Kritik Sistem Pendidikan dalam Novel “Namaku Alam”

464

Oleh : Harven Kawatu

Bumi Siliwangi,Isolapos.com-Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan diskusi buku “Namaku Alam” pada Jumat (16/12) dengan menggandeng penerbit Kepustakaan Populer Gramedia. Acara tersebut menghadirkan dua pemantik, yaitu Leila S. Chudori selaku penulis buku “Namaku Alam” dan Zulfa Nasrulloh yang merupakan seorang penulis serta pendiri Majalaya ID. Diskusi tersebut diselenggarakan di Auditorium Gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) UPI Lantai 3.

“Namaku Alam” merupakan novel terbaru dari Leila yang memiliki hubungan dengan novel sebelumnya, yaitu “Pulang” yang terbit sebelas tahun lalu. Kedua novel ini memiliki latar sejarah yang sama, yaitu tragedi tahun 1965. Meski begitu, fokus penceritaan kedua novel tersebut berbeda. Novel “Pulang” berkisah tentang kehidupan para eksil di luar negeri, sedangkan “Namaku Alam” bercerita tentang anak-anak tahanan politik (tapol) di Indonesia. 

“Namaku Alam” sendiri berfokus pada tokoh Segara Alam, seorang anak tapol yang sedari kecil tak putus dirundung lantaran latar belakang ayahnya yang dituding dekat dengan sebuah organisasi berhaluan kiri. Leila menjelaskan “Namaku Alam” akan dibuat menjadi dua buku terpisah. Buku yang sudah terbit sekarang adalah bagian pertamanya.

Dalam diskusi, Leila menjawab pertanyaan mengapa ia memilih Alam sebagai tokoh utama daripada tokoh-tokoh lain. Salah satu alasannya adalah ingatan fotografis (photographic memory) yang dimiliki Alam ketika muncul pada novel “Pulang”. Semenjak ditulis dalam “Pulang”, Leila menilai ingatan fotografis Alam merupakan sebuah keunikan karena membuat Alam menjadi orang yang tidak bisa lupa dengan kejadian yang telah dialaminya. “Alam ini orangnya gak bisa melupakan karena dia punya photographic memory, bahkan sebenarnya dia, ‘aduh, kalau boleh gua mau dong melupakan’, gitu, gak bisa karena dia memang istimewa dikasih anugerah gitu bahwa dia bisa mengingat segala yang detail sehingga memang dia dianggap genius di sekolahnya,” jelas Leila.

Bentuk Kritik Atas Sistem Pendidikan Indonesia.

Leila bercerita bagaimana anak sekolah menengah tingkat atas (SMA) di negara seperti Thailand dan India yang memiliki budaya membaca yang baik meskipun mereka adalah anak dengan penjurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ia lantas membandingkan dengan pengalamannya ketika menempuh pendidikan SMA dan memilih jurusan IPA. Saat itu, ia bercerita bahwa ia tidak mendapatkan ilmu-ilmu humaniora. 

Leila tidak setuju dengan penjurusan yang begitu ketat. Menurutnya, anak anak IPA tetap perlu diajarkan ilmu-ilmu sosial, begitu pula sebaliknya. “Jadi, itu kritik saya, waktu itu pembagiannya terlalu ketat sehingga masing-masing jurusan itu menjadi sempit pengetahuannya,” jelasnya. Leila melihat SMA serta jenjang berikutnya, yaitu sarjana sebagai tempat untuk belajar berpikir. Sementara, penjurusan keahlian tertentu didapat di jenjang pascasarjana. 

Novel “Namaku Alam” menjadi wadah kritik Leila terhadap sistem pendidikan di Indonesia, khususnya pada tahun 80-an. “Bagi yang membaca ‘Namaku Alam’ (bagian-red) pertama akan merasa kritik dari Alam, melalui Alam, bagaimana saya mengkritik sistem pendidikan di Indonesia di tahun 80-an,” jelasnya.

Leila juga memberikan kritik terhadap perilaku bullying di lingkungan sekolah yang tidak bisa diselesaikan dengan baik. Leila menilai masih ada sekolah yang menutup mata akan perundungan yang terjadi di sekolah. “Karena yang mem-bully tuh, di zaman itu biasanya anak-anak pejabat dan anak-anak orang kaya lah. Ya, sama-sama tidak fair, ya, situasi di zaman itu dan tentu saja saya mengkritik itu. Mengkritik bagaimana bully tidak bisa ditangani dengan baik,” jelas Leila.

Zulfa, pemantik berikutnya, menyoroti kehadiran SMA Putra Nusa dalam “Namaku Alam”. SMA Putra Nusa adalah sekolah fiktif karangan Leila yang dikisahkan sebagai sekolah yang berbeda dengan sekolah lain pada masa itu. Sekolah tersebut mampu merubah persepsi Alam akan buruknya lingkungan pendidikan yang ia dapati ketika dirundung pada tingkat sebelumnya. Karena itu, Zulfa memberi impresi SMA Putra Nusa sebagai sesuatu yang utopis. “Kalau kita baca, sih, sampai detik ini juga, sekolah kayak gini tuh utopis, kayaknya gaada deh, sekolah kayak gini, terlalu ideal,” ucapnya.

Keidealan SMA Putra Nusa membuat Zulfa merasa bahwa sekolah tersebut adalah sebuah kritik keras terhadap sistem pendidikan karena muncul dalam sebuah karya fiksi. “Ketika suatu hal ideal itu dibuatnya di novel, itu jatuhnya fantasi. Loh kok begini, ya, kayaknya ga mungkin, padahal mungkin, tapi saking mandeknya Indonesia itu (menjadi hal yang-red) ga mungkin,” jelas Zulfa. []

Redaktur : Amelia Wulandari

Comments

comments