Sinar Ketentraman di Wihara Sinar Mulya
Oleh: Agung Purnomo
Bandung, Isolapos.com— Hari itu sinar matahari tidak terlihat, namun Wihara Sinar Mulya baru mulai mengobarkan api semangat spiritual. Membuka cakrawala semangat umat Tao untuk memuja Sang Pencipta. Merasakan keindahan tak terduga dari sebuah Wihara, membayar luka dari hilangnya warna-warna setelah hujan.
Di antara berbagai ajaran agama, Taoisme Wihara Sinar Mulya mewujud sebagai kepercayaan yang memiliki nilai ajaran berbeda dari lainnya. Keutamaan dalam ajaran Tao di wihara ini terletak pada kesederhanaanya. Meskipun secara pengakuan di negara ini, Tao masih menginduk pada Buddha, akan tetapi Tao memiliki ciri khas yang berbeda. Batang hio sebagai symbol ritual hanya terdapat satu, itulah yang membedakan.
Tidak banyak yang hadir untuk mengharap pada Sang Penguasa. Tapi, perasaan damai yang terdekorasi sedemikian rupa melawan sepi. Kesunyian begitu terasa, saat mendengar cerita awal mulanya pada pengetahuan tentang ajaran suci. “Taoisme di Wihara Sinar Mulya ini muncul tahun 2002 oleh delapan orang,” begitu tutur wakil ketua agung, keheningan hilang tak terduga.
Berawal dari rumah-rumah sampai pada akhirnya berdiri kokoh di antara tempat peribadatan lainnya. Wihara Sinar Mulya, tidak begitu mewah. Karisma dan kemegahan justru hadir dari nilai spiritual yang ada di dalam wihara.
Wihara dengan aliran Thay Shang Men ini menjadi salah satu aliran yang terkemuka di Indonesia. Menurut wakil ketua agung, aliran tersebut sudah cukup banyak di Indonesia. Ada di 18 provinsi, salah satunya berada di Jawa Barat, tepatnya di kota kembang.
Wihara yang berlokasi di Jalan Cibadak, dihias dengan sedemikian rupa supaya kesuciannya hidup di setiap inci dekorasi. Pintu seret Wihara seakan menggeser rona kehidupan dan membuka sebuah celah, kemudian masuk cahaya hidayah. Kegiatan ibadah dibuka hanya pada hari Selasa dan Jumat, Wihara Sinar Mulya terbuka lebar bagi setiap jemaatnya untuk mengisi kebutuhan ruhaninya.
Wakil ketua agung mengungkap bahwa Thay Shang Men lebih menekankan pada sisi spiritual serta kesederhanan dan itu yang membedakan dengan aliran lainnya. Dia juga mengungkapkan ajaran Tao ini sudah lebih dulu ada, dan hidup di antara masyarakat Tionghoa pada masanya.
“Sebelum Buddha masuk dari Tiongkok, sebelum Buddha mempengaruhi, sudah ada sebenarnya Tao itu. Ia menjadi cara pandang, pola pikir, akar budaya, nilai-nilai spiritualnya orang Tionghoa,” tambahnya.
Ketika lampion menggantikan sang surya. Ia hadir untuk membuka ruang bagi jiwa-jiwa yang membutuhkan kehadiran Sang Pencipta.. Lampion-lampion merah yang tergantung menjadi hidup, menandakan waktu peribadatan sudah tersedia.
Mangkuk yang merona terisi oleh dupa-dupa, menyambut kedatangan para orang-orang yang hadir. Bagi mereka, udara segar yang tercium dari dupa yang terbakar membangkitkan ketentraman. Nuansa Tionghoa sangat terasa dan seolah lupa bahwa ini masih berada di tanah Sunda. Sejatinya dupa yang dibakar itu membawa pesan yang diharapkan untuk Yang Maha Bijaksana.
Pada sebuah dinding terpampang puluhan dokumentasi kegiatan yang seakan hidup menggambarkan sebuah jalan cerita. Gambar-gambar mengajak peziarah untuk melihat lebih intim cerita yang terkandung dalam bingkai sketsa yang terekam abadi selama 16 tahun. Tidak hanya itu, potret gambar lokasi wihara-wihara di seluruh di Indonesia menempel pada dinding.
Enam patung menghidupi Wihara Sinar Mulya, mereka adalah dewa yang harus dipuja. Menurut Agung, patung-patung itu merupakan representasi dewa yang hadir dalam jiwa setiap pemujanya. Namun, sosok dewa tetap abadi dan menjadi pujaan yang maha kuasa. Cerita wakil ketua, membubuhkan sebuah filosifi yang tidak bisa teramati, bukan hanya khayalan tapi keyakinan yang nyata. []
Redaktur: Dzahban Jodhie