IPK Rendah, Dua Mahasiswa UPI Harus Mengundurkan Diri

1,877

Oleh: Syawahidul Haq

Bumi Siliwangi, isolapos.com— Angga Prihayadi bingung ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa dirinya harus meninggalkan status kemahasiswaannya karena IPK yang rendah. Kabar itu ia terima  lewat pesan singkat via whatsapp 24 Januari silam, dari dosen departemennya, Yostiani Noor Asmi.

“Angga, ibu WD ingin bertemu,” Angga menunjukkan bekas percakapannya. Selang beberapa menit, ia langsung menghubungi Tri Indri Hardini, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) UPI.

Saat itu ia masih melanjutkan KKN di Garut. Kondisi itu membuat Angga bingung untuk meninggalkan tempat KKN-nya. Disesbabkan, ia sudah terlanjur mengikuti kegiatan hingga tahap akhir. Namun, Tri Indri tetap meminta Angga untuk segera pulang menemuinya dan menyudahi kegiatan.

Pada Kamis (1/2), Angga menghadap Tri Indri untuk membincangkan masalahnya. Tak banyak basa-basi, ia hanya meminta untuk di drop out oleh kampus. “Saya tidak akan menyatakan mengundurkan diri. Mungkin surat drop out dari kampus merupakan sikap kampus terhadap aturan yang ada,” ujar Angga.

Satu minggu kemudian, (8/2), Angga, atas inisiatif sendiri untuk menanyakan surat drop out dan menanyakan mengapa KKN-nya sempat di-acc­ oleh dosen pembimbing—bersama orang tuanya bertemu Wakil Dekan I FPBS, Ketua Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia, Sekretaris Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ketua Program Studi (Prodi) Bahasa dan Sastra Indonesia. Setelah beberapa lama berdiskusi, dengan sedikit terpaksa, ia menandatangani surat kesediaannya untuk mengundurkan diri.

Kasus yang menimpa Angga itu, bukan tanpa sebab. Pasalnya, pengunduran diri yang harus ia lakukan berasal dari satu regulasi yang telah diatur dalam Pedoman Penyelenggaran Pendidikan Tahun 2017 tentang Penilaian Kelayakan untuk Melanjutkan Studi.

Dalam peraturannya, dituliskan: “Mahasiswa dapat melanjutkan studinya apabila setelah 4 semester berhasil mengumpulkan minimal 60 sks dan mencapai IPK ³ 2,50. Mahasiswa yang telah mengumpulkan 48–59 sks dan mencapai IPK 2,00–2,49 dapat melanjutkan penyelesaian studinya dengan bimbingan khusus dari dosen Pembimbing Akademik (PA). Mahasiswa yang memperoleh kurang dari 48 sks dan/ atau mendapatkan IPK < 2,00 harus mengundurkan diri atau pindah Departemen/ Prodi. Pimpinan Fakultas/ Kampus UPI di Daerah mengajukan usulan kepada Rektor untuk ditetapkan surat keputusannya.”

Hal serupa, bukan hanya menimpa Angga. Kawan satu departemennya, Rifki Fajar Ramdhani, mahasiswa semester 8 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra UPI pun terkena regulasi yang sama. “Tanggal 8 Februari. Pas dipanggil teh, langsung disuruh membuat surat pengunduran diri,” katanya saat diminta konfirmasi, Senin (19/2).

“Saya beranggapan, karena gara-gara ikut aksi”

Angga sempat curiga terhadap pemanggilan oleh pihak departemen. Pasalnya, ia pernah mengikuti aksi demonstrasi terkait kejelasan UKT di UPI. Sejak keikutsertaan tersebut, Angga merasa masalah akademiknya terbawa sehingga menjadi lebih rumit. “Saya beranggapan, karena gara-gara ikut aksi, hadirlah persoalan-persoalan akademik. Ya jadi ngerembet aja,” kata Angga.

Namun, pernyataan Angga dalam berita yang dimuat oleh media luar dibantah Tedi Permadi, Ketua Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. “Ini ‘kan sangat negatif beritanya,” ujarnya saat diwawancara pada Rabu (21/2) siang, di ruangannya.

“Saat saya tanya Angga, wartawan menulis berita itu tanpa konfirmasi lagi ke Angga, jadi menjelekkan nama Angga,” ia menambahkan.

Diduga Tidak Sesuai Prosedur

Berdasarkan temuan di lapangan, diduga ada langkah yang dilewati pihak Prodi dan FPBS dalam menyikapi kasus pengunduran diri ini. Temuan tersebut berupa surat rekomendasi pengunduran diri telah masuk ke Direktorat Akademik UPI sejak 1 Februari. “Dari Prodinya itu 26 Januari 2018,” kata Dadang, ketika ditemui di kantornya, Selasa (13/2).

Namun, pengajuan tersebut dianggap tidak sah karena tidak adanya surat pernyataan pengunduran diri dari mahasiswa bersangkutan. “Tidak mungkin mengeluarkan surat pengunduran diri kalau tidak ada surat dari yang bersangkutan,” katanya, “Sehingga di akademik itu, meminta (Program Studi, -red)—walaupun itu bentuknya lisan, by phone—dilengkapi.”

Berbeda dengan Tedi, ia menyebutkan tidak masalah ketika hanya mengajukan surat rekomendasi karena sifatnya usulan, bukan pengunduran diri yang bersangkutan. “Betul. Jadi begini, kalau kami di Prodi tidak bisa meminta, ya. Hanya merekomendasikan. Akan lebih baik jika, begitu ya. Ini pun terserah rekomendasi mau dijalankan atau tidak,” ujarnya. “Kalau pengunduran, iya. ‘Kan pengunduran (dari, -red) yang bersangkutan. Kalau (surat, -red) rekomendasi, tanpa harus dari yang bersangkutan. ‘Kan, kita Prodi punya kewajiban memberikan rekomendasi.”

Bimbingan Khusus yang Masih Bias

Terkait bimbingan khusus dari dosen PA yang tertuang dalam Pedoman Penyelenggaran Pendidikan UPI, Angga mengaku, dirinya tak pernah mendapat bimbingan khusus atau sejenisnya. “Hanya peringatan. Nggak ada bimbingan (khusus, -red),” ujar dia.

Hal ini kemudian dikonfirmasi Tedi, setiap mahasiswa yang memiliki IP rendah setiap semesternya, Prodi selalu memanggil mahasiswa bersangkutan. “Kami berikan pengarahan,” ujarnya. “Bahkan disitu Angga, itu semester kemarin dipanggil dengan orang tuanya.”

Disinggung bentuk kongkrit terkait bimbingan khusus dari dosen PA, ketika mendapat IPK 2,00 – 2,50. Ia hanya mengatakan jika bimbingan khusus sudah mahasiswa dapatkan ketika berada dalam kelas. Seperti sistem absen dan aktif mananyakan keberadaan mahasiswa jika tidak hadir. Selain itu, jika terdapat keluhan mahasiswa, pihaknya akan mengarahkan mahasiswa pada bimbingan konseling.

“Mahasiswa sudah dewasa dan sudah punya sikap sendiri. Kami sampaikan secara normatif saja,” katanya. “Kami tidak mungkin datang ke rumahnya, kemudian memberikan (pengarahan, –red), itu kan di luar kewenangan kami, di luar tugas kami juga.”

Namun, untuk kasus seperti Angga, Tedi menyatakan karena IPK Angga di bawah 2,00 maka tak ada yang namanya bimbingan khusus. “Ini kan jelas di sini kalau aturannya, mahasiswa tidak ada (bimbingan khusus, -red) dari (IPK) 2,00 sampai 49 (SKS),” jelas Tedi sambil membaca ulang aturan yang tertera di atas meja.

Sehingga untuk kasus seperti Angga, pihaknya hanya bertugas menyampaikan kepada orang tua dan mahasiswa terkait untuk kemudian membuat surat pernyataan mengundurkan diri.

Menjaga Akreditasi

Menanggapi Peraturan Rektor tentang kelayakan melanjutkan studi, Tri Indri mengatakan peraturan tersebut telah dibuat berdasarkan analisis yang kuat, perhitungan yang mantap dan turunan dari Permenristekdikti Nomor 44/2015. “Dalam peraturan kemenristekdikti itu, ada aturan mahasiswa S1 itu harus mencapai minimal SKS, 144 untuk S1 selama 14 semester,” tegasnya ketika diwawancara di ruangannya, Selasa (20/2).

Tri menjelaskan, berdasarkan perhitungan tidak akan selesai sampai 14 semester. Pun pertimbangan akreditasi kampus yang nantinya akan memudahkan lulusan kampus mendapat pekerjaan. “Begini ya, karena kita sudah, pertama akreditasinya A. Sekarang kalau cari pekerjaan, ya, suka ditanya, ‘dari Prodi mana? Prodinya akreditasinya apa?’” jelasnya. “(Intinya, –red), mahasiswa itu tau kewajibannya.”

Senada dengan Tri Indri, Tedi pun menyepakati regulasi tersebut ada kaitannya dengan akreditasi. Jika akreditasi sebuah program studi tidak mencapai standar, mahasiswa yang telah lulus dan bercita-cita bekerja akan terhambat. “Misalnya begini, kalau melamar ke BPPT, ke LIPI, ke BATAN harus A akreditasi program studinya. Kalau B langsung dicoret,” ujarnya menjelaskan.

Kasus yang menimpa Angga dan Rifki merupakan hal yang dapat menimpa mahasiswa kapan saja. Lewat dalih keseimbangan lulusan dan akreditasi, siapa pun yang memiliki IPK rendah dapat disingkirkan melalui peraturan yang berlaku.

“Hati-hati saja. Aturan ini sudah nggak bener. Karena masih ada aturan, kayak, kita itu boleh berkuliah selama 7 tahun atau 14 semester. Terus ketika, 4 semester udah jelek, disuruh mengundurkan diri. Itu ‘kan, udah ketimpangan,” ujar Angga mewanti-wanti.

Begitupun dengan Rifki, baginya kasus ini merupakan kegagalan Universitas sebagai institusi pendidikan. “Kampus harus siap dengan konsekuensinya. Kalau ada yang bandel kayak saya, bimbing dong. Bukan mengharuskan saya mengundurkan diri,” tegasnya.[]

Comments

comments