Saat Imajinasi menjadi Kompas dalam Realita
Oleh: Sennita Tya Divany
Judul: Petualangan Don Quixote
Penulis: Miguel de Cervantes Saavedra
Penerjemah: Muajib
Penerbit: Immortal Publishing
Tahun Terbit: Juli 2024 (cetakan kelima)
Jumlah Halaman: 124 halaman
Imajinasi adalah hasil pemikiran yang berkembang dari keinginan-keinginan tak terwujud, hingga membentuk bayangan tak nyata. Semua orang mungkin pernah berimajinasi, namun beberapa diantaranya terlalu larut hingga tak mampu membedakan antara realita dan dunia khayalan yang diciptakannya sendiri.
Hal seperti itu sudah lama terjadi, bahkan di tahun 1605 masehi, yang menjadi lahirnya novel modern pertama di dunia: Don Quixote de La Mancha atau Petualangan Don Quixote, karya penyair dan penulis terkenal asal Spanyol, Miguel de Cervantes Saavedra (1547-1616). Berangkat dari kegelisahan akan kegilaan imajinasi yang tak bisa dibedakan dari realita, kisah Don Quixote menjadikan Miguel sebagai pengarang yang berhasil mengilhami karya-karya besar dunia di kemudian hari.
Berlatar di distrik La Mancha, Spanyol, sekitar abad ke-13, buku ini mengisahkan tentang seorang pria tua bernama Alonso Quixano yang gemar membaca buku-buku tebal petualangan para ksatria pengembara dengan berbagai kejadian mustahilnya, yang membawanya kepada gagasan liar seolah hidup dalam dunia buku tersebut. Ia tenggelam dalam kisah-kisah mustahil tersebut hingga tak lagi mampu memisahkan antara fiksi dan kenyataan.
Demi membeli lebih banyak buku, Alonso menjual semua hartanya hingga hidupnya bergantung pada orang lain. Menghabiskan seluruh harinya dengan membaca, mengisi kepalanya dengan cerita-cerita ksatria hingga mulai menganggap bahwa kejadian dalam cerita tersebut adalah benar dan nyata. Dari sinilah Alonso merasa dirinya adalah seorang ksatria pengembara yang harus membela kaum lemah dan menentang ketidakadilan di mana pun.
Merasa tak puas dengan nama aslinya, ia berganti nama menjadi Don Quixote, dan menambah “de La Mancha” sebagai bentuk penghormatan untuk distrik La Mancha, tempatnya berasal.
Dengan nama Don Quixote inilah, ia memulai petualangan bersama kuda kurus bernama Rocinante, yang dalam imajinasinya, tampak sebagai kuda gagah perkasa. Petualangan ini dimulai dengan pencarian raksasa untuk dikalahkan. Dalam perjalanannya itu, ia jatuh cinta pada seorang perempuan desa bernama Aldonza Lorenzo, yang kemudian ia nobatkan sebagai ratu di hatinya dan memberinya nama puitis Dulcinea del Toboso yang berarti ‘Perempuan Manis dari Toboso’.
Petualangan yang ia khayal sendiri membawanya pada kejadian tak biasa, seperti perkelahian sungguhan yang melukainya. Namun ia terus melanjutkan petualangan hingga akhirnya bertemu dengan Sancho Panza, seorang petani yang kemudian menjadi pengikut setia, percaya pada kegilaan Don Quixote dan ikut dalam perjalanan imajiner yang penuh kekacauan namun bermakna itu.
Hubungan antara Don Quixote dan Sancho Panza inilah yang menjadi inti penting dalam cerita. Sancho, dengan kecerdasan lugu, menjadi penyeimbang bagi Don Quixote yang terus melayang dalam angan-angannya sendiri. Meski awalnya Sancho mengikuti karena iming-iming jabatan dan kekayaan khayalan yang ditawarkan, ia perlahan menjadi teman sejati, bahkan kadang lebih rasional daripada tuannya.
Menariknya, pembaca tidak hanya mengikuti jalan cerita dari sudut pandang orang “waras” dalam cerita tersebut, tapi juga diberi kesempatan untuk melihat dunia seperti yang dilihat Don Quixote—penuh keajaiban, musuh imajiner, dan kehormatan. Namun di saat yang sama, realitas sebenarnya tetap ditampilkan, sehingga pembaca bisa menyaksikan kontras antara dunia dalam kepala Don Quixote dan kenyataan yang terjadi di sekitarnya. Hal inilah yang menjadikan pengalaman membaca buku ini terasa unik, lucu, dan sekaligus menyedihkan.
Buku ini bukan hanya menceritakan kegilaan, tetapi juga kritik sosial dan refleksi mendalam tentang nilai-nilai zaman. Melalui petualangannya yang absurd, pembaca seolah diajak menertawakan dunia yang terlalu serius, dan disaat yang bersamaan, merenungi kenyataan bahwa mungkin “kegilaan” Don Quixote adalah bentuk perlawanan terhadap dunia yang kian tak adil.
Akhir dari kisah ini pun menyisakan perasaan getir dan menyentuh. Tanpa membocorkan secara langsung bagaimana semuanya berakhir, pembaca akan dibawa pada suatu titik yang membuat mereka mempertanyakan kembali batas antara mimpi dan kenyataan, serta apa arti menjadi “waras” di tengah dunia yang terus berubah.
Secara keseluruhan, Petualangan Don Quixote bukan hanya kisah lucu tentang orang “gila” yang mengira dirinya ksatria. Ini adalah karya yang penuh lapisan makna, dan menggebyarkan gagasan bahwa pena bisa jauh lebih tajam daripada pedang.
Redaktur: Rakha Ajriya Di’fan