Hasil Survei Alvara dan Organ Ekstra Menjadi Alat Pemerintah di Kampus
Oleh: Rio Tirtayasa
Bandung, isolapos.com – Penghujung bulan Oktober lalu, dunia kemahasiswaan seluruh Indonesia dihebohkan dengan tidak berlakunya Surat Keputusan (SK) Dirjen Dikti Nomor 2/Dikti/Kep/2002 Tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kampus. Sebagai gantinya, diluncurkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 55 Tahun 2018, Tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Lingkungan Kampus. Sebelumnya, mari saya mulai pembahasan ini.
Melihat SK Dirjen Dikti Hingga ke Peraturan Rektor UPI
Dikutip dari ruil.or.id, bahwasanya SK Dirjen Dikti No 2/Dikti/Kep/2002 mengacu pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Jika melihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur hierarki perundang-undangan, maka seharusnya SK Dikti tersebut tidak lagi mengacu pada UU SPN Tahun 1989. Sebab, UU SPN tersebut sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan kemudian digantikan lagi oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Hal lain yang menjadi perdebatan adalah pada dasarnya SK bersifat beschkking atau bersifat konkrit, spesifik dan individual. SK biasanya digunakan untuk menjadi arahan pada suatu subjek hukum dan tidak mengatur atau melarang. Dalam SK tersebut maksud dari organisasi esktra kampus (organ ekstra) masih dipertanyakan karena tidak dicantumkan kualifikasi khusus yang dimaksudkan dari organ ekstra.
Sama halnya yang terjadi di UPI, SK Dikti juga digunakan sebagai landasan UPI dalam membuat peraturan. Sebagai contoh Peraturan Rektor UPI NOMOR:8052/H40/HK/2010 Tentang Ormawa di Lingkungan UPI yang melarang organ ekstra. Pasal 25 poin (a) berbunyi larangan mengikuti segala bentuk organisasi ekstra kampus dengan membawa nama UPI. Peraturan tersebut masih berdasarkan SK Dikti tahun 2002.
Dikutip dari isolapos.com, UPI menyamakan perspektif tentang organ ekstra seperti UKM Silat Tadjimalela dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kepala Divisi Pembinaan Organisasi Kemahasiswaan Dirmawa UPI, Joni Rahmat Pramudia mengatakan bahwa UKM Tadjimalela UPI termasuk dalam organ ekstra dan merupakan salah satu komisariat atau cabang dari UKM Tadjimalela.
Jika mengacu pada pasal di Peraturan Rektor memang tidak salah, karena Tadjimalela termasuk organ ekstra dalam bidang persilatan. Hal yang menjadi lucu adalah, apakah bisa UKM Silat disamakan dengan HMI? Loh UKM Silat ini dari partai politik mana, dari PSI? Partai Silat Indonesia kan tidak ada.
Tetapi, itu adalah hal lama, karena SK Dikti tersebut sudah tidak berlaku, jadi tak perlu mempermasalahkannya lagi. Pengganti dari SK Dikti yang mengatur organ ekstra adalah Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Lingkungan Kampus. Walaupun saat ini belum disahkan, sebab masih menunggu penomorannya oleh Kemenkumham.
Alasan Menristekdikti Membuat Permen Nomor 55 Tahun 2018
Ketika diberlakukannya Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 nanti, secara tidak langsung semua yang berunsur organ ekstra tidak dilarang di dalam kampus. Permen ini yang ditunggu-tunggu semua organ ekstra, tak terkecuali Organisasi Cipayung Plus. Bagaimana tidak, setelah 16 tahun organ ekstra tidak boleh berada di lingkungan intrakampus, akhirnya dibolehkan dengan syarat tidak diperbolehkan membawa dan menggunakan atribut masing-masing organ ekstra di dalam kampus.
Mengapa Menristekdikti membuat Permen ini? Salah satu alasan yang dikemukakan Menristekdikti adalah hasil survei dari Alvara Reasearch Center. Hasil pemaparan Alvara dapat diunduh di laman belmawa.ristekdikti.go.id. Alvara mengindikasikan bahwa kampus-kampus di Indonesia dimasuki paham radikalisme atau lebih kepada radikalisme Islam.
Alvara menyebar survei di 25 perguruan tinggi dengan jumlah 1800 responden. Jika dilihat dari pembagiannya, masing-masing universitas mendapatkan sampel 60-100 responden. Lucu bukan? Jumlah yang dijadikan sampel hanya 60-100 responden di antara beribu bahkan berpuluh ribu mahasiswa di setiap perguruan tingginya.
Implikasi dari hasil survei yang dilakukan Alvara Research Center adalah menguatnya ajaran intoleransi. Kampus-kampus negeri semakin rawan terkena dampak ajaran intoleransi dan radikalisme, serta kelompok-kelompok intoleran semakin mendominasi kajian-kajian di kampus.
Menilik UPI Hari Ini
Berdasarkan hasil paparan Alvara, di UPI sendiri diambil sampel 60 mahasiswa. Jika menghitung sampel tersebut terhadap banyaknya mahasiwa UPI apa itu sudah terwakili semuanya? Mari kita hitung, tiap tahunnya jumlah mahasiswa baru UPI adalah sekitar 8000 mahasiswa. Jika dikalikan empat angkatan yang masih aktif maka hasilnya sekitar 28.000 mahasiswa. Belum lagi ditambah jumlah mahasiswa yang berada di atas tingkat empat. Jadi, apakah jumlah 60 sampel mahasiswa bisa mewakili sekitar 28.000 lebih mahasiswa? Silakan Anda simpulkan sendiri.
Melihat kampus UPI hari ini, mahasiswa UPI memang tidak terlepas dari nilai-nilai keislaman. Ketika tingkat pertama kita yang beragama islam diwajibkan dosen mengikuti PAI di Islamic Center tiap akhir pekan dan begitu pula SPAI di tingkat ketiga. Memang pada dasarnya salah satu moto UPI adalah religius.
Secara tak langsung, UPI mendorong mahasiswanya untuk benar-benar mendalami ilmu agama islam. Tentu niatnya baik, namun, lemahnya pengawasan menyebabkan indikasi intoleransi bermunculan. Sebagai contoh saat kejadian pembakaran bendera tauhid, bendera yang belum jelas identitasnya tersebut membuat sebagian mahasiwa yang ‘baru’ mendalami ilmu agama ikut begitu saja tersulut emosi.
Organ Ekstra Sebagai Kaki Tangan Pemerintah di Kampus
Kembali ke pembahasan awal, berkenaan dengan Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018, tak lama lagi Menristekdikti akan membentuk Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB) yang diklaim sebagai upaya menekan paham radikalisme dan intoleran di dalam kampus. UKM ini beranggotakan organ intra dan ekstra kampus, dengan syarat organ ekstra tidak boleh memakai atributnya masing-masing dan membawa politik praktis di kampus.
Setelah kebijakan tersebut, mari kita coba selisik, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada pemerintah yang kini membuka akses bagi organ ekstra untuk memasuki kampus? Apakah pemerintah tidak sanggup mengatasi masuknya paham radikalisme ke dalam kampus hingga akhirnya ‘mengajak bekerja sama’ organ ekstra dengan iming-iming tidak ada larangan bagi mereka berada di kampus?
Di sisi lain, apa yang terjadi dengan organ ekstra sehingga menuruti rumusan Permenristekdikti? Apakah tidak ada jalan lain selain menuruti asalkan mereka bisa masuk ke dalam kampus? Hanya Menristekdikti dan organ ekstra yang tahu, karena Permen itu belum disebarluaskan lantaran belum sah.
Jika nanti organ ekstra benar menjadi pengawal ideologi negara, bisa dikatakan organ ekstra hari ini adalah alat atau kaki tangan pemerintah di kampus. Pemerintah tidak perlu pusing lagi mengatasi perkembangan radikalisme dalam kampus. Sebab sudah ada kaki tangan untuk menanganinya.