RUU TNI Disahkan, Massa di Bandung Aksi di DPRD
Oleh: Reighina Faridah Solihah
Bandung, Isolapos.com—Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) telah disahkan dalam Sidang Paripurna pada Kamis (20/03). Pengesahan RUU TNI tersebut dinilai tidak transparan dan terkesan terburu-buru, sehingga pada hari yang sama, massa yang terdiri dari berbagai masyarakat sipil, menggelar aksi penolakan terhadap UU TNI di depan Gedung DPRD Jawa Barat.
Massa aksi menuntut agar UU TNI segera dicabut, mengingat isi undang-undang tersebut dianggap berpotensi menindas rakyat dan membawa kembali karakter fasisme seperti pada masa Orde Baru.
Salah satu yang menjadi masalah dalam UU TNI ini adalah mengenai penerapan dwifungsi TNI. Ainul Mardhyah, salah satu massa aksi, menyebutkan, dwifungsi TNI ini akan mengancam hak-hak demokratis di Indonesia. Ia khawatir dengan keterlibatan TNI di sektor-sektor sipil akan membatasi kebebasan berekspresi dan hak untuk bersuara, mengingat TNI yang seharusnya menjaga keamanan, juga akan terlibat dalam pengambilan kebijakan.
“karena UU TNI itu isinya full akan menindas kita semua ke depannya dan itu sudah dibuktikan oleh sejarah,” tutur Ainul kepada awak media.
Ainul mengungkapkan juga kekhawatirannya terhadap tindakan represif, seperti penangguhan akun media sosial, yang dianggap sebagai bentuk fasisme terselubung. “..sedangkan itu juga akan berdampak juga ke media-media pers, misalnya ke depannya kita bakalan susah untuk meliput, media sosial itu bakalan dikuasai sama yang oligarki ini gitu,” ungkap Ainul.
Sejalan dengan Ainul, salah satu massa aksi, Nazwa, memiliki kekhawatiran yang sama akan penerapan dwifungsi TNI. Menurutnya hal tersebut mengingatkan pada masa Orde Baru, saat ABRI menjalankan dua fungsi sebagai militer dan sipil, yang dapat menciptakan pemerintahan yang lebih otoriter dan bahkan memungkinkan penyalahgunaan wewenang.
Sejumlah tuntutan yang dibawa oleh massa aksi, di antaranya desakan untuk mencabut RUU TNI dan menolak penerapan dwifungsi ABRI yang dinilai membahayakan demokrasi. Selain itu, aksi penolakan juga menyerukan agar militer kembali ke barak, membubarkan komando teritorial, dan menghentikan keterlibatan aparat bersenjata dalam urusan sipil. Massa juga menuntut penyelesaian pelanggaran HAM, masalah agraria, dan penyalahgunaan undang-undang lainnya.
Nazwa berharap agar RUU yang telah menjadi UU ini segera dicabut. Ia juga mengingatkan TNI dan Polri untuk lebih bijaksana dalam mempertimbangkan kebijakan tersebut.
Sedangkan Ainul menyampaikan harapannya kepada rakyat. “Yang saya harapkan adalah kepada rakyat karena kekuatan itu dari rakyat, maka kedepannya kekuatan rakyat harus terus dikencangkan, diperkuat, dibentuk front yang betul-betul dia tuh disiplin diri dari segala bentuk intervensi pemerintah, kayak gitu,” ujarnya.
Kekhawatiran Kembalinya Orde Baru
Pengesahan RUU TNI menjadi undang-undang dinilai akan membangkitkan dwifungsi TNI dan dikhawatirkan mengancam demokrasi dan kemungkinan kembalinya era Orde Baru.
Menurut Ainul, salah satu ciri dari pemerintah Orde Baru adalah pemerintah yang memiliki watak fasis. Ia menilai kebijakan yang diambil oleh pemerintah saat ini semakin mengarah pada kebijakan anti-rakyat yang dapat memperburuk situasi. Ainul juga memperkirakan bahwa kebijakan ini bisa berlanjut dengan lebih parah dari era Soeharto, di mana militer diberi kekuasaan lebih besar untuk memperlancar kebijakan yang merugikan rakyat.
Beberapa pasal disebut-sebut bermasalah, seperti pasal 7 ayat 2 menyebutkan, militer akan membantu kepolisian dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, dan juga pasal 47 terkait perluasan jabatan untuk menduduki pemerintahan. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono, menganggap hal tersebut sudah melenceng dari amanat reformasi terkait dengan adanya pemisahan tugas-tugas militerisme dengan publik.
Heri juga mengatakan, berdasarkan rekam jejak pada masa Orde Baru, militer cenderung tidak mengedepankan prinsip akuntabilitas, sehingga akan sulit untuk terbuka terhadap publik. Termasuk dengan peradilan militer yang memungkinkan pejabat militer aktif tetap diproses dengan pengadilan militer yang bersifat tertutup.
“Soalnya kalau yang tadi ya, berkaitan dengan pasal-pasal tadi, sebetulnya akan apa namanya, punya dampak atau impact langsung pada masyarakat. Kepada publik tentunya, nah, impact ini juga yang seharusnya diperhatikan,” pungkas Heri. []
Redaktur: Nabil Haqqillah