihan pasokan listrik yang cukup besar. Saat ini, sistem kelistrikan di Jawa-Bali memiliki cadangan daya hingga 44 persen, yang jauh melebihi kebutuhan rata-rata. 

Dalam laporan yang disampaikan Walhi Jawa Barat, terdapat sejumlah PLTU yang telah beroperasi maupun sedang dalam tahap pembangunan di Jawa Barat, di antaranya: PLTU Pelabuhan Ratu (Kabupaten Sukabumi), PLTU 1 Indramayu, PLTU 1 dan 2 Cirebon, PLTU 2 Indramayu, PLTU Tanjung Jati A.

Lebih lanjut, Erri Megantara, akademisi Universitas Padjadjaran yang juga menjadi anggota tim kajian lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, memberi pernyataan bahwa masalah utama terletak pada pengelolaan proyek-proyek tersebut. 

“Permasalahan yang muncul di masyarakat seakan membuat kehadiran negara tidak terasa. Proyek ini dari awal hingga akhir sering kali abai terhadap kepentingan warga,” kata Erri.

 Ia berpendapat bahwa jika perencanaan dan pengelolaannya benar sejak awal, seharusnya tidak ada konflik atau kerugian yang terjadi.

Analis Ketahanan Energi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Pemerintah Provinsi Jawa Barat Arnold Mateus juga menyoroti pentingnya kebijakan transisi energi yang lebih berkelanjutan. 

Dengan kondisi surplus listrik yang tinggi, perlu ada langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan. 

“Makna atau definisi atau supply yang memang terjadi di sistem Jawa Madura, Bali, bagaimana besaran konsumsi existing saat ini yang ada di sistem interkoneksi tersebut? Bagaimana dengan atau bagaimana dari sisi produksi ataupun penyediaannya sehingga bisa benar-benar masyarakat mengetahui apakah itu benar operasi supply atau memang kondisinya. Sebenarnya konsumsinya masih lebih tinggi dibandingkan si penyediaan ataupun pembangkitan,” ujar Arnold.

Proyek besar tersebut direncanakan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2016, yang antara lain memproyeksikan peningkatan kebutuhan energi listrik di jaringan interkoneksi Jawa, Madura, dan Bali. Oleh karena itu, beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) atau proyek ketenagalistrikan dibangun dan direncanakan di Jawa Barat. 

Seiring berjalannya waktu, proyeksi pertumbuhan konsumsi energi listrik ternyata tidak mengalami peningkatan seperti yang diharapkan. Hal ini mendorong pemerintah pusat untuk memperbarui beberapa peraturan terkait kebijakan energi nasional. 

Mengenai wacana penerapan teknologi carbon capture storage (CCS) pada PLTU, Arnold menyatakan bahwa secara teori hal tersebut memungkinkan, namun belum banyak diimplementasikan. Dari sisi investasi, CCS relatif mahal, dan pengembalian investasinya bergantung pada skema perdagangan karbon. 

“Teknologi untuk mengendalikan emisi dari cerobong PLTU sebenarnya bisa diterapkan lebih dulu daripada CCS,” ujarnya. []

Redaktur: Dini Putri

Comments

comments