Kebijakan Pendidikan Jabar: Sudahkah Suara Siswa Didengar?

175

Oleh: Hani Rizkiyani & Zahra Lathifa Batrisya

Bumi Siliwangi, isolapos.com— Beberapa kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang sebagian besarnya ditujukkan kepada siswa Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi topik hangat di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Barat. Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan berbagai pro-kontra di masyarakat, khususnya di kalangan guru dan orangtua siswa. 

Beberapa kebijakan tersebut meliputi perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Nomor 23/DG.02.02.01/PEMOTDA dan KERMA/11/III/2025 pada (14/03/2025) terkait pendidikan di barak militer, lalu Surat Edaran Nomor 81/PK.03/DISDIK terkait penghapusan pemberian pekerjaan rumah (PR) bagi siswa di seluruh satuan pendidikan di wilayah Jawa Barat, serta Surat Edaran Gubernur Jabar Nomor 51/PA.03/Disdik mengenai peraturan jam malam bagi pelajar.

Tim Isolapos berkesempatan melakukan wawancara tentang kebijakan Dedi Mulyadi bersama Vina Adriany, Guru Besar Bidang Pendidikan Anak Usia Dini dan Gender di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) serta Direktur Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Centre for Early Childhood Care Education and Parenting (SEAMEO CECCEP), sebuah lembaga regional yang bergerak dalam isu pendidikan anak usia dini dan pendidikan keluarga pada Rabu (11/06/2025). Berikut petikan wawancara Tim Isolapos dengan Vina Adriany:

Bagaimana Anda melihat kebijakan pengiriman anak ke barak militer melalui sudut pandang hak anak dan perkembangan psikologisnya?

Dalam beberapa studi yang dilakukan ahli di luar negeri, perilaku nakal pada anak laki-laki sering terjadi karena adanya nilai-nilai tradisional mengenai isu maskulinitas. Kalau kita bicara tentang nilai maskulinitas dominan yang ada di masyarakat kita, kebanyakan mendefinisikan maskulinitas itu dengan ciri anak harus terlihat agresif, anak harus terlibat di dalam kenakalan, sehingga justru ketika ada anak laki-laki yang tidak melakukan hal itu, seringkali dia dipertanyakan maskulinitasnya. Kalau kita melihat dari teori-teori psikologi perkembangan, misalnya satu teori yang cukup terkenal, teori dari Erikson, yang mengatakan bahwa pada masa ini memang anak sedang dalam pencarian identitas, kemudian mereka juga memiliki dorongan yang sangat tinggi untuk diterima oleh teman sebaya. Seringkali dorongan peer pressure, dorongan dari teman sebaya ini, menuntut anak laki-laki untuk menunjukkan maskulinitasnya dengan cara-cara yang barangkali kalau menurut kita itu identik dengan kenakalan remaja. 

Kebijakan baru yang diluncurkan terkait disiplin anak perlu diteliti lebih lanjut untuk melihat dampaknya. Banyak kajian-kajian di Amerika beberapa waktu yang lalu, menunjukkan bahwa pendekatan disiplin fisik tidak efektif dalam menyelesaikan masalah. Penegakan disiplin yang mengutamakan kekerasan dapat memperpanjang masalah agresivitas anak, dan hasilnya hanya bersifat sementara. Dengan kata lain, pendekatan tersebut lebih banyak menimbulkan masalah daripada menyelesaikan akar masalahnya.

Dalam konteks hak anak, penting untuk diingat bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Anak. Konvensi ini melindungi anak dari eksploitasi dan kekerasan serta memastikan mereka mendapatkan pendidikan yang baik. Menurut konvensi, anak adalah individu berusia 18 tahun ke bawah, dan haknya tetap berjalan meskipun mereka mungkin sudah kuliah atau di kelas 3 SMA. Ada dua pilar hak anak: perlindungan dan partisipasi. Pilar partisipasi mengacu pada keterlibatan anak dalam keputusan yang mempengaruhi hidup mereka. Jika keputusan diambil tanpa persetujuan anak, maka itu sama dengan pemaksaan dan mempertaruhkan hak anak. Walaupun anak berbuat kesalahan, hak perlindungan dan partisipasi mereka tidak boleh diabaikan. 

Apakah lingkungan militer sesuai dengan pembelajaran anak yang membutuhkan pendekatan seperti kognitif, emosional, maupun sosial?

Setiap anak memiliki potensi yang berbeda, baik dari segi fisik, kognitif, sosial serta emosional. Stimulasi yang diberikan harus sesuai dengan kecenderungan masing-masing anak. Saya melihat pola-pola solusi yang ada sekarang ini menggunakan pola solusi dengan pendekatan one size fits all. One size fits all itu artinya sebuah pendekatan, kemudian dipakai sama rata untuk seluruh anak tanpa melihat sebetulnya kecenderungan anak ini ada di mana. Pendekatan one size fits all tidak efektif karena tidak mempertimbangkan karakteristik dan potensi anak. Saat ini, banyak solusi yang digunakan bersifat umum tanpa memperhatikan perbedaan ini. Walaupun belum ada studi resmi tentang dampak kebijakan ini, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pendekatan budaya lebih efektif dalam mengatasi masalah remaja dibanding pendekatan fisik. Kegiatan ekstrakurikuler seperti teater, musik, atau olahraga dapat membantu mengurangi kenakalan remaja. Dengan demikian, penting untuk tidak menyamakan solusi bagi semua anak, karena pendekatan yang tidak menyentuh akar masalah tidak akan menyelesaikan persoalan jangka panjang.

Jika kebijakan tetap dilanjutkan, parameter apa yang menurut Anda harus dipantau untuk menilai dampaknya terhadap peserta didik?

Saya pikir harus ada evaluasi yang cukup mendalam dan karena sekarang sudah ada beberapa anak yang dikirimkan, kita juga harus melakukan kajian. Perlu adanya pertanyaan terhadap mereka mengenai apa pengalaman yang mereka peroleh, sehingga kita dapat memutuskan apakah kebijakan tersebut perlu dilanjutkan atau tidak. Saya pikir tanpa adanya kajian yang komprehensif dan mendalam serta tidak adanya pelibatan pandangan anak sendiri selaku subjek utama dalam kebijakan ini, akan menyebabkan anak merasa tidak didengarkan. Saya tidak ingin mengatakan anak sebagai objek karena itu sangat bertentangan dengan prinsip partisipasi. Penggunaan kata objek akan menciptakan anak seolah tidak punya suara, anak tidak punya pendapat. Maka perlu adanya peran pendapat anak yang kemudian perlu kita kaji dan tinjau kembali.

Bagaimana pandangan Anda mengenai kebijakan penghapusan PR dari perspektif pedagogi dan psikologi perkembangan anak?

Kebijakan Pemerintah Jawa Barat ini menurut saya menarik ya, karena antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain itu ada potensi kontradiktif, dimana esensi dari beberapa kebijakan saling bertentangan. Misalnya, pengiriman anak ke barak dapat melanggar hak anak, meskipun pelarangan pekerjaan rumah (PR) dimaksudkan untuk melindungi anak dari kelelahan. Banyak PR dianggap membebani anak, tetapi ada cara untuk memberikan PR yang membangun kebiasaan baik tanpa memberikan beban berlebihan. Sebagai contoh, daripada meminta anak menyelesaikan 100 soal matematika dalam waktu singkat, mereka bisa diminta melakukan observasi atau pengalaman praktis seperti berbelanja dengan uang sendiri. 

Penting untuk tidak melarang pekerjaan rumah tanpa mempertimbangkan kontennya, karena dapat digunakan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap belajar, seperti PR membaca buku dalam jangka waktu tertentu. Namun, terlihat adanya ketidaksinkronan antara kebijakan yang ada, di mana satu kebijakan berpotensi melanggar hak anak, sedangkan yang lain berusaha melindunginya. Tapi terlepas dari kebijakan ini kontradiktif atau tidak, pertanyaan paling mendasar sebetulnya tadi, seberapa jauh anak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan ini. Keterlibatan anak dalam proses pembangunan diperlukan dan merupakan amanat dari konvensi PBB. Namun dalam praktiknya, Indonesia masih tertinggal dalam merealisasikan hak anak dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Apa saja potensi manfaat dan risiko yang mungkin timbul dari kebijakan ini terhadap proses belajar mengajar dan prestasi akademis siswa? 

Seharusnya prioritas kebijakan pendidikan pemerintah provinsi adalah memastikan setiap anak di Jawa Barat dapat mengakses pendidikan yang berkualitas serta dapat diakses oleh seluruh kalangan. Beberapa provinsi lain sudah menyediakan pendidikan gratis hingga ke tingkat universitas, tetapi di Jawa Barat, khususnya pendidikan di tingkat SMA masih belum gratis dan banyak hambatan seperti masalah ekonomi dan infrastruktur yang menghalangi akses pendidikan. Penekanan akan pentingnya pendidikan untuk semua kalangan belum terealisasikan karena masih banyak anak di Jawa Barat yang kesulitan dalam mengakses pendidikan. Urusan kebijakan yang lebih mikro sebaiknya diserahkan kepada sekolah, sementara pemerintah provinsi fokus pada pedoman yang tidak melanggar hak anak. Contohnya adalah pemerintah daerah dapat fokus pada pengembangan layanan pendidikan, sedangkan aturan tentang disiplin dan PR diserahkan kembali kepada sekolah. Selain itu, pemerintah provinsi perlu memberikan panduan agar PR bersifat edukatif dan tidak mengambil waktu istirahat anak, namun pelaksanaannya tetap menjadi tanggung jawab sekolah. Hal ini penting agar perhatian tidak teralihkan dari isu-isu yang seharusnya menjadi fokus utama.

Apakah Pemprov Jabar perlu melibatkan psikolog perkembangan dan praktisi pendidikan dalam merumuskan kebijakan serupa? 

Penting untuk melibatkan akademisi dan pakar pendidikan, tidak hanya melibatkan psikolog anak saja. Saat ini, banyak kebijakan pemerintah provinsi yang saling bertentangan, menunjukkan kurangnya pemahaman filosofis tentang pendidikan dan anak. Para ahli filsafat pendidikan, sosiolog, dan psikolog perlu diikutsertakan agar Jawa Barat memiliki rencana yang jelas untuk pendidikan. Kalau kita lihat di negara Selandia Baru misalnya, ketika mereka merumuskan pendidikan untuk kaum Maori, Maori itu masyarakat aborigin di Selandia Baru. Itu kan dilibatkan para ahli dan sosiolog yang memahami konteks budaya Maori, sehingga pendidikan yang dikembangkan menjadi responsif dengan kebutuhan anak-anak Maori. Kemudian tentu saja Ahli psikologi penting diikutsertakan guna memberikan masukan tentang perkembangan anak dan strategi pembelajaran yang sesuai. Selain itu, pakar kurikulum dan penggiat hak anak diperlukan untuk menentukan konten pembelajaran yang sesuai serta memastikan kebijakan pemerintah memperhatikan prinsip hak anak. Anak sendiri juga perlu dilibatkan dalam proses pembangunan dan pembuatan kebijakan. 

Sayangnya, forum anak yang ada sering kali tidak terhubung dengan kebijakan, sehingga suara anak tidak terdengar. Anak-anak seharusnya diizinkan untuk memberikan pendapat mereka tentang pendidikan yang baik, karena mereka memiliki potensi dan hak untuk berpartisipasi. Contohnya ada pada aksi Greta Thunberg yang menunjukkan bahwa anak-anak bisa memiliki suara kuat jika diberikan kesempatan. Jadi, kolaborasi komprehensif dengan berbagai pakar sangat diperlukan untuk menghasilkan kebijakan yang baik dan efektif.

Saran atau rekomendasi apa yang ingin Anda sampaikan kepada pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait perumusan dan implementasi kebijakan pendidikan yang ada di masa mendatang?

Pemerintah Provinsi menurut saya perlu memastikan semua anak di Jawa Barat bisa mengakses layanan pendidikan, tanpa melihat latar belakangnya. Kebijakan wajib belajar 13 tahun, dari pra-SD hingga SMA, perlu disertai dengan dukungan agar tidak ada anak yang terhalang oleh masalah ekonomi atau disabilitas dalam mengenyam pendidikan. Masih banyak anak berkebutuhan khusus yang sulit mendapatkan pendidikan yang berkualitas karena kurangnya layanan inklusif. Pemerintah perlu menjaga nilai-nilai lokal dalam sistem pendidikan. Pendidikan di Jawa Barat harus relevan dengan budaya dan konteks sosial anak sehingga pembelajaran dapat bersifat efektif, bermakna, dan sesuai dengan budaya lokal. Dengan demikian, anak akan memahami dan merasa terhubung dengan materi yang disampaikan. Penting bagi pemerintah provinsi untuk menciptakan panduan yang menggabungkan konteks global, nasional, dan lokal dalam pendidikan.

Redaktur: Sanjaya Setia Permana

You might also like