Matinya Kepedulian Kaum Intelektual Terhadap Konflik Agraria
Oleh : M. Faika Aulia*
Di negara agraris seperti Indonesia, masalah petani selalu saja muncul. Pertengahan April lalu, 9 orang petani Kendeng, mencor kakinya sendiri di depan Istana Negara. Harapannya, presiden Indonesia membantu mereka menggagalkan pembangunan pabrik semen di daerahnya, Kendeng.
Namun, kejadian petani Kendeng ini hanya secuil kasus yang menyeruak dari banyaknya kasus-kasus konflik agraria di negeri ini. Yang lain, kasus penganiyayaan Salim Kancil dan Tosan misalnya. Kedua aktivis tani itu harus dianiaya dan kehilangan nyawa karena berjuang mempertahankan lahan taninya yang akan dijadikan tambang pasir di daerahnya. Bahkan, kepala desanya sendiri, yaitu Haryono, menjadi penggagas dibalik eksploitasi tanah mereka itu.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mencatat, pada tahun 2015, terjadi 252 konflik agraria di Indonesia. Dengan rincian 127 kasus perkebunan, 70 kasus insfrstuktur, kehutanan 24 kasus, pertambangan 14 kasus, pertanian dan pesisir 4 kasus dan lain-lain 9 kasus. Dari berbagai konflik tersebut tercatat 5 orang tewas, 39 orang tertembak, 124 orang teraniaya dan 278 orang ditahan. Belum yang tak tercatat. Mungkin lebih banyak lagi.
Ironisnya hal ini terjadi ketika pemerintahan Jokowi sedang giat-giatnya melaksanakan program Nawacita, yang diklaim sebagai salah satu manifestasi Trisakti Soekarno. Salah satunya ialah, menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Jadi sudah barang tentu, sistem birokrasi kita seharusnya diisi oleh birokrat yang andal, dan kapabel.
Yang terjadi, harapan tinggal harapan. Tak jarang, birokrat justru malah berkerja sama dengan korporat. Tidak masalah untuk hal yang baik, tapi untuk sesuatu hal yang buruk, itu malah menjadi masalah besar. Contoh kecilnya seperti Kepala Desa Selok Awar-awar, Haryono tadi.
Jadi bagaimana ini bisa ditanggulangi? Gampang, be kind. Semua berawal dari manusia-nya. Gus Mus dalam talkshow Kick Andy pernah mengatakan, “Kalau kamu korupsi, kamu masih miskin. Kalau gak korupsi, kamu udah kaya.” Jika dikaitkan dengan program Revolusi Mental pak Jokowi, harusnya Revolusi Mental berarti, loncat jauh kedepan untuk membangun masyarakat yang bermental sehat. Sehingga birokrat yang mengerjakan birokrasi tidak kurang ajar, apalagi semena-mena kepada rakyat.
Bagi saya, sehebat apapun sistem, dia cuman akan jadi sampah kalau diakali terus oleh si pembuat sistem. Pada akhirnya, perubahan yag diharapkan pun nol besar. Ujung-ujungnya, birokrasi yang berbelit dan dikotori tikus-tikus kantor. Juga jangan lupakan sektor Pendidikan yang katanya memiliki visi untuk memanusiakan-manusia. Pendidikan sepatutnya muncul untuk menjadi solusi, khususnya dari pelajar di perguruan tinggi. Dengan ilmu yang diampu, seharusnya mereka bisa memanifestasikannya dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Contoh kecil, lulusan IPB bisa membantu bagaimana membuat pertanian lebih subur, lulusan ITB mencarikan teknologi yang murah dan baik bagi masyarakat. Lulusan UPI, bisa jadi guru untuk pak tani. Bagi seorang sarjana, sudah selayaknya gelar yang disandang bukanlah akhir dari segalanya, namun hal itu menjadi pintu awal menuju pengabdian yang sesungguhnya.
Pun ketika masih mengenyam ilmu di bangku perkuliahan. Aktiflah mencari isu dan solusi bagi masyarakat. Jangan terus-terusan memikirkan tugas kuliah sehingga melupakan mereka, pak tani dan konflik agrarianya. Apalagi terus-terusan berebut kursi jabatan atau politik praktis di kampus. Acara Pengabdian Pada Masyarakat (P2M) juga sebenarnya bukan sekedar selebrasi pergi ke sebuah kampung lalu pergi ketika usai. Namun mahasiswa selayaknya selalu kritis terhadap isu-isu sosial, dan keep touch dengan masyarakat.
Terakhir, mari kita doakan negeri ini segera ‘sehat’ dan melakukan apa yang kita bisa. Penelitian, pendidikan dan pengabdian. Karena bagaimanapun, kita harus segera terjun ke masyarakat.
***
M. Faika Aulia, Mahasiswa Departemen Pendidikan Sejarah UPI Angkatan 2013