Ephemeral Bagian Dua

124

Oleh: Dinan Anshary*

*) Mahasiswa Pendidikan Bahasa Perancis

Ternyata setelah dilihat, ada pesan baru yang masuk dari sahabatnya, Nakita. Kara berpikir bahwa Nakita pasti berharap ia sudah berada di kantor sekarang, karena jadwal meeting itu sudah berakhir daritadi.

“Kar, kamu dimana? Udah kan meetingnya? Kok ga ke kantor?” tanya Nakita bertubi-tubi.

“Iya, Ta. Bentar lagi aku kesana,” jawabku.

Sebenarnya Kara masih ingin duduk-duduk santai dan menikmati kopi yang lezat ditempat itu, karena ternyata selain tempatnya yang memanjakan mata dan pikiran Kara, kopi di tempat itu juga luar biasa lezat hingga karena saking enaknya timbul penyesalan didalam diri Kara mengapa ia tidak pernah mencoba dari dulu. Ditambah dengan kondisinya yang sendirian sehingga tidak ada lawan yang bisa diajak bicara, namun ia putuskan untuk kembali ke rumah mode untuk menyelesaikan beberapa urusan pekerjaan dengan Nakita.

Sebelum benar-benar pergi, mata Kara sekilas menengok kearah tempat duduk pria misterius tersebut. Seperti seolah-olah Kara terhipnotis untuk dalam beberapa detik terpaku melihat kearah sana. Setelah membayar kopinya, Kara memutuskan untuk bergegas segera masuk mobil dan berangkat ke kantor.

***

“Nakitaaaaaaa…..” ucap Kara sambil sedikit berteriak.

“Kamu kok baru datang sih, Kar? Kan meetingnya udah selesai daritadi, kamu pergi kemana dulu?” tanya Nakita

“Aku minum kopi dulu, sebenernya ada yang mau aku certain soal kedai kopi yang baru masuk urutan nomor 1 sebagai kedai kopi terbaik menurutku. Tapi sekarang itu menjadi tidak terlalu penting lagi,” kata Kara dengan bawelnya.

“Loh, kok jadi ga penting lagi? Gimana sih?” Nakita masih bingung dengan ucapan sahabatnya.

“Tadi kamu kenapa bangunin aku sepagi itu, NAKITAAA!!” dengus Kara.

“Hahahahahahahha, oh jadi kamu udah tau soal itu?” ujar Nakita sambil tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian yang tadi pagi. Ia memang sengaja melakukannya, agar Kara bisa disiplin dan tanggung jawab terhadap waktu.

“Ketawa lagi kamu, hih.” Kara terlihat semakin kesal.

“Hey, Kar. Aku kan melakukan itu supaya kamu bisa bangun lebih awal, itu juga demi  kebaikan kamu supaya ga kena sama kata-kata pedesnya Bu Deva. Jadi  hari-hari kamu bakalan damai, tentram, se………” ucapan Nakita lalu dengan sengaja dipotong oleh Kara.

“Dengan cara bilang bahwa aku harus menemui Bu Deva jam 9 padahal seharusnya jam 10 kan?” kata Kara dengan ketusnya.

“Gimana trik baruku? Efektif kan untuk membuatmu tidak menjadi seperti putri solo lagi? Hahaha,” Nakita masih saja tertawa sampai puas.

“Bahkan gara-gara kamu aku sampai ga jadi pake sepatu karena aku lupa terakhir menaruhnya dimana,”

“Aku tahu betul kalau kamu itu ya, Almeida Kara, adalah seseorang yang pelupa ditambah lagi teledor, saranku sebaiknya kamu harus mempersiapkan semua hal dimalam harinya,” ujar Nakita.

“Tadi malam aku menggambar desain gaun untuk beberapa pesanan, jadi aku tidur pagi. Capek juga ya tinggal tanpa orang tua, huh..” keluh Kara.

“Jangan begituuu, ini kan pekerjaan kita berdua. Aku akan selalu berada disampingmu, Kar”

“Terimakasih ya, Nakita. Kamu memang sudah bukan sekedar teman terbaikku saja, kamu juga bisa mengisi figur kakak perempuan yang tidak pernah aku miliki,” akhirnya Kara merangkul Nakita.

“Sok romantis banget sih Kara, Kara. Maaf juga ya tadi pagi aku sudah membuka harimu dengan white lies, hahahaha..” mereka bercakap-cakap sambil tetap dalam posisi saling merangkul.

Itulah salah satu gambaran keseharian Kara dan Nakita. Memang mereka kerap kali bertengkar karena masalah-masalah yang sepele.  Rumah mode milik Nakita menjadi saksi bisu atas semua hal yang pernah mereka lalui bersama. Mulai dari hal yang paling menyenangkan sekaligus membanggakan yaitu mempunyai dan mengelola sebuah merk rumah mode tersendiri, hingga bagian yang paling sulit yaitu menjadi pemimpin sebuah perusahaan di usia muda tanpa ada bimbingan dari orang tua atau seseorang yang lebih professional.

***

Beberapa tahun lalu, Kara atau bisa juga dipanggil Meida oleh keluarganya ini hanyalah sosok anak SMA biasa yang tinggal bersama orang tua. Namun, semenjak ia menyelesaikan sekolahnya di jenjang menengah atas, orang tua Kara semakin sering meninggalkan Kara sendirian dirumah untuk urusan bisnis ke beberapa Negara. Mulai saat itu, Kara mengurungkan diri untuk mengejar posisi sebagai mahasiswa di perguruan tinggi dalam negeri, karena ia merasa sering sendiri dan kesepian dirumah jika masih saja tinggal di Indonesia.

Selama beberapa saat Kara memikirkan hal terbaik apa yang harus ia lakukan demi masa depannya. Orang tua Kara berpesan agar ia tetap tinggal sekaligus menempuh pendidikan tinggi di Indonesia, karena Kara merupakan anak perempuan sekaligus anak satu-satunya di keluarga tersebut sehingga banyak hal-hal yang menimbulkan kekhawatiran di benak kedua orang tua Kara.

Kara memang terang saja masih ingin tinggal di Indonesia karena ia tidak mau meninggalkan kehidupannya disini, terutama sahabat yang selalu ada ditengah-tengah kehidupan Kara. Akhirnya dengan berat hati Kara memutuskan untuk menempuh pendidikan tinggi seni di Amerika selama 2 tahun, karena itu satu-satunya sekolah dimana Kara diizinkan menempuh pendidikan disana oleh kedua orangtuanya. Walaupun memang tidak semerta-merta di Amerika Kara menjadi selalu tinggal bersama orang tuanya, tetapi pada tahap itu didalam hidupnya ia ingin mencapai tujuan yang lain yaitu bertemu dengan banyak pengalaman baru, hal-hal baru dan terutama orang-orang baru didalam hidupnya agar ia bisa melupakan semua rasa kesepian yang kerap kali muncul dibenaknya.

Setelah Kara menyelesaikan studinya di Amerika, akhirnya Kara bisa berkumpul kembali bersama sahabat-sahabatnya yaitu Nakita dan Teala. Meskipun latar belakang  pendidikan Kara adalah seni secara umum, namun ia lebih memilih untuk menekuni karir dibidang lain yang menurutnya lebih menunjukkan jati diri dan passion-nya, yaitu bekerja sebagai seorang perancang busana.

Banyak jalan terjal yang terpaksa harus dilewati Kara dan Nakita selama berusaha meraih karir yang cemerlang dengan tujuan utama membuat sebuah rumah mode sendiri, walaupun masih dibantu berupa kucuran uang pertama untuk membangun sebuah kantor yang berasal dari orang tua Kara. Hingga akhirnya Kara dan Nakita bisa mencapai titik yang cukup nyaman dalam hidupnya.

***

Hari-hari masih berjalan seperti biasanya, Kara masih ceroboh dan pelupa, lalu Nakita masih usil tapi sangat penyanyang. Ada aktivitas baru yang beberapa hari belakangan ini kerap dilakukan oleh mereka berdua, yaitu mempersiapkan sebuah pertunjukkan untuk pekan fashion di Jakarta. Banyak hal yang harus Kara urusi, mulai dari gambar rancangan pakaian, mencari model untuk hari-H pertunjukkan, menemui klien untuk berbagai urusan, harus tetap menjaga produksi pakaian-pakaian  diluar kepentingan pekan fashion, dan masih ada seabrek lagi hal yang perlu Kara urusi secepatnya. Begitupun dengan Nakita, ia tentu sama sibuknya seperti Kara.  Hingga terkadang mereka akan diri mereka sendiri, lupa bahwa mereka adalah seorang wanita yang memerlukan waktu untuk menyenangkan diri sendiri melalui aktivitas-aktivitas favorit mereka seperti yang berkaitan dengan musik atau film.

“Kara, aku punya tiket resital piano buat hari sabtu, masih minggu depan sih,”

“Serius, Ta?”

“Iya, aku punya tiket dan kabar baik buat kamu,”

“Tiket? Kabar baik? Maksudnya apa?”

“Aku punya 2 tiket nonton resital piano itu, yang artinya kita bisa berangkat nonton resital itu rame-rame berdua. Yeayyyyyyy!” teriak Nakita.

“Ya ampun. Aku mau banget Ta datang ke resital itu. Tapi..” Kara masih meragu.

“Tapi apa?”

“Kita kan masih banyak banget kerjaan Ta,”

“Udah, ga usah tapi-tapian. Kita kan jarang banget libur terus seneng-seneng berdua, ya kan?”

“Iya sih bener, kita kerja kaya ga pernah ada liburnya,”

“Nah bener kan, ini momen paling tepat buat kita jalan bareng sebagai sahabat buat seneng-seneng tanpa ada embelembel kerjaan,”

“Okedeh Ta, by the way makasih banyak ya tiketnya.”

Waktu terasa berlalu begitu cepat, hingga tiba saat dimana Kara dan Nakita pergi bersama untuk ke sebuah arena pertunjukkan yang megah untuk menyaksikan pertunjukkan resital piano. Malam hari itu mereka memutuskan untuk pergi diantar serta dijemput oleh Kalvin, teman dekat Nakita, karena mereka merasa bahwa malam itu terasa sangat spesial hingga mereka tidak mau menyetir sendirian. Kalvin hanya mengantar saja hingga ke depan ke arena lalu nanti akan kembali menjemput mereka lagi, karena ia memutuskan untuk tidak menggunakan tiket pertunjukkan resital piano itu dan memberikan kesempatan bagi Nakita dan Kara untuk bersenang-senang bersama setelah sekian lama selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Bukankah persahabatan juga harus dipupuk terus kan agar selalu tumbuh dan berkembang?

Malam belum menjadi terlalu larut, saat itu mereka sudah siap dengan pakaian terbaik masing-masing. Pada hari sebelumnya, mereka sudah berjanji dan sepakat untuk mengenakan gaun malam sederhana dengan warna yang senada, mereka memutuskan menggunakan warna hitam. Kara dan Nakita biasanya tampil hanya dengan kaus putih polos dan celana jeans saja karena seharian hanya berada di kantor, namun malam itu mereka nampak berbeda, terlihat begitu anggun dibawah pantulan sinar rembulan yang makin malam terasa makin terang.

Sesaat setelah mereka masuk ke dalam arena pertunjukkan, satu hal yang langsung dirasakan adalah kagum dan terkesima. Walaupun kursi penonton baru terisi di beberapa bagian saja, tetapi Kara dan Nakita sudah mampu memprediksi bahwa resital piano yang akan dibawakan oleh pianis favorit Nakita ini akan menjadi sangat syahdu sekaligus meriah dan spektakuler.

Pertunjukkan malam itu semacam konser tunggal yang berisi permainan-permainan indah dari alat musik piano, tema pertunjukkannya adalah The Vow yang artinya janji. Nakita mungkin jauh lebih mengetahui banyak hal mengenai musik yang akan ditampilkan pada resital tersebut, berbeda dengan Kara, ia tidak begitu mengikuti pianis yang akan menunjukkan bakat serta performanya malam itu. Namun bukan berarti Kara tidak menyukai musik atau tidak menyukai piano, justru ia adalah pendengar sekaligus penikmat musik yang baik.

Pertunjukkan dibuka dengan penampilan yang terkesan sangat mewah dan megah. Seluruh kursi penonton sudah ditempati oleh tuannya masing-masing. Nakita sangat terlihat antusias selama beberapa jam pertunjukkan tersebut. Begitupun dengan Kara, ia terlihat sangat gembira dan menikmati suguhan permainan piano yang mengalun indah di telinganya.

Namun ada satu hal yang mengganjal benak Kara sejak awal pembukaan pertunjukkan hingga akhir. Ada sebuah perasaan familiar yang aneh, yang tidak seharusnya Kara rasakan karena perasaan itu terasa sangat asing baginya. Dentingan pianonya, genre musiknya, alunan merdu lagunya, untuk beberapa alasan klise, Kara merasa bahwa hal itu sangat dekat dengannya. Pertunjukkan kali ini memang pengalaman pertama bagi Nakita, namun berbeda dengan kesan yang ia rasakan. Kara merasa ini bukan pertama kalinya, pertunjukkan ini terasa begitu familiar. Meskipun perasaan aneh itu timbul hanya sementera, seperti kadang timbul dan kadang juga tenggelam.

Bersambung…..

p.s: ephemeral adalah sebuah istilah didalam bahasa inggris yang artinya adalah hanya sesaat atau sementara

Comments

comments