Ketika Embel Karya Anak Bangsa di Atas Logika

367

Oleh: Haris Norfaizi*

Masih kembali berkutat dalam rasa bangga dan cinta tanah air yang terlalu mendalam memang terdengar bagus, tetapi bila menyikapi dengan segala sesuatu yang bahkan seharusnya tidak patut dibanggakan juga menjadi suatu kebanggaan, di situlah di mana logika harus bertindak.

Baru-baru ini ada sekelibat peristiwa yang berkaitan dengan rasa bangga dengan negeri namun justru malah terlihat memalukan bangsa sendiri. Alih-alih ingin memperbesar rasa nasionalisme dan mempersolek muka Indonesia, menjadi salah kaprah ditambah berujung rasa chauvinisme, yaitu mencintai tanah air secara berlebihan. Tidak segala barang atau hal dapat diperoleh dari dalam negeri sendiri. Kita harus mengakui, bahkan bukan bangsa Indonesia saja, melainkan bangsa manapun pasti memiliki kekurangan dan ketergantungan dengan bangsa lain.

Drone Daur Ulang “Karya Anak Bangsa”

Meskipun belum diketahui latar belakang menyebarnya pemberitaan ini ke seluruh media massa nasional, namun bila dilihat dari tindak-tanduknya timbul dari pembicaraan mulut ke mulut. Seorang siswa MAN 2 Kediri dikabarkan telah merancang sebuah pesawat nirawak kecil yang disebut-sebut menggunakan barang bekas berupa plastik yang dilelehkan lalu dicetak ulang. Komponennya, menggunakan segala macam motherboard hingga rangkaian dalam remot TV menjadi “penguat sinyal” dari pesawat nirawak kecil tersebut.

Muhamad Azhar Syahrudin, selaku pemrakarsa menjelaskan bagaimana cara mengoperasikan pesawat tersebut hanya dengan melalui aplikasi dalam telepon pintar yang dapat diunduh di Playstore. Selain itu, pengisian daya pesawat dapat dilakukan hanya dengan mencolokkan ke sumber listrik dari pohon pepaya.

Bisa dibilang, sebetulnya drone ini adalah drone yang ditempelkan ke smartphone dengan aplikasi pengendali kamera menggunakan bluetooth. Nama aplikasi tersebut adalah Walkietooth. Aplikasi ini memang memungkinkan sebuah HP menjadi sebuah CCTV jika kedua HP di-install aplikasi tersebut di mana terdapat 1 HP yang menjadi server dan 1 HP yang jadi client-nya. Aplikasi ini juga memungkinkan kita untuk melakukan videocall atau melakukan panggilan telepon dengan bluetooth atau wifi, sehingga memang tidak perlu bergantung dengan jaringan operator.

Namun, meskipun telah diketahui bahwa tergolong hoaks, pemberitaannya justru semakin meluas hingga media massa cetak. Lagi-lagi alasannya seperti narasi awal presenter berita Redaksi Malam, “Membanggakan!” Entah itu asli atau tidak, yang penting ia membanggakan negeri. Rasa bangga itu pula yang mendorong BPBD rela mengeluarkan uang 1,5 juta Rupiah untuk membeli barang yang ada di Sh*p** dengan kisaran 200–300 ribu saja. Sekaliber media nasional yang berisikan berbagai macam individu yang memiliki intektualitasi yang mumpuni, luluh dengan pemberitaan yang tidak jelas asal membanggakan bangsa dan negara, persetan dengan masuk akal.

Kalung Antivirus Buatan Pemerintah

Masalah perkalungan yang menyehatkan sebenarnya telah beredar semenjak lama dan orang-orang pun terkesan menyetujui melanglang buana di pasaran. Kalau dulu mungkin sama seperti kasus gelang karet yang dijual mahal dengan iming-iming menyehatkan dan menyeimbangkan tubuh melalui pancaran energinya.

Seorang siswa bernama Ibnu Syarif Al Husein yang pernah magang di Jepang juga menjelaskan akan hoax ini sebelumnya telah mencapai negara tersebut. Hal tersebut bermula di mana ia diwajibkan dari pihak hotel naungannya untuk memakai kalung tersebut sebagai pencegahan virus. Namun sayangnya pembatasan terhadap pengunjung hotel menimbulkan defisit keuangan, tetapi pihak hotel tetap harus membeli kalung tersebut sebagai pencegahan virus.

Selain itu, telah dibeberkan sejumlah fakta bahwa penggunaan kalung tersebut tidak ampun menangkal virus, melainkan berefek korosif bagi tubuh melalui kandungan Klorin Dioksida yang merupakan senyawa yang biasanya terdapat dalam cairan desinfektan barang atau pembersih lantai.

Beberapa waktu setelahnya, kalung sejenis dikemas ulang dengan berisikan tanaman Atsiri atau Eucalyptus dan tentunya pengemasan ditambahkan embel-embel produk Indonesia yang diproduksi oleh Balitbangtan, Kementerian Pertanian. Rencananya kalung tersebut akan mulai dipasarkan pada bulan Agustus mendatang. Melalui pernyataan dari Menteri Pertanian, kalung tersebut telah diujicoba dan dapat membunuh sebesar 42% virus dalam jangka waktu 15 menit, dan 80% virus dalam waktu 30 menit. Bila terkena iris pisau dapat tertutup lukanya.

Pasalnya, keefektifan melawan virus tersebut terdapat dalam tanamannya itu sendiri, sehingga kasus dalam tangan yang berdarah teriris dengan penyebaran virus melalui udara sangatlah berbeda. Apalagi unsur tersebut terperangkap di dalam kemasan yang berarti hanya wewangian saja yang dapat keluar. Apalagi sudah jelas bahwa kalung yang beredar di Jepang saja tidak dapat menjangkau area luas, sehingga berlaku pula pada kalung ini.

Setelah dijelaskan ketidakmungkinan kalung ini sebagai pertahanan melawan virus, akun media sosial Balitbangtan naik pitam menyalahkan masyarakatnya yang katanya mengunggulkan produk luar negeri daripada inovasi karya bangsa sendiri. Argumentasi klise agar menjadi alasan barangnya bisa dipakai masyarakat.

Bukannya membeberkan cara kerja kalung tersebut disertai dengan data, malah menggaung-gaungkan embel-embel karya bangsa, seolah-olah sebuah istilah umum, bila begitu tulisan tangan pun bisa menjadi karya bangsa karena ditulis di Indonesia oleh orang Indonesia meski entah apa yang dituliskannya. Perandaian tersebut senada bagi kalung ini.

Oleh karena itu, meskipun masyarakat perlu pencegahan dini terkait virus, namun mereka juga dapat menilai mana yang masuk akal atau tidak. Anggaran tersebut sebaiknya dialihkan terhadap pengelolaan ketahanan pangan semasa pandemi ini yang sudah pasti manfaatnya terasa bagi rakyat ketimbang membuat kalung yang belum jelas kinerjanya.

Bangsa kita terkenal dengan rasa cinta tanah airnya semenjak masa Kemerdekaan dahulu. Akan tetapi, tidak luput beberapa di antara orang-orang memandangnya secara berlebihan yang justru menimbulkan rasa superioritas bahwa bangsa kitalah yang terhebat, tidak perlu bangsa lain. Salah satu perilakunya adalah menolak keberadaan pihak asing di Indonesia atau lebih populer dengan anti-aseng atau anti-asing dan diharuskan membeli serta memakai produk dalam negeri. Rasa nasionalisme padahal bersifat fleksibel mengikuti perkembangan masa dan teknologi agar sesuai dengan cara pandang kita bagi negara, tetapi tetap menjadi seorang yang cerdas memahami. Cinta tanah air berlebih-lebihan akan mengeluarkan kita dari makna nasionalisme itu sendiri dengan menjadi seorang chauvinis yang menginginkan keseragaman dan rasa keadidayaan bangsa sendiri di atas yang lain.

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan

*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial 2019

Comments

comments