Tanggapan Capresma Soal Kosongnya Peran Mahasiswa di MWA

87

Oleh: Lira Septia Zahra

Bumi Siliwangi, Isolapos.comMenjelang berakhirnya masa Pemilu Rema UPI, kekosongan Unsur Mahasiswa di Majelis Wali Amanat (MWA) UPI menjadi salah satu isu yang direspons pasangan Capres-Cawapres ketika ditanya terkait upaya mereka menjaga representasi mahasiswa di tingkat universitas. 

Hingga saat ini, Universitas Pendidikan Indonesia masih menjadi salah satu PTN-BH dengan ketiadaan unsur mahasiswa di Majelis Wali Amanat (MWA) UPI. Hal ini terus menjadi pertanyaan atas tidak adanya perwakilan dari pihak mahasiswa dalam setiap keputusan maupun kebijakan yang dibuat di lingkungan universitas. 

Menurut Ikhwan Darmawan dan Anang Rafi sebagai pasangan calon (Paslon) nomor urut satu, kekosongan unsur mahasiswa di MWA UPI ini sangat berdampak pada pengambilan keputusan yang terkesan semena-mena. 

Mereka menilai, kehadiran mahasiswa menjadi anggota MWA UPI berperan penting untuk turut menentukan arah kebijakan di tingkat universitas. “Ya meskipun terhitungnya cuma satu, tapi pasti akan berdampak besar baik dalam pemilihan rektor yang diadakan lima tahun sekali, pun dalam pengambilan kebijakan dalam ranah universitas. Tentu, rektor juga jadi harus berdialog dengan mahasiswa yang ada di dalam MWA misalkan memang ada,” ujar Anang.

Mereka juga menanggapi upaya yang dapat dilakukan saat ini, dengan menekankan bahwa upaya kolektif dari seluruh organisasi mahasiswa UPI untuk terlibat dalam konsolidasi sangat dibutuhkan selama BEM Rema belum memiliki kepengurusan yang aktif. “Kawan-kawan dari himpunan, fakultas, dan UKM harus bisa bergerak juga melakukan konsolidasi ketika ada permasalahan-permasalahan yang ada di UPI.” lanjut Anang.

Ia menambahkan, jika nantinya sudah terbentuk, BEM Rema akan mewadahi kepentingan mahasiswa dan upaya advokasi, baik secara litigasi maupun non litigasi. 

Sementara itu, paslon nomor urut dua, Abu Rosyid dan Moch Najril, turut memberikan tanggapannya terkait kekosongan unsur mahasiswa di MWA UPI. “Kalau secara dampak akhirnya setiap kebijakan yang tidak berpihak ke mahasiswa itu akan sangat sulit untuk ditrabas karena memang birokrasinya cukup panjang, sedangkan ketika kita masuk ke MWA akan jauh lebih mudah,” ujar Najril. 

Menurutnya, jika unsur mahasiswa memiliki kursi di MWA UPI, sesuatu yang sampai pada pihak mahasiswa bukan hanya keputusan hasil dari musyawarah saja, tapi mahasiswa sendiri dilibatkan dalam perumusan kebijakannya tersebut. 

Abu Rosyid dan Moch Najril juga menanggapi upaya yang dapat dilakukan saat ini. Menurut Abu, selagi tidak adanya langkah konkret dan juga mekanisme pengajuan unsur mahasiswa di MWA UPI, usaha yang dapat dilakukan dapat berupa menjalin komunikasi dengan pimpinan struktural universitas. “Kita akan coba komunikasi kepada pimpinan-pimpinan di UPI secara keuniversitasan hingga akhirnya makin terbuka insightnya langkah-langkahnya seperti apa,” sebut Abu.

Selain itu, paslon tersebut juga menawarkan alternatif lain sebagai bentuk upaya yang dapat dilakukan, yaitu dengan pengoptimalan peran dari pimpinan struktural BEM Rema yang menjembatani mahasiswa dengan pimpinan tingkat universitas.

“Alternatif lain tentu ada, karena sebelum adanya MWA itu kan tugas tersebut diemban oleh BEM Rema, dan kami sebagai pres dan wapres ketika nanti terpilih harus bisa mengoptimalkan bagaimana pengetahuan kami terhadap kondisi mahasiswa saat ini, yang kemudian coba kita ajukan datanya kepada pihak rektorat bahwa kebijakan yang ditetapkan oleh rektorat itu tidak berpihak ke mahasiswa berdasarkan data yang ada. Jadi mengoptimalkan peran dari pimpinan struktural BEM Rema seperti itu,” jelas Najril. 

Mengingat kembali rekam jejak upaya mahasiswa UPI dalam mengadili kekosongan unsur mahasiswa di MWA UPI. Pada Tahun 2012, saat Statuta UPI masih berupa perumusan, BEM Rema UPI melayangkan gugatan atas perumusan tersebut yang dinilai belum layak dan tidak melibatkan ruang kontribusi mahasiswa di dalamnya. Saat itu BEM Rema UPI hanya dilibatkan sebagai Tim Sosialisasi, bukan sebagai pihak yang memiliki wewenang merumuskan, dan aspirasi mereka hanya ditanggapi melalui jalur tertulis. Upaya serupa kemudian hadir kembali, menjelang Pemilihan Rektor UPI Periode 2020 – 2025, ketika BEM Rema UPI menuntut transparansi, keterbukaan, dan partisipasi aktif mahasiswa melalui surat terbuka kepada Presiden RI, Mendikbud, dan MWA UPI, yang kemudian ditindaklanjuti dalam rapat terbuka MWA di Auditorium FPEB pada Maret 2020.

Isu ini kembali mencuat saat Pemilihan Rektor UPI Periode 2025 – 2030, pada April 2025, BPO Senat Mahasiswa FPIPS bersama beberapa himpunan fakultas melayangkan pernyataan sikap dengan enam tuntutan, termasuk revisi Statuta 2014 agar mahasiswa masuk keanggotaan MWA. Tindak lanjut dilakukan dengan audiensi bersama MWA pada Mei 2025, yang memuat tiga tuntutan utama: pelibatan mahasiswa di MWA, keterlibatan mahasiswa dalam pemilihan rektor, serta pemberantasan politik buzzer. Tidak seperti periode sebelumnya, perjuangan ini kini diinisiasi oleh Ormawa fakultas karena BEM Rema UPI sedang mengalami kekosongan jabatan, sehingga advokasi mahasiswa tidak terkoordinasi dengan baik dalam dinamika pemilihan rektor.[]

Redaktur: Rakha Ajriya Di’fan

You might also like