Petualangan UKT

399

Oleh: Syawahidul Haq dan Rio Tirtayasa

Bumi Siliwangi, isolapos.com- Sejak diberlakukannya sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa Perguruan Tinggi Negeri Indonesia, tak ayal seringkali menimbulkan gejolak protes dari mahasiswa. Dari mahalnya biaya UKT, UKT yang dinilai tidak transparan dalam hal aliran dana maupun prosedur penggolongan penetapan biayanya, tidak adanya verifikasi terhadap mahasiswa yang status ekonominya dapat tiba-tiba berubah, hingga penentuan ulang biaya terhadap mahasiswa semester 9 yang belum menyelesaikan masa studinya—dilihat dari beban SKS yang dimiliki mahasiswa semester akhir, misalnya, hanya mengerjakan skripsi saja.

Kali ini, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) kembali menggelar sebuah aksi. Aksi yang dipelopori Aliansi Mahasiswa UPI pada Kamis (6/7) ini, salahsatunya menuntut rektorat akan transparansi dana UKT dan agar segera menyikapi persoalan UKT bagi mahasiswa diatas semester 8 bagi S1 dan semester 6 bagi D3 yang belum menyelesaikan masa studinya.

Terkait tuntutan mengenai transparansi dana UKT, Asep Kadarohman, Rektor UPI mengatakan akan segera memublikasi data tersebut pada media arus utama. “Dalam waktu dekat akan keluar neraca keuangan UPI di media massa, sesuai dengan Statuta UPI, di mana UPI harus menyampaikan laporan keuangan di media massa,” katanya di hadapan massa aksi.

Problematika UKT dan Mahasiswa Semester 9

Dalam press release yang tersebar, “Secara konsepsi UKT, akumulasi UKT hingga 8 semester untuk sarjana atau 6 semester untuk diploma telah melunaskan biaya pendidikan berupa uang gedung dan seluruh SKS untuk kelulusan.”

Perhitungan UKT dengan nilai pembagi 8 semester bagi S1 dan 6 semester bagi D3 diperkuat dalam Penyusunan Unit Cost Program Studi Dengan Dasar Model ABC yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada November 2012. Dalam paparannya, penghitungan biaya hanya sampai pada semester 8.

Ahmad Fauzi, Presiden BEM Rema UPI mengatakan, untuk perhitungan UKT mahasiswa semester 9 yang belum menyelesaikan masa studinya, pihak kampus harus menyusun kembali regulasi yang ada. Pasalnya, beberapa mahasiswa yang belum menyelesaikan masa studi dikarenakan pengerjaan skripsi atau tugas akhir yang tidak terpaku di ruang kelas harus dibedakan dengan mahasiswa semester 1 yang sepenuhnya berada di ruang kelas dengan bobot SKS yang banyak.

Rektor UPI, dalam hal ini menyatakan, pihak rektorat telah mengaji permasalahan tersebut, “Itu sudah kami diskusikan, kami akan mengambil polanya yang Brawijaya (Universitas Brawijaya, -red). Toh Brawijaya sudah menerapkan itu (pemberlakuan regulasi baru UKT bagi mahasiswa akhir, -red), dan saya kira cukup bagus.”

Sedangkan sambil menunggu keputusan dari mekanisme pembayaran biaya kuliah bagi mahasiswa semester 9, Rektor menawarkan solusi sementara: mahasiswa semester 9 hanya tinggal menemui pihak fakultas dan melapor pada Wakil Dekan III bagian kemahasiswaan masing-masing fakultas, “Kemudian nanti akan ada verifikasi, kemudian akan diuji kelayakannya,” tegasnya.

Namun, pernyataan yang dilontarkan Rektor ternyata bukan sebuah solusi atas permasalahan tersebut. Rivaldi Pamungkas, ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI menilai, pada akhirnya, formulir yang dihadirkan wakil dekan atas imbauan Rektor UPI hanya berisi formulir penangguhan dan bantuan biaya. “Secara teknis seperti penangguhan dengan pola daftar pada WD III. Saya kira itu bukan solusi,” tegasnya.

Fauzi menyarankan, pihak kampus diharuskan mengeluarkan sebuah kebijakan terkait regulasi baru terhadap mekanisme pembayaran uang kuliah bagi mahasiswa semester 9 dengan pengklasifikasian khusus antara mahasiswa yang masih ada beban SKS, mahasiswa yang hanya tinggal mengikuti sidang skripsi dan mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.

“Ada tuh yang Agustus ini tinggal sidang, tapi masuknya ke semester 9. Harus bayar sesuai dengan UKT, kan nggak adil,” katanya.[]

Comments

comments