Gimana Kabarnya, Rindu Ditindas?
“Piye kabare le, iseh penak jamanku to?” kiranya kalimat Jawa itu makin populer dipampang di sudut-sudut kota. Entah dalam bentuk stiker yang ditempel di kaca mobil-mobil berdebu, coretan kuas para pelukis truk pasir, ataupun guyonan media daring (online) yang akhir-akhir ini disebut dengan istilah meme. Biasanya sepaket dengan figur “Smiling General” yang pamer senyum sambil melambaikan tangan.
Bagi masyarakat yang awam dengan pemerintahan Orde Baru (Orba) atau yang tidak mengerti Jawa agaknya bertanya-tanya mengapa kalimat itu tiba-tiba kondang. Selain dari jasa seniman truk pasir yang ngerti politik tentunya, kini jejaring online pun diinvasi kalimat serupa. Kalimat yang jika disunting ke Bahasa Indonesia berbunyi “Gimana kabarnya, masih enak jamanku kan?” itu seolah-olah mengenalkan pada generasi muda betapa nyamannya pemerintahan Presiden Soeharto sekaligus memantik nostalgia masyarakat yang pernah hidup di era tersebut.
Tahun 2017 sepertinya menjadi titik puncak “kerinduan” itu, sampai-sampai tagar #KangenOrba pernah menjadi topik yang paling sering diperbincangkan di media sosial Twitter. Banyak akun Twitter bercuit; “Apa-apa serba murah,” “Jaman dulu bensin murah, jalanan gak macet,” “Kala itu pemimpinnya tegas dan berwibawa.” Bahkan ada salah satu akun yang melontarkan “Jaman dulu negara aman, gak ada teroris.”
Penasaran akan pernyataan itu, bermodalkan teknologi internet, kami berselancar mencari jejak sejarahnya menggunakan kata kunci “Orde Baru” dan lagi-lagi potret Soeharto sedang tersenyum bermunculan; ada yang sambil menggenggam padi, ada yang sambil menjepit sigaret, dan ada juga yang sambil mengacungkan pistol. Terselip di antara foto pribadi beliau, ada foto demonstrasi mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR juga foto aparat negara menghadang laju demonstran dengan perisai, yang akhirnya kami cermati peristiwa itu terjadi pada 1998 ketika massa menuntut pembubaran Rezim Orba. Foto itu otomatis membawa kami kepada pertanyaan “Lantas buat apa repot-repot menggulingkan, kalau ujung-ujungnya mau balik lagi?”
Jika membandingkan pemerintahan Jokowi dan Soeharto, terdapat jurang pemisah yang cukup lebar. Jika figur Jokowi lewat pendekatannya membawa masyarakat untuk membangun bersama. Soeharto di lain sisi mendudukan dirinya sebagai aktor pembangunan tunggal, yang memaksa masyarakat untuk percaya akan legitimasinya lewat monopoli politik. Sehingga kesan “Indonesia dibangun oleh satu tangan” terasa kentara di era Orba. Hal itu membuat kita melihat tokoh Soeharto sebagai pemimpin luar biasa.
Belum lagi sempat juga mencuat letupan-letupan amarah masyarakat mengenai kenaikan bahan pokok yang tidak terkendali pada masa Jokowi. Kekesalan masyarakat itulah yang pada akhirnya membuat mereka merasa perlu untuk membandingkan kondisi ekonomi sekarang dengan masa lalu.
Jika melihat rapot perekonomian Orba, dilansir oleh Indonesia-Investments.com, antara 1988 dan 1991 produk domestik bruto (PDB) Indonesia bertumbuh rata-rata 9% setiap tahunnya, melambat menjadi ‘hanya’ rata-rata 7,3% pada periode 1991-1994 dan meningkat lagi di dua tahun selanjutnya. Dulu nominal uang yang kecil, masyarakat dapat membeli bermacam-macam barang. Jika dibandingkan dengan era sekarang, seribu rupiah di era Orba memiliki tempat yang jauh lebih istimewa di dompet masyarakat.
Kalaupun itu alasannya, tak heran masyarakat bisa terjebak oleh nostalgia tersebut. Namun terlepas dari segala kemegahan Orba, apakah mereka lupa dengan matinya kebebasan berpendapat dan lumpuhnya kritik oleh represi yang merajalela?
Orba tercatat sebagai panggungnya pemerintah represif. Lewat demokrasi semu misalnya, ketika masyarakat dijanjikan Pemilu LUBER (dibaca: Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) namun masih lekat dengan intervensi untuk memenangkan partai tertentu. Ataupun dengan penghilangan jejak aktivis lewat penculikan rapi yang terkordinasi. Boleh jadi fakta tersebut harusnya jadi bahan pertimbangan bagi masyarakat yang masih berpikir tentang amannya negara di jaman Orba.
Namun nampaknya masyarakat sudah telanjur latah dengan kebiasaan Orba sehingga kini muncul kloningannya dalam skala kecil. Januari 2017 lalu dua mahasiswa Telkom University diskors lantaran dituding menyebarkan paham komunis lewat lapak buku yang mereka gelar. Adapun di penghujung 2016, Nanda Feriana, mahasiswa Universitas Malikussaleh Lhokseumawe dipolisikan oleh dosennya karena berkomentar gagal mengikuti Yudisium tanpa alasan yang jelas. Tidak kalah aneh, kasus pemecatan 28 mahasiswa oleh tiga kampus terjadi akibat menolak untuk menjadi tim sukses salah satu calon di Pilkada Bekasi 2017.
Jika membahas teori dan konsep, apa yang dikatakan Davenport dalam penelitiannya: State Repression And Political Order bahwa tindakan represif seharusnya ditekan oleh lingkungan demokrasi. Namun apa yang terjadi sekarang sepertinya menjadi anomali bagi teori tersebut. Melihat fenomena tesebut kami jadi khawatir mengenai berkembangnya benih-benih Orba yang akan membuat tindakan represif menjadi relevan lagi.
Tagar #MenolakLupa yang biasa diidentikan dengan perlawanan masyarakat memperjuangkan hak para aktivis korban Orba perlahan-lahan digantikan dengan tagar #KangenOrba yang menyiratkan ketidakpedulian terhadap aktivis demokrasi yang telah gugur. Apabila sifat itu makin menyebar, maka bukan tidak mungkin pemerintah akan kembali menghalalkan tirani.
Seharusnya masyarakat menghentikan arogansi membandingkan masa lalu dan masa sekarang tanpa dibekali fakta. Mengapa kami bilang arogan? Karena kami muak dengan masyarakat yang malah menjadi orang-orang lupa diri dan bisanya meracau. Alih-alih terjebak nostalgia masa lalu, mengapa kita tidak berusaha memperbaiki negara yang sekarang. Alih-alih mengeluh, mengapa kita tidak rayakan kebebasan demokrasi ini dan bahu membahu melenyapkan miniatur Orba yang mengancam. Sebab itulah yang jadi mimpi kaum tertindas di masa itu.