Menyapa Feminisme di Era Millenials
Oleh: Rachmi Arin Timomor
Bandung, isolapos.com— Bandung Lautan Damai (Balad) mengadakan Pekan Aksi #BDGLautanDamai2017, sebuah rangkaian acara menyambut Hari Toleransi Internasional. Melalui Bandung Creativist Gathering sebagai pembuka rangkaian tersebut, Balad mengangkat tema. “Reflecting Diversity”. Obrolan Santai bertajuk Menyapa Toleransi, menjadi salah satu kegiatan yang dihelat di Kafe Kaka, Sabtu (4/11) sore.
Sri Mulyati dari SAPA Institute menceritakan, bagaimana kisah pahit perjuangan perempuan dewasa ini. Ia mengungkapkan, salah satu kendala perempuan yang sangat ingin berkembang dan berpikir lebih maju adalah kecaman dari orang-orang terdekat. “Jika laki-laki punya perspektif yang berbeda, sepertinya akan lebih mudah untuk menjelaskan. Namun, perempuan tidak karena banyak pembatasan.”
Menurutnya, banyak tulisan-tulisan sexsiest, yang sifatnya bercandaan melecehkan kaum perempuan, dan itu dianggap menjadi hal yang biasa. Ketika seorang perempuan menjadi korban kekerasan, dan dia berhasil punya suami, itu dianggap sukses. Namun jarang digambarkan perempuan yang mampu memperjuangkan haknya, yang berani bahwa mengatakan dia adalah korban kekerasan seksual.
Sri, salah satu aktivis dalam memperjuangkan hak-hak perempuan ini juga menyampaikan, selama ini bacaan mengenai feminisme didapatkan dari dunia Barat. Maka, sangat penting bahwa penulis-penulis Indonesia mentafsirkan ulang apa itu gerakan feminisme agar lebih sesuai dengan karakter dan budaya Indonesia. Sehingga orang tidak akan berpikir bahwa itu adalah ideologi Barat. Melainkan bentuk keresahan dari orang yang mengalami kekerasan dan pelecehan.
Sejalan dengan Wawan Gunawan dari Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB), toleransi merupakan hal yang patut dijaga, terutama di Indonesia. Hal itu disebabkan minimnya sikap warga Indonesia dalam menjaga keberagaman. Disingung mengenai gerakan feminisme, Wawan mengungkapkan, masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima bahwa emansipasi wanita yang setara dengan pria adalah sesuatu yang benar. “Perempuan adalah subordinat. Perempuan yang selalu salah.”
Wawan, yang juga dosen Universitas Islam Negeri (UIN) mengemukakan solusi atas gawatnya krisis toleransi di Indonesia. Salah satunya dengan melakukan pertemuan antar generasi dengan bentuk sharing potensi dan aktivitas.
Diskusi ini ditutup dengan salah satu peserta yang mengungkapkan, toleransi dan gerakan feminisme merupakan suatu bentuk penyelamatan kemanusiaan. “Saya setuju dengan titik temu kemanusiaan. Saya memperjuangkan keberagaman karena manusia yang dibicarakan. Sri memperjuangkan gender karena berbicara manusia,” tanggap Wawan kepada peserta dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu.[]