
Oleh: Raja Wirayuda Kusumanagara*
“Ga ah gua ga akan masuk himpunan, ngapain buang-buang waktu aja”, kalimat tersebut cukup menggambarkan perasaan mahasiswa saat ini ketika ditanya mengenai memasuki himpunan atau tidak. Kalau kita lihat secara seksama, semangat mahasiswa untuk berhimpunan semakin hari semakin menurun khususnya pada generasi baru universitas. Semangat berhimpunan secara perlahan sekarat di tangan generasi yang memiliki branding sebagai generasi peduli isu sosial. Krisis ini terjadi di berbagai universitas termasuk UPI sendiri pun menghadapi masalah yang serupa, baik pada skala himpunan jurusan hingga presiden mahasiswa sekalipun.
Lantas apakah arus apatisme ini sepenuhnya kesalahan mahasiswa, atau justru organisasi itu sendiri yang gagal menyesuaikan diri dengan dinamika zaman dan kebutuhan mahasiswa saat ini dengan mempertahankan template berbasis budaya.
Himpunan jurusan saat ini sedang menghadapi arus apatisme dimana mayoritas angkatan baik 23 ataupun 24 lebih memilih untuk berorganisasi diluar dibandingkan dengan himpunannya sendiri. Hal ini tidak hanya terjadi pada satu jurusan tetapi terjadi di mayoritas jurusan UPI. Ketika ditanyakan alasannya, mayoritas menjawab bahwa mereka ingin mencari pengalaman baru diluar himpunan, mereka merasa bahwa himpunan hanya akan menjadi penghambat dalam menggali potensi diri mereka, khususnya bagi mereka yang ingin cepat bekerja setelah lulus nanti.
Gejala sosial ini dapat berpotensi menyebabkan kekosongan himpunan yang dapat berdampak sangat buruk mengingat bahwa sebentar lagi angkatan 25 akan memasuki universitas. Lantas seperti apa kondisi himpunan mahasiswa di ruang lingkup UPI?
Himpunan yang Masih Template
Ketika kita melihat bagaimana himpunan bergerak, mayoritas dari himpunan jurusan masih mengikuti template dari tahun-tahun sebelumnya, template yang dimaksud adalah proker yang disediakan. Ada yang membawa beberapa prokeran baru sebagai angin segar bagi himpunannya, akan tetapi ada juga yang mempertahankan proker dari tahun-tahun sebelumnya, bahkan secara konsep pun tidak berubah.
Dari pengalaman penulis sendiri, mayoritas anggota himpunan yang mengurusi prokeran tidak mengetahui alasan sebenarnya mereka menjalankan proker tersebut. Apakah murni dari diri sendiri yang ingin membawa perubahan bagi masyarakat atau hanya suruhan dari ketua tanpa mengetahui urgensi proker tersebut. Jika menilai dari kondisi tersebut maka tak heran jika disebut mengikuti template, karena tidak adanya perubahan yang dibawakan kepada generasi baru, semua atas nama budaya.
Belum lagi budaya kerja yang tidak sehat menciptakan rasa traumatis bagi beberapa anggota himpunannya. “Himpunan itu bikin kamu belajar manajemen waktu yang baik di perkuliahan” Kalimat tersebut merupakan kebohongan terburuk yang pernah saya dengar, nyatanya mayoritas anggota himpunan pun tidak mengetahui manajemen waktu yang baik, bahkan menghargai waktu orang lain pun tidak bisa. Meski terdengar keras, fakta di lapangan menunjukkan bukti nyata yang bisa kita lihat melalui budaya keterlambatan para mahasiswa dalam menghadiri sebuah kegiatan tanpa diberikan konsekuensi nyata. Tidak adanya konsekuensi yang diberikan hanya akan mengawetkan budaya keterlambatan ini, dan anehnya mahasiswa lain seolah-olah memaklumi hal tersebut seolah-olah menjadi kebiasaan yang tak lagi dipertanyakan. Ini merupakan satu dari banyak hal dari budaya buruk himpunan yang perlu dirubah.
Melihat situasi lapangan pekerjaan Indonesia saat ini yang begitu buruk, maka tak heran apabila para generasi baru lebih memilih tempat lain untuk mengembangkan dirinya dibandingkan himpunan. Himpunan mahasiswa saat ini belum bisa memberikan fasilitas untuk setidaknya menjamin masa depan mahasiswa. Tentu, himpunan memberikan soft skill seperti leadership, team work dan komunikasi antar anggota yang dimana itu hal krusial dalam dunia kerja, akan tetapi bagaimana dengan hardskill mahasiswa yang sama pentingnya.
Apakah himpunan bisa menjadikan anggotanya sebagai seorang public speaker, penulis, data analyst, humas, jurnalis atau profesi kerja lain dengan baik? Belum tentu, dan perubahan ini yang harus dibawa pada setiap himpunan. Bangunlah himpunan yang bukan hanya melatih kepanitiaan dan kepemimpinan, tetapi juga menghasilkan output profesional seperti kemampuan teknis yang dibutuhkan di dunia kerja. Buatlah himpunan menjadi lebih relevan dengan dunia kerja dengan membentuk dan melatih para anggotanya pada profesi kerja yang diinginkan sesuai dengan output program studinya, bukan penuh dengan kepanitiaan.
Dengan begitu, himpunan tidak lagi sekadar menjadi pajangan jabatan di dalam CV, tetapi benar-benar memberikan dampak nyata dalam mempersiapkan keterampilan anggotanya yang relevan dan aplikatif. Jika himpunan tidak bisa relevan dengan masa depan anggotanya, maka jangan salahkan mahasiswa jika mereka memilih untuk berjalan sendiri.
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan
*Penulis merupakan Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi FPIPS UPI.