Iket Sunda, Filosofi yang Terlupakan

342
Para remaja saat yang mengenakan Iket Sunda sambil menyaksikan tontonan wayang Golek di Braga sambil Sabtu 23 November 2013.

Bandung, Isolapos.com-

Saat adzan Ashar mulai berkumandang di langit Braga, tampak para remaja lengkap dengan Balutan Kesundaannya bergegas memasuki salah satu pusat perbelanjaan di sana. Mereka mengenakan Pakaian Kampret berwarna hitam pekat  serta Celana Pangsi dengan warna senada. Tak lupa lilitan kepala bermotif  kembang yang membentuk sayap garuda menghiasi kepala. Lilitan kepala itu biasa dikenal dengan nama Iket.

Puluhan  pengunjung mengenakan iket sore itu. Dengan begitu percaya diri mereka tetap mengenakan pakaian yang terbilang langka di zaman sekarang. Ialah Agus Rohaendi Effendi, ketua Komunitas Iket Sunda (KIS) yang mengutarakan kegembiraannya menyaksikan fenomena itu. Dirinya merasa begitu bangga karena para remaja sekarang sudah kembali mengenakan pakaian-pakaian Kesundaan warisan nenek moyangnya. “Terutama iket yang memang dipakai di kepala, sehingga begitu mencolok penglihatan,”Tutur Agus yang mengenakan pula pakaian hitam.

Sembari mengisap cerutu,  Agus yang ditemui isolapos.com di salah satu kedai di Braga City Walk, menuturkan bahwa maraknya anak muda sekarang yang memakai iket adalah salah satu indikator dari bangkitnya  budaya Sunda. Meski demikian, dirinya tetap mengkhawatirkan jika fenomena itu hanya dijadikan ajang tren fashion semata. “Banyak teman-teman kita yang terlena setelah nanjeur (berjaya- red),” ujar Agus  di tengah-tengah berlangsungnya acara Road to Bandung Wayang Festival, 23  November lalu.

Berangkat dari kekhawtiran tersebut, dirinya bersama rekan-rekan lain yang tergabung dalam KIS senantiasa berupaya agar fenomena tersebut tetap lestari. Mereka pun berencana untuk mengadakan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan memadupadankan budaya modern dan tradisional.  Salah satunya, mengadakan ibing iket, sebuah perlombaan memasangkan iket ke kepala orang lain dengan iringan musik.

Tentang persoalan filosofis, dirinya tetap bangga ketika melihat anak muda yang mengenakan iket meski mereka sama sekali tidak mengetahui filosofinya. “Tahap pertama adalah ngawanohkeun (memperkenalkan-red) kembali,” jawab pria paruh baya ini. Menurutnya, setelah para pemakai iket mikawanoh, maka dirinya akan gencar mensosialisasikan filosofinya dengan data-data yang telah dipegangnya. “Bagaimana sejarahnya, motifnya, lipatannya agar mereka tahu,” ucap Agus penuh keyakinan.

Pemakaian Iket pun tak lantas dipandang positif, Seorang Budayawan sekaligus Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Universitas Pendidikan Idonesia (UPI), Chye Retty Isnendes merasa khawatir dengan fenomena yang tengah berlangsung saat ini. Menurut Chye, fenomena tren pemakaian Iket di kalangan remaja ini tidak lantas disebut sebagai sebuah ciri kembali bangkitnya budaya Sunda.

Iket itu hanya sebagian kecil dari elemen falsafah Kesundaan yang begitu luas. Lanjutnya, iket itu bagian dari performa Sunda yang dalam kedudukannya dianggap penting karena dihubungkan dengan makna yang dikaitkannya. Meski demikian, ia menolak jika pemakaian Iket itu disebut sebagai ciri bangkitnya Budaya Sunda.

Menurutnya, yang terpenting untuk membedakan antara Orang Sunda dengan yang lainnya bukan karena performa, sebab performa bisa ditiru dan meniru. “Nu sajati mah; Basa. Jadi Urang Sunda bakal nanjeur upama basana rata dipake di mamana (Yang sejati itu; Bahasa. Jadi Orang Sunda akan bangkit jika bahasanya dipakai merata di mana-mana: red) jelasnya.

Menurutnya, orang-orang yang memakai iket atau pakaian tanpa mengetahui filosofinya, seperti  orang-orang Sunda yang dilukiskan dalam  priibahasa Sunda Cul dogdog tinggal igel. “Kabayang, ugal-igel sorangan taya wirahma. (Kebayang gerak sendiri tak ada iramanya: red).” Jika betul-betul budaya Sunda ingin bangkit kembali, seharusnya generasi muda itu harus banak membaca Kesundaan, menemukan kebenaran budaya, mengaplikasikan agama. “Sanes wungkul ku nu nyangsang dina awak urang, (bukan hanya oleh apa yang terpasang di badan kita: red) ucapnya sambil tersenyum.

Dengan begitu, Apakah usaha masyarakat masyarakat Sunda belum cukup untuk memaknai Iket sebagai produk kebudayaan yang  mempunyai arti filosofis? [Tatang Zaelani Trtawijaya].

Comments

comments