Oleh: Muhammad Tristan Shah Jahan*
Belakangan kita melihat tingkah penguasa yang seolah-olah peduli merawat ingatan masyarakat. Namun pada kenyataanya, penguasa tak lain sebagai seorang “jagal” yang dengan keji, mempreteli kenyataan dengan pisau kebohongan.
Kini ketika siapapun yang dapat dengan mudah menuliskan sejarah sesuai dengan keyakinannya masing-masing, bagaimana kita tahu kebenaran yang sejati? Ketika Menteri Kebudayaan, Fadli Zon bersikukuh menolak kenyataan atas lembar hitam sejarah Genosida 1965–1966 atau peristiwa pemerkosaan massal pada 1998 dalam proyek sejarah revisi, apa demikian penguasa ingin menciptakan kebenaran yang selaras dengan kepentingannya?
Maka untuk menjawab segala polemik yang terjadi, perlu kita “mempersenjatai diri”—bukan dengan pedang atau senjata api, melainkan pengetahuan yang tajam, kesadaran yang luhur dan kecermatan dalam memilah narasi—untuk menghadapi tulisan versi negara yang penuh kepura-puraan.
Niat dari agenda revisi sejarah Indonesia memang tulus untuk “mengindonesiakan” arah penulisan sejarah kita yang berpangkal pada rasa kebanggaan dan cinta tanah air. Disamping itu juga agenda penulisan dilakukan untuk membentuk narasi yang dihasilkan dari temuan fakta-data sejarah baru baik dari penelitian tesis atau disertasi maupun penelitian arkeologis. Tetapi yang menjadi tanda tanya besar apakah pembaruan-pembaruan yang bakal disuguhkan tersebut, dapat memperdalam narasi ataukah jadi niat terselubung negara untuk mengurangi bahkan menghapus kenyataan yang terjadi?
Menyitir tulisan sejarawan Ong Hok Ham yang dimuat di Tempo pada 5 September 1981, bahwa penulisan sejarah di Indonesia senantiasa tidak luput dari “tangan-tangan gratil” yang seenak jidat mengutak-atik fakta serta proses sejarah sebagai fungsi legitimasi, memicu pengaburan perspesi masyarakat akan kedudukan ilmu dan konsep sejarah.
Narasi yang dimuat oleh penguasa dalam proyek ini seolah-olah mengajak kita untuk mengarungi lautan masa lalu yang teduh dan damai, menyimak lembar demi lembar tulisan dengan rasa bangga dan penuh keteladanan. Lantas luka sejarah yang terjadi hanya bisa “diplester” dengan melupakannya dan menghapus dari ingatan. Penguasa tidak ingin masa kelamnya jadi sandungan di kemudian hari.
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam Seabad Kontroversi Sejarah (2007) mengatakan kalau cara pandang sejarah tersebut merupakan warisan Rezim Orde Baru. Hal tersebut digunakan untuk membentuk narasi yang keliru demi kepentingan ideologis serta upaya menyalurkan propaganda negara pada masyarakat secara doktriner.
Kita dapat berkaca pada proyek Sejarah Nasional Indonesia (SNI) ketika penguasa menampilkan “kegagahan” sejarah untuk memuliakan satu pihak yang berkuasa serta membentuk ingatan yang sama di benak masyarakat akan citra penguasa. Namun di sisi lain, penguasa berusaha mencemarkan pihak yang berseberangan dengan jalan kekuasaan.
Hal semacam itu menjadi suatu kekhawatiran— terutama oleh kalangan sejarawan dan intelektual publik — akan terulang kembali di proyek yang rencananya bakal launching di HUT RI ke 80 nanti.
Saya mengapresasi langkah berani yang dilayangkan oleh Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) dengan langsung “menyemprit” proyek sejarah revisi ini karena sejarah sejatinya milik rakyat, bukan milik penguasa atau pemenang sejarah dan narasi sepihak yang ditulis penguasa sama saja menghilangkan keragaman pengalaman-pengalaman masa lalu Bangsa Indonesia. Justru sejarah harus setara, demokratis dan berkeadilan.
Petikan pernyataan Soedjatmoko dalam pandangannya berjudul Merintis Hari Depan (1957) menyatakan bahwa sejarah harus dibangun atas dasar-dasar universal dan menempatkan titik tolak pada kemanusiaan yang menyangkut pengalaman baik-buruknya suatu bangsa. Kepentingan politik-ideologis penguasa dalam sejarah hanya semata-mata upaya untuk menjuruskan kekuasaan pada sifat demagogis.
Saat ini, jalan satu-satunya untuk mencegah perilaku demagog yang tercermin dalam proyek yang penuh kepalsuan ini adalah membekali diri dengan kekuatan literasi dan daya pikir kritis, atau lebih radikalnya, kita membangun narasi tandingan. Tak segan-segan, kita baiknya membuat babon yang isinya bukan hanya sekedar puja-puji akan kehebatan negara di masa lalu, tetapi sebuah tamparan pada negara yang punya riwayat kejahatan-kejahatan di masa lalu.
Secara provokatif, negara harus “dihantui” dengan dosa-dosa masa lalunya. Jangan melulu ia jadikan sejarah jadi cermin untuk bersolek dan merias diri. Justru dengan “dihantui” dengan sejarah yang lebih kritis dan konstruktif, setidaknya negara sadar akan kekhilafan, bertaubat, dan mau bertanggung jawab atas dosa-dosanya.
Mari kita hantui negara dengan bacaan buku-buku sejarah alternatif yang menyajikan interpretasi sejarah yang lebih kritis. Paling tidak kita bisa menjadikannya “senjata” untuk menguak dosa-dosa negara di masa lalu sekaligus mengkontra narasi resmi yang bermuatan propaganda. Jangan sangsi kita untuk membaca Sang Pemula, Zaman Bergerak, Di Bawah Lentera Merah, Revoloesi Pemoeda, Berkas Genosida, Dalih Pembunuhan Massal dan buku kritis lainnya untuk menambah perspektif baru yang sangat kritis tentang sejarah sekaligus kita bisa menginterupsi proyek sewenang-wenang ini.
Atau kita bisa tiru langkah berani yang dilakukan Muhidin M. Dahlan bersama Zainal Arifin Mochtar dengan menulis buku tandingan bertajuk: Kronik Otoritarianisme Indonesia: Dinamika 80 Tahun Ketatanegaraan Indonesia, sebagai narasi kritis, konstruktif sekaligus reflektif mengenai haru-biru perjalanan Bangsa Indonesia selama 80 tahun merdeka yang lebih banyak nyakitinnya, dibanding jasa dan pengabdian atas nusa-bangsanya.
Hal yang tidak boleh luput dari cara kita menghadapi sejarah revisi adalah cara kita mengedukasi dan mengkomunikasikan perlawanan kita. Ruang kelas di kampus dan sekolah adalah sasaran yang mesti diintensifkan untuk menjadi titik perluasan perlawanan kita, barang tentu pengajar dan pelajar harus siap dengan segala macam keadaan untuk sungguh-sungguh belajar dan memaknai sejarah lebih kritis. Tidak terjebak dengan kebakuan kurikulum dan sistem pembelajaran yang kadang kala jadi batu sandungan dalam belajar-mengajar.
Di samping itu media sosial, kanal-kanal yang mewadahi tulisan dan forum-forum diskusi informal dapat digunakan sebagai alat edukasi dan media perlawanan alternatif terhadap narasi sejarah yang dominan, sekaligus lebih intens menyebarluaskan agenda perlawanan kita terhadap narasi sejarah revisi terhadap masyarakat luas.
Saat kita “mempersenjatai diri” dengan pengetahuan, kita sedang menjaga masa depan dari pengulangan kebohongan. Tulisan ini seyakin-yakinnya adalah untuk mengajak terhadap masyarakat—utamanya kaum muda, kaum pembaharu—untuk senantiasa menjaga kewarasannya yang rentan di kelam kabut oleh kebohongan penguasa serta bersiap dengan membaca, menulis, memaknai dan membincangkan sejarah dalam ruang terbuka yang menerima segala pertentangan dan hasil proses berpikir-berdialektika.
Akhirul kalam, penulis berharap pembaca dapat mudah terprovokasi untuk “mempersenjatai diri” menghadapi sejarah revisi atau setidaknya terbangun kesadaran kalau proyek sejarah revisi bikinan penguasa ini merupakan kekeliruan mereka dalam memahami perjalanan bangsa di masa lalu. Mudah-mudahan kesadaran dan niat baik kita untuk melawan tumbuh subur pada sanubari dan pikiran.[]
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan
*Penulis merupakan Mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah angkatan 2023 FPIPS UPI.