Oleh: Nabil Haqqillah*
Pemilihan Umum Capresma dan Cawapresma akhirnya mulai juga. Setidaknya ada satu kemajuan, kini ada dua paslon dan mahasiswa bisa kembali merasakan pemilihan umum secara langsung. Tidak seperti tahun lalu, hanya ada satu paslon yang mendaftar membuat KPU cukup menetapkan paslon yang mendaftar langsung menjadi presma-wapresma terpilih.
Jika berbicara politikus kampus, saya selalu teringat salah satu esai Mimpi-mimpi Terachir Seorang Mahasiswa Tua yang ditulis Soe Hok Gie di mingguan Mahasiswa Indonesia. Dalam esainya tersebut, Gie menulis bahwa dirinya ingin melihat politikus dengan P BESAR, bukan politikus dengan P kecil. Di mana politikus bukan hanya sekadar mengikuti arus massa dan taktik-taktik selalu.
Selain itu juga mereka yang berkontestasi di sana dan kemudian terpilih memimpin BEM adalah mereka yang dipilih karena mereka cakap dan kompeten, bukan karena latar belakangnya dari golongannya sendiri. Sebagaimana Gie bilang, “Jang ada hanya si A atau si B dan kami memilihnya bukan sebagai wakil-wakil ormas-ormas, tetapi individu-individu jang tjakap“.
Kata-kata yang Gie tuangkan tersebut, terbit puluhan tahun lalu, tepatnya di awal masa-masa Orde Baru berkuasa. Namun bagi Saya, yang dituangkan Gie tersebut masih relevan untuk direfleksikan bersama dalam melihat situasi politik kampus hari ini, terutama ketika Pemira berlangsung.
Dengan konsep student government, mahasiswa berada dalam sebuah miniatur negara. Mahasiswa bisa main negara-negaraan dengan segala intrik politik kampusnya. Ada yang menjadi presiden, ada yang menjadi wakil presiden, menteri, dll. Oleh karena itu, mereka yang mencalonkan diri dan orang-orang di belakangnya bisa kita sebut dengan politikus. Mereka biasanya adalah orang-orang yang telah berproses dan berpengalaman dalam berorganisasi, entah itu organisasi intra ataupun ekstra.
Jangan sampai justru yang cakap, kompeten, dan berpengalaman, tidak bisa mencalonkan diri dan tak punya kesempatan karena bukan bagian dari golongan tertentu. Ini tak boleh terjadi di tingkat REMA saja, tetapi juga di tingkat himpunan jurusan. Jangan sampai ada yang kompeten menjadi Kahim tapi dijegal di luar forum hanya karena ia bukan bagian dari golongan tertentu.
Begitu juga dengan proses formatur BEM REMA jika nanti sudah ada yang terpilih. Mereka yang nantinya ditunjuk untuk duduk di kabinet adalah orang-orang yang cakap. Jangan sampai formatur BEM jadi ajang bagi-bagi kursi untuk kompromi politik, terlebih lagi kalau ada kepentingan ekstra di dalamnya. Jangan sampai nasib kita digantungkan kepada mereka yang hanya mementingkan golongannya saja. Terlebih advokasi soal UKT adalah yang paling urgent bagi mahasiswa secara personal.
Mahasiswa biasa juga harus menjadi Politikus dengan P BESAR. Dalam arti kita harus memilih paslon yang memang dianggap cakap, dengan memperhatikan visi misi, latar belakang, dll. Jangan sampai memilih hanya karena semata-mata ia adalah teman satu kelas, satu jurusan atau fakultas, atau bahkan satu organisasi ekstra. Jika memang dirasa tak ada yang mewakili kepentingan kita sebagai mahasiswa biasa, golput bisa jadi pilihan.
Belum lagi pemira-pemira dengan sistem daring yang saya lihat di tahun-tahun sebelumnya, para tim sukses hanya berburu suara dengan membujuk temannya untuk login kemudian memilih junjungan mereka. Seolah demokrasi hanya urusan klik-klikan. Itu yang membuat saya selalu golput sejak saya kuliah. Sesungguhnya pesan singkat mereka menggangu saya ketika push rank Mobile Legend.
Jika pada akhirnya mereka yang duduk di pemerintahan mahasiswa tersebut hanya mementingkan golongannya, maka yang akan tumbuh adalah kelicikan dan kemunafikan. Jangan sampai mental sok kuasa hadir di sana. Mereka yang merintih kalau ditekan, dan justru menindas jika berkuasa. Dan mahasiswa-mahasiswa baru hanya akan menjadi korban-korban baru yang ditipu oleh elite-elite mahasiswa seperti tadi.
Saya tidak anti terhadap organ-organ ekstra atau kelompok-kelompok tertentu termasuk kepentingan yang akan dibawa. Tentu kepentingan selalu ada di antara yang mencalonkan, ini yang harus diperhatikan. Ketika seseorang mencalonkan diri dengan segala backgroundnya, kita perlu skeptis kepentingan siapa yang sebenarnya mereka bawa. Kepentingan mereka mahasiswa yang selalu pusing setiap semester karena tak bisa bayar UKT atau mereka yang justru mengincar kursi BEM sebagai alat mencari-cari proyek bagi perutnya sendiri?
Jangan sampai mereka yang terpilih hanyalah elite mahasiswa yang mengklaim dirinya agent of change dan selalu meneriakkan “Hidup Mahasiswa, Hidup Pendidikan Indonesia, Hidup Rakyat Indonesia,” di jalanan, tetapi berselingkuh dengan birokrat ketika pulang aksi. Berorasi “Innalilahi wainnailaihi raji’un, telah berpulang ke rahmatullah hati nurani birokrat”, tetapi melakukan lobby secara diam-diam di belakang dan menjual gerakan mahasiswa.
Mereka para elite yang masih percaya bahwa mahasiswa adalah agent of change, sesungguhnya telah mengkhianati nilai-nilai perubahan itu sendiri. Ketahuilah kita mahasiswa hanya diuntungkan dengan privilege akses mendapatkan ilmu di kampus. Terkadang para elite-elite ini hanya menggunakan mimbar-mimbar bebas sebagai panggung belaka. Selalu menyanyikan lagu buruh tani, tapi enggan untuk melebur bersama kaum buruh dan tani.
Jangan sampai tema Rekonstruksi Demokrasi Kampus UPI: Menuju Tata Kelola Partisipatif dan Transparan yang ditulis oleh para calon dalam esai hanya sekadar syarat mendaftar ke KPU. Wacana yang ada dalam esai tersebut harus betul-betul dipraktikan. Kelompok yang menang bisa langsung mengimplementasikannya lewat BEM, dan yang kalah bisa menjadi oposisi dengan mengawasi yang berkuasa berbekal dengan wacana yang ia tuangkan dalam esai tadi. Maka terjadilah keseimbangan di Republik Mahasiswa ini, tak seperti Republik Indonesia yang saat ini nampak tak punya oposisi.
Jika Gie ingin melihat Politikus dengan P besar bukan politikus dengan P kecil. maka Saya ingin melihat Presma dengan P besar, bukan presma dengan P kecil. Presma yang berani mengatakan yang benar sebagai benar, dan yang salah sebagai salah.
Kini para paslon sudah mulai berkeliling untuk kampanye. Maka saatnya kita lihat, siapa yang cocok menjadi presma dengan P besar di kontestasi pemira itu. Jika ternyata yang menang dan ketika menjabat menjadi Presma dengan P kecil, yang seolah membela kepentingan mahasiswa luas tapi justru menjilat pantat birokrat di belakang. Yang mengisi kabinetnya dengan cara bagi-bagi kursi untuk kompromi politik. Maka yang kalah bukan paslon lawan yang kalah, tapi semua mahasiswa yang kalah.
Lebih sedih lagi ketika kelak ternyata para paslon tak ada bedanya, dalam artian jika setelah masa kampanye, kawan-kawan menilai tak ada yang kompeten dari semua calon yang ada. Maka memutuskan untuk tidak memilih keduanya, alias Golput, bisa jadi sikap politis kita. Dan mari kita renungkan fungsi kehadiran REMA bagi mahasiswa secara luas hari ini.
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan
*Penulis merupakan Mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah angkatan 2021 FPIPS UPI.