Ketika Rakyat Mengadili Rezim Jokowi

48

Oleh: Nabil Haqqillah

Indonesia, Isolapos.com,-Jarum jam menunjukkan pukul 10.00, dua orang panitera memasuki ruangan sidang yang telah dihadiri ratusan orang dari berbagai kalangan. Dua orang panitera tersebut membacakan aturan persidangan. Terdengar suara sorak orang bergemuruh ketika panitera membacakan aturan kelima. “Dilarang merokok, makan, terutama makan uang rakyat di dalam ruang sidang,” ujar salah satu panitera dan disambut sorak hadirin.

Suara sorak kembali bergemuruh kala panitera membacakan aturan terakhir. “Koruptor dan oligarki selain tergugat dilarang masuk,” ucap panitera yang kembali disambut sorak yang diwarnai amarah terhadap koruptor dan oligarki.

Selasa (25/06) pagi, Sidang peradilan yang diikuti oleh ratusan orang dari berbagai kalangan dan dihelat di Wisma Makara, Universitas Indonesia, Kota Depok itu menjadi peristiwa yang bersejarah bagi rakyat Indonesia. Sidang yang bertajuk Mahkamah Rakyat Luar Biasa tersebut bertujuan untuk mengadili rezim Joko Widodo atas sembilan dosanya terhadap rakyat yang disebut dengan Nawa Dosa.

Tak lama setelah panitera membacakan aturan dan agenda persidangan, sembilan orang hakim dengan jubah hitam lengkap dengan syal kuning bertuliskan “Mahkamah Rakyat Luar Biasa” memasuki ruang persidangan secara bergantian. Mereka adalah Anita Wahid (Aktivis HAM dan Demokrasi), Asfinawati (Direktur YLBHI 2017-2021), Sasmito (Jurnalis dan Ketua AJI 2021-2024), Ambrosius S. Klagilit (Aktivis Hak Masyarakat Adat Papua), Nining Elitos (Aktivis Buruh), Nur Khasanah (Aktivis Perempuan dan Pekerja Rumah Tangga), Lini Zurlia (Aktivis HAM, Keberagaman Gender, dan Orientasi Seksual), Romo Kristo (Aktivis Lingkungan dan Pemuka Agama Katolik), dan Nurhayati (Anak Korban Peristiwa Tanjung Priok 1984),

Asfinawati kemudian mempersilahkan para penggugat memasuki persidangan. Sorak “Hidup rakyat” bergemuruh menyambut para penggugat. Sidang seharusnya dimulai, Asfinawati yang heran melihat barisan kursi depan yang kosong, bertanya kepada orang-orang yang hadir.

“Kami melihat ada barisan bangku yang kosong di bagian depan, kenapa tidak diisi oleh para pengunjung?,” tanya Asfinawati.

Seseorang kemudian minta izin untuk berbicara, setelah diizinkan oleh Majelis Hakim, ia kemudian berbicara. “Izin yang mulia, izin tambang, eh maksud saya izin menjawab. Bangku-bangku ini ada orangnya yang mulia,”

Asfinawati kemudian bertanya kembali kemana gerangan orang-orang yang seharusnya duduk di barisan kursi tersebut.

“Itu dia pertanyaannya, itu adalah pertanyaan yang kami cari selama bertahun-tahun,”

Asfinawati kembali bertanya seharusnya kursi tersebut diperuntukkan untuk siapa.

 “Kursi ini adalah kursi yang seharusnya milik mereka yang mulia!,” ucapnya sambil menunjuk beberapa props beberapa orang yang menjadi korban kejahatan negara. Sorak orang pun kembali bergemuruh.

Jokowi Sang Tergugat Tak Hadir

Setelah para penggugat duduk di tempatnya. Asfinawati kemudian mengecek kehadiran tergugat. Panitera kemudian menjawab bahwa mereka sudah mengundang para tergugat, namun para tergugat tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.

Adapun para tergugat yang dimaksud, terdiri dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, Ketua DPR RI, Puan Maharani, dan Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti, serta 10 partai politik yang lolos parlemen dari tahun 2014, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, Hanura, PPP, Demokrat, dan PKS.

“Kami telah mengirimkan melalui pos, lalu mengirimkan melalui Setneg dan juga undangan di postingan media sosial, saat ini tidak ada tanggapan satupun,” ucap Panitera sambil menunjukkan bukti bahwa undangan telah dikirim kepada tergugat.

Asfinawati kemudian kembali menanyakan apakah sudah mencoba mengirimkannya langsung ke alamat rumah atau menelepon tergugat.

Sang panitera kemudian menjawab, “Kami telah mengirimkan risalah panggilan kepada tergugat ke rumahnya, namun kami kebingungan karena rumahnya banyak, tanahnya luas, pagarnya tinggi, ajudannya banyak,”

Karena surat undangan telah dikirimkan kepada tergugat, namun tergugat tak kunjung muncul, Majelis Hakim menganggap bahwa persidangan tetap dapat dimulai.

“Mahkamah Rakyat Luar Biasa dengan agenda mengadili pengaduan konstitusional atas kejahatan rezim Jokowi kami buka dan dinyatakan terbuka untuk umum,” ucap Asfinawati dengan tiga ketukan palu menandakan sidang dimulai.

Sembilan Nawa Dosa Jokowi

Hakim bernama Nining Elitos kemudian memulai pemeriksaan legal standing para penggugat dan mempersilahkan para penggugat yang hadir untuk berbicara.

Bambang, salah satu penggugat yang mewakili para petani menjelaskan bagaimana para penguasa telah merampas tanah kelahiran sekaligus tanah milik petani atas nama kesejahteraan rakyat, namun kenyataannya hanya untuk kepentingannya sendiri.

“Saya berdiri di sini untuk mewakili saudara-saudara kami yang saat ini sedang berjuang untuk mempertahankan tanah kelahirannya, tanah miliknya yang telah dan akan dirampas oleh para penguasa di negeri ini dengan dalih demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, namun nyatanya hanya untuk perutnya sendiri,”

Selain perampasan lahan, Bambang juga menyinggung musibah banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau yang disebabkan oleh proses penataan ruang yang tidak sesuai dengan daya tampung dan daya lingkungan.

Penggugat selanjutnya adalah Benydictus Siumlala, salah satu dari 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberhentikan lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Benydictus mengatakan bahwa ia dan teman-temannya yang bernasib sama telah mencoba banyak hal untuk menyampaikan apa yang mereka alami, namun semua pintu sudah tertutup.

Benydictus mengatakan bahwa berdasarkan LAHP Ombudsman, proses yang dialami Benydictus dan teman-temannya merupakan maladministrasi. Selain itu Benydictus juga mengatakan bahwa Komnas HAM menyebutkan ada poin pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam TWK, Diantaranya stigmatisasi tindakan terselubung bahkan penyingkiran, ketidakberpihakan negara kepada upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. 

Benydictus menyinggung Revisi Undang-undang KPK yang mengalihkan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berakibat padai ndeks persepsi korupsi di Indoneisa kembali lagi ke 10 tahun ke belakang. Benydictus juga mengatakan kepada Majelis Hakim bahwa tergugat mulai melindungi koruptor yang dibuktikan dengan pengurangan hukuman yang diterima koruptor, remisi yang dapat diperoleh dengan mudah, hingga ancaman-ancaman fisik kepada para pelapor korupsi kerap terjadi.

Kepada Majelis Hakim, Benydictus juga mengatakan bahwa korupsi selalu menyertai kejahatan-kejahatan lain yang dialami oleh para penggugat lain, baik dari buruh, masyarakat, adat, hingga korban perampasan lahan. Benydictus juga menggugat agar status tindak pidana korupsi tetap menjadi tindak pidana luar biasa.

“Dengan ini kami menggugat para tergugat karena telah menghidupkan kembali praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia,” ucap Benydictus yang menjadi penggugat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Penggugat selanjutnya adalah Neneng, warga Kampung Cibitung, Desa Sukamulya, Kabupaten Bogor. Neneng yang hadir sebagai penggugat militerisme dan militerisasi menceritakan kasus yang mereka alami selama 18 tahun, di mana pada tahun 2007 terjadi pengklaiman terhadap tanah seluas 1000 hektar di desanya oleh militer. Statusnya sendiri adalah tanah hak milik, bukan tanah negara.

“Tanah ini adalah tanah hak milik, bukan tanah negara, tapi kenapa mereka mengakui tanpa sepengetahuan masyarakat?. Di sana itu diklaim oleh orang-orang yang berbaju loreng, kawan-kawan,” ucap Neneng kepada Majelis Hakim.

Neneng juga menambahkan, dalam memperjuangkan haknya. Ia dan warga lainnya mendapatkan intimidasi fisik. 

“Bahkan mereka, si loreng itu, menghantam kami, mengintimidasi, menembak, dan kekerasan. Kami sebagai warga Indonesia saat ini belum bisa merasakan sepenuhnya apa arti kemerdekaan itu,” tegas Neneng kepada Majelis Hakim.

Menurut Neneng, berbagai upaya sudah mereka lakukan, salah satunya melalui Kantor Staf Presiden. Tapi lagi-lagi, tak ada jawaban. Neneng yang juga mewakili orang-orang yang ruang hidupnya dirampas, mengingatkan bahwa kasus-kasus perampasan ruang hidup dapat mengganggu banyak hal.

Kemudian penggugat yang ketiga, Khariq Anhar, yang mewakili siswa dan mahasiswa sekaligus penggugat komersialisasi, penyeragaman, dan penundukan sistem pendidikan. Khariq itu menjelaskan kepada hakim bagaimana biaya pendidikan sangat mahal.

“Pendidikan kita mahal, sulit untuk dibayar,” Ujar mahasiswa Universitas Riau itu.

Kepada majelis hakim, Khariq bercerita bahwa demi membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), ada mahasiswa yang sampai meninggal dunia. 

Selain itu, Khariq memperkenalkan dirinya kepada Majelis Hakim sebagai orang yang dilaporkan oleh rektornya sendiri kepada kepolisian karena mengkritik kebijakan UKT di kampusnya melalui sosial media.

“Yang mulia, perkenalkan, saya Khariq Anhar, mahasiswa yang bulan Mei kemarin sudah dilaporkan oleh rektornya sendiri, karena melakukan kampanye terhadap kenaikan uang kuliah tunggal dan juga biaya pendidikan di perguruan tinggi,” Ucap Khariq, memperkenalkan dirinya.

Walaupun kasusnya selesai karena viral, namun menurutnya masih banyak kawan-kawannya yang tidak bisa membayar biaya pendidikan.

Khariq sendiri menjabarkan, ada sekitar lima hal yang menjadi permasalahan bersama dalam sektor pendidikan, yaitu komersialisasi pendidikan, kesejahteraan guru dan dosen, kualitas sarana dan prasarana pendidikan, kebebasan akademik, dan korupsi. 

“Apa dasar kita? Sederhana sekali saudara-saudara sekalian, teman-temanku, bahwa di depan sana bangku itu sudah tidak memiliki pemilik yang sebenarnya, sudah dikendalikan oleh pasar bebas, dan sudah dikendalikan oleh para oligarki,” ujar Khariq.

Khariq kemudian menambahkan, bahwa sesuai dengan pasal 31 Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), negara harus tegas dan mengharuskan setiap warga negara untuk mendapatkan hak pendidikan karena pendidikan adalah hak yang fundamental dan menjadi tanggung jawab negara.

Khariq juga menyindir munculnya Permendikbudristek No.2 Tahun 2024 yang membuat berbagai PTN menaikkan UKT, lalu belakangan kenaikan UKT dibatalkan, namun Permendikbudristek tersebut tak kunjung dicabut.

“Namun seberapa konyolnya negeri ini yang mulia, iya dibatalkan kenaikan tahun ini, tahun depan dinaikkan lagi,” ucap Khariq dengan nada menyindir.

Khariq mengatakan bahwa mahasiswa akan terus mengkaji dan menyatakan bahwa hal yang terjadi adalah keliru dan negara tidak boleh lepas tangan dalam menjalankan dan menyelenggarakan pendidikan. Di mana menurut Khariq, yang secara nyata terjadi adalah sedikitnya anggaran untuk pendidikan tinggi, kebijakan yang menindas kesejahteraan guru dan dosen. 

Khariq berharap ada perbaikan kualitas pendidikan, karena pendidikan yang ada saat ini bukan diselenggarakan untuk rakyat, melainkan memenuhi kantong-kantong pejabat.

“Kami merasakan bahwa pendidikan pada hari ini bukan diselenggarakan untuk rakyat, tetapi untuk memenuhi kantong-kantong pejabat,” Ucap Khariq.

“Sekali lagi yang mulia, bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting, maka kalau pada hari ini untuk mendapatkan pendidikan saja kami masih perlu untuk mengais-ngais sampai meminjam pinjaman online, yang mulia, maka mau sampai kapan?” tegas Khariq.

Penggugat keempat adalah Muhammad Ruhullah, yang merupakan anak dari Aminatun Najariah, korban dari peristiwa Tanjung Priok tahun 1985. Walaupun peristiwa tersebut sudah ada pengadilannya, Ruhullah mengatakan bahwa pengadilan yang telah dilaksanakan tersebut tidak memenuhi unsur keadilan.

“Perlu diketahui bahwa pengadilan yang telah dilaksanakan tidaklah memenuhi unsur keadilan karena pada dasarnya semua pelaku yang telah diadili dibebaskan begitu saja (dan-red) kami para korban tidak mendapatkan hak yang semestinya,”

Ruhullah kemudian menegaskan bahwa kejahatan kemanusiaan dan impunitas tidak hanya terjadi pada peristiwa Tanjung Priok saja, tetapi masih banyak pelanggaran-pelanggaran lainnya. Mulai dari Tragedi 1965-1966, Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Talangsari, Peristiwa Rumoh Geudong dan Sattis di Aceh, penghilangan orang secara paksa, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, peristiwa Wamena, pembunuhan Munir, dan sebagainya.

Menurut Ruhullah, para korban belum mendapatkan keadilan adalah karena selama ini tergugat telah melakukan praktik impunitas, bahkan dalam pemerintahannya, banyak pejabat-pejabat yang diduga terindikasi sebagai pelanggaran HAM. Ruhullah juga menyinggung tergugat yang berjanji bahwa akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.

“Kami merasa dikhianati oleh tergugat, kami merasakan sakit yang amat pedih, kami merasa suara kami dimanfaatkan untuk kampanye, yang mulia,” ucap Ruhullah kepada hakim.

Penggugat kelima adalah Khanza Vina, seorang transgender yang menjadi penggugat kekerasan, diskriminasi, persekusi, dan diskriminasi. Kepada hakim, Khanza menceritakan bagaimana kelompok LGBTQ hidupnya dirisak dan kehormatan harkat martabatnya sebagai seorang manusia dilucuti oleh negara melalui berbagai kebijakan yang diproduksi oleh pemerintahan Jokowi.

“Saya hari ini berada di sini hanya berbekal keberanian dan solidaritas bersama penggugat yang lainnya, karena hanya itu yang kami miliki saat ini,” ucap Khanza.

Sebagai warga negara, Khanza mengaku ia dan teman-temannya sulit mendapatkan hak-hak yang sejatinya dimiliki oleh seorang manusia, seperti hak hidup, hak bekerja, dan yang lainnya. Khanza berharap persidangan dapat mengadili dan memastikan para tergugat agar mengedepankan tanggung jawabnya sebagai pemerintah untuk pemenuhan hak asasi manusia warganya, baik untuk kelompok LGBTQ, rakyat Papua, hingga kelompok penghayat.

Penggugat selanjutnya adalah Sunarno, Ketua Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang hadir mewakili kaum buruh sebagai penggugat sistem kerja yang memiskinan dan menindas pekerja. Kepada hakim, Sunarno mengatakan bahwa selama hampir 10 tahun Jokowi berkuasa, banyak sekali kebijakan-kebijakan yang dibuat telah berdampak buruk bagi kaum buruh. Mulai dari PP 78 pada tahun 2015 hingga Omnibus Law Cipta Kerja pada tahun 2020.

“Katanya Undang-undang Cipta Kerja, tapi nyatanya banyak buruh yang di PHK, katanya memperbaiki upah, justru upah buruh semakin rendah,” ucap Sunarno.

Sunarno juga menambahkan, buruh juga semakin tidak mempunyai jaminan kepastian kerja dan dibuat seperti budak melalui sistem kontrak, outsourcing, harian lepas, borongan, hingga magang.

“Korbannya siapa? Korbannya kaum buruh!,” ucap Sunarno.

Sunarno juga menyinggung nasib para mahasiswa dan pemuda yang merupakan calon pekerja, menurutnya jika mereka kelak mendapatkan pekerjaan, mereka sudah kehilangan kesempatan menjadi pekerja tetap karena adanya UU Cipta kerja. Selain itu, munculnya kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ia plesetkan menjadi Tambahan Penderitaan Rakyat juga akan merampas gaji buruh.

Mewakili kaum buruh, Sunarno meminta dan memohon Majelis Hakim agar rezim Jokowi dapat segera diadili dan diberikan sanksi yang berat.

“Kami kaum buruh meminta dan memohon kepada majelis hakim agar rezim Jokowi diadili dan diberikan sanksi seberat-beratnya,” tegas Sunarno.

Penggugat terakhir adalah Bivitri Susanti, yang hadir mewakili para pendidik yang terdiri dari dosen dan guru. Ia hadir untuk menggugat pembajakan legislasi yang dilakukan oleh para tergugat. Menurutnya, banyak terjadi pembajakan legislasi mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah dan semua yang terlibat dalam penyusunannya juga harus ikut bertanggung jawab.

“Begitu banyak peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang sampai dengan bahkan peraturan daerah dan mereka bukan hanya pemerintah, tapi juga partai politik anggota DPR, anggota DPRD, dan para politikus lainnya,” ujar Bivitri.

Bivitri menyebutkan contoh pembajakan legislasi, seperti KPK yang telah dimatikan pada 2019 melalui revisi undang-undang, revisi KUHP yang menuai protes, UU Cipta Kerja, UU Minerba dan peraturan-peraturan lainnya. Sementara itu menurut Bivitri, UU Pemilu yang seharusnya diubah malah tidak diubah. 

“Maka kita dapatlah pemilu yang seperti kemarin, yang kotor sekali penuh dengan politik uang dan juga model-model presidential threshold,” ucap Bivitri.

Menurutnya, hal-hal seperti itu membuat para politikus lebih mementingkan kemenangan dengan cara apapun demi meraih dinasti politiknya.

Maka didapatilah sebanyak sembilan tuntutan yang dilayangkan para penggugat terhadap tergugat, yaitu:

  1. Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan kemanusiaan dengan cara memanipulasi kebijakan untuk mengusir secara paksa masyarakat/petani.
  2. Tergugat terbukti melembagakan dan menormalisasi kekerasan, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi yang menyebabkan penyempitan ruang sipil.
  3. Tergugat terbukti melanggar HAM dan merusak demokrasi dengan cara memberi ruang bagi pelanggar HAM berat dan melanggengkan impunitas.
  4. Menyatakan tergugat terbukti telah gagal melaksanakan tugas konstitusi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tidak melaksanakan tugas pemenuhan hak atas pendidikan warga negara, terlibat secara aktif melakukan komersialisasi pendidikan dan pendudukan atas kebebasan akademik.
  5. Menyatakan tergugat telah melanggar seluruh tabu reformasi dengan menghidupkan kembali korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bahkan jauh lebih vulgar daripada masa Orde Baru. Dengan demikian, tergugat telah melakukan impeachable offense sebagaimana tertuang pada Pasal 7A UUD NRI 1945.
  6. Menyatakan tergugat telah terbukti secara sistematis melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan segelintir orang dengan mengorbankan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan baik.
  7. Menyatakan tergugat telah melakukan secara sistematis memiskinkan hidup buruh dengan cara menghadirkan kebijakan mendukung praktik politik upah murah yang mengorbankan buruh.
  8. Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dan konstitusi melalui pembajakan regulasi yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum yang ditujukan untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan.
  9. Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dengan cara menghidupkan kembali Dwi Fungsi ABRI, melanggengkan impunitas, operasi militer ilegal.

Salah satu tim kuasa hukum, mengatakan kepada hakim bahwa para tergugat secara bersama-sama telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi Pasal 27 Ayat (1) Dan (2); Pasal 28; Pasal 28a; Pasal 28d Ayat (1); Pasal 28e Ayat (1) Dan Ayat (2); Pasal 28g Ayat (1); Pasal 28i; Pasal 28h Ayat (1) Dan Ayat (2); Pasal 29 Ayat (2); Dan Pasal 33 Ayat (3).

“Demikian gugatan konstitusional ini kami ajukan, apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya,” ujar kuasa hukum, mewakili para penggugat.

Jokowi dinyatakan Melanggar Sumpah Presiden

Majelis hakim dalam putusannya, menyatakan bahwa tergugat, yakni rezim Jokowi telah melanggar sumpahnya sebagai presiden. Setelah membacakan isi sumpah presiden kepada hadirin, Asfinawati mengatakan bahwa dalam persidangan hari ini menunjukkan tidak dapat diragukan lagi bahwa Jokowi telah melanggar

“Tak ada keraguan bahwa sumpah tersebut telah dilanggar (Oleh Jokowi-Red),” ucap Asfinawati.

Asfinawati kemudian melanjutkan bahwa apabila kepala pemerintahan sekaligus kepala negara melanggar konstitusi termasuk sumpah jabatannya, jika merujuk kepada Pasal 7A UUD 1945, presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul DPR. Sementara itu dalam Pasal 7B UUD 1945, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR.

Namun Asfinawati merasa ragu jika prosedur itu dapat dilakukan, terlebih DPR dan MK juga terlibat dalam kejahatan-kejahatan yang ada.

“Setelah kita mendengar prosedur tersebut, apakah mungkin DPR yang telah turut serta dalam kejahatan presiden serta Mahkamah Konstitusi yang telah mengeluarkan putusan-putusan tidak masuk akal terkait pembajakan legislasi akan dapat memenuhi harapan rakyat yang telah terinjak-injak haknya selama ini?, jawabannya tidak mungkin!,” ucap Asfinawati.

Karena itu, Asfinawati mengatakan bahwa sudah saatnya rakyat memikirkan solusi dan jalan keluar yang lain, seperti saat rakyat Indonesia memperjuangkan dan merebut kemerdekaan dari penjajah.

Menutup sidang, hakim menyatakan bahwa tergugat telah melakukan pelanggaran sebagai berikut:

  1. Hak hidup dan kejahatan kemanusiaan terhadap petani dan masyarakat lainnya.
  2. melembagakan dan menormalisasi kekerasan berbasis rasisme, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi.
  3. Melanggar HAM dan merusak demokrasi dengan cara memberikan ruang bagi para pelanggar HAM berat dan melanggengkan impunitas
  4. Gagal melaksanakan tugas konstitusi, mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tidak melaksanakan pemenuhan hak atas pendidikan bagi warga negara, terlibat aktif melakukan komersialisasi pendidikan, dan pendudukan atas kebebasan akademik.
  5. Menghidupkan kembali korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan vulgar. 
  6. Melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan segelintir orang dengan mengorbankan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan baik.
  7. Secara sistematis memiskinkan hidup buruh dengan cara menghadirkan kebijakan yang mendukung praktik politik upah murah.
  8. Melakukan kejahatan demokrasi dan konstitusi melalui pembangkangan regulasi dan mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum.
  9. Melakukan kejahatan demokrasi dengan cara menghidupkan kembali dwifungsi ABRI atau saat ini dikenal sebagai multifungsi TNI, melanggengkan impunitas, dan operasi militer ilegal.

Secara umum, Majelis Hakim juga menyatakan bahwa tergugat menyebabkan adanya pelanggaran HAM lintas generasi, memundurkan demokrasi mulai dari multifungsi TNI-Polri hingga kembalinya asas pertahanan jaman kolonial, gagal memenuhi sumpah dan kewajiban presiden, berkhianat kepada cita-cita kemerdekaan dan pendirian negara.

Mewakili para hakim, Asfinawati meminta maaf apabila putusan ini tidak memenuhi harapan para tergugat. Para hakim menyadari pengalaman terusir dari tanah, mengalami kekerasan, diskriminasi, dan penghilangan paksa, dan pelanggaran HAM lainnya tidak akan pernah bisa hilang dari memori, bahkan jika mendapatkan pemulihan sekalipun.

“Semoga gurat luka itu menguatkan kita, untuk terus melawan, memberi api saat semangat mulai redup. Bangkitlah jiwanya, bangkitlah badannya demi Indonesia Raya, teruslah melawan,” ucap Asfinawati dengan mata yang berkaca-kaca.

Dengan tiga ketuk palu, Asfinawati menutup persidangan dan disambut sorak kemenangan rakyat. []

Redaktur: Harven Kawatu

Comments

comments