Penjajahan Bahasa: dari Kolonial Sampai Global

1,495

Oleh Muhamad Patoni*

Ilustrasi

Kata “penjajahan” identik sekali dengan senjata. Itulah mungkin yang ada dalam benak kita ketika mendengar kata penjajahan. Akan tetapi, dalam pemakaiannya, kata penjajah ini tidak hanya terbatas pada konsep “angkat senjata”, tetapi meluas pada berbagai ranah seperti budaya, sosial, politik, dan bahasa.

Pertanyaannya sekarang, apakah ada penjajahan bahasa? bila ada seperti apa penjajahan bahasa?

Konsep penjajahan bahasa, tidak jauh berbeda dengan konsep penjajahan yang sifatnya “angkat senjata”. Artinya, penjajahan bahasa berarti suatu bahasa berhasil menyingkirkan bahasa lain, suatu bahasa yang kuat menenggelamkan bahasa yang lemah dalam konteks pemilihan bahasa yang dilakukan masyarakat.

Penjajahan bahasa ini bisa kita awali dari masa kolonial dulu. Dulu penjajahan yang bersifat angkat senjata selalu seiring sejalan dengan penjajahan-penjajahan lainnya, termasuk bahasa. Hal tersebut tak bisa dimungkiri karena memang fakta menunjukan hal tersebut, sebagai contoh, Inggris dan Spanyol. Kedua negara kolonialis ini menjajah banyak negara di berbagai belahan dunia. Selama menjajah, mereka menanamkan bahasa mereka di negara-negara yang mereka jajah. Hasilnya, panen besar! Kedua negara ini cukup berhasil. Di sebagian negara yang mereka jajah, bahasa mereka menjadi bahasa nasional atau setidaknya menjadi bahasa sehari-hari.

Di Indonesia sendiri, hal tersebut pun terjadi. Para penjajah dari mulai Portugis, Belanda, Inggris, hingga Jepang melakukan penjajahan bahasa pula. Lewat kebijakan politik atau pendidikan, mereka memaksa para pribumi belajar bahasa mereka dan berupaya menjadikan bahasa mereka sebagai bahasa masyarakat. Akan tetapi, upaya tersebut gagal, bahasa para penjajah tidak berhasil berjaya. Dengan semangat persatuan dan kesatuan, kita berhasil memukul mundur penjajah, termasuk “mengampung halamankan” bahasa mereka.

Namun, penjajahan yang begitu pekat dan kelam, membuat bekas-bekasnya tak hilang begitu saja dari tanah ibu pertiwi, dalam konteks bahasa, setidaknya para penjajah tersebut berhasil menanamkan pengaruhnya pada bahasa nasional kita. Dalam bahasa Indonesia, tercatat ada kurang lebih 100 lebih kosa kata bahasa Portugis, 3.000 lebih kosa kata bahasa Belanda, 1.500 lebih kosa kata bahasa Inggris, dan  30 lebih kosa kata bahasa Jepang. Kata-kata dari bahasa asing tersebut ada yang telah diserap, ada yang belum, tetapi baik yang sudah diserap atau belum, kedua-duanya digunakan dalam pertuturan sehari-hari orang Indonesia. Sebagai contoh, kata beranda dan kemeja berasal dari bahasa Portugis varanda dan camisa, kata akur dan keram berasal dari bahasa Belanda akkoord dan kramp, kata akomodasi dan nasional berasal dari bahasa Inggris accomodation dan national, dan kata sushi dan tsunami berasal dari bahasa Jepang sushi dan tsunami.

Penjajahan Bahasa di Era Global

Masa-masa penjajahan “angkat senjata” mungkin sudah berakhir, tetapi penjajahan yang sifatnya “tidak angkat senjata” belum berakhir, bahkan cakupan dari penjajahan ini sekarang lebih luas dan dahsyat. Hal tersebut didasari ruang dan tempatnya yang tak terbatas. Dari mulai politik, ekonomi, pendidikan, budaya, sampai bahasa, negara-negara “bule” memonopoli sebagian besar negara dunia, termasuk Indonesia.

Dalam konteks bahasa, monopoli ini terlihat dari gempuran negara-negara tersebut pada bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa-bahasa mereka menjadi favorit dan bergengsi bagi bangsa kita. Generasi muda kita berlomba-lomba belajar bahasa mereka. Mereka (generasi muda) rela meluangkan waktu dan menghabiskan uang begitu banyaknya agar bisa setara dengan para penutur jati (native speaker) bahasa asing. Sementara itu, bahasa nasional dan bahasa daerah diabaikan begitu saja.

Yang paling parah, tentu saja ketika orang tua pun mulai memberikan bahasa-bahasa asing tersebut sebagai bahasa pertama atau kedua bagi anaknya. Tentu saja, hal tersebut adalah “sekarat” bagi bahasa daerah. Bahasa daerah yang sejatinya mempunyai tempat untuk hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat, kini, sekarat karena sudah tak memiliki lagi tempat. Padahal, bahasa daerah ini sangat penting. Hal tersebut didasari kaitan bahasa yang begitu erat dengan budaya. Kalau menurut Safir & Whorf, bahasa dan budaya itu ibarat dua sisi uang logam, tak bisa dipisahkan dan saling memengaruhi. Oleh karena itu, bila bahasa daerah hilang, transfer budaya akan  hilang juga. Sebagai contoh, bila bahasa Sunda hilang, transfer budaya Sunda akan hilang. Artinya, kepunahan bahasa berarti kepunahan budaya.

Didasari hal tersebut, tak heran bila Lembaga Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB, UNESCO, mulai mencanangkan hak untuk berbahasa daerah (linguistic human right). Dalam hak ini, UNESCO menjabarkan bahwa bahasa daerah mempunyai hak untuk tetap hidup. Hak tersebut terpenuhi bila penutur yang memiliki bahasa daerah menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa mereka.

Pembagian Peran: Bahasa Indonesia Itu Wajib, Bahasa Daerah Itu Pasti, dan Bahasa Asing Itu Perlu

Pertanyaannya sekarang, apa solusi dari “penjajahan bahasa ini”?

Era global membuat kita tidak mungkin terpisahkan dari dunia luar, salah satunya adalah komunikasi lintas budaya dengan negara-negara lain. Didasari hal tersebut, kebutuhan akan bahasa asing tak bisa dielakan. Jadi, bijaknya, dalam upaya revitalisasi bahasa Indonesia dan bahasa daerah ini, kita tidak boleh melepas bahasa asing. Oleh karena itu, solusi yang paling konkret dan mungkin adalah membagi peran dari ketiga bahasa tersebut dalam konteksnya masing-masing. Konteks ini berkaitan dengan tempat, waktu, lawan bicara, atau secara lengkap segala sesuatu yang mengiringi waktu berbahasa.

Didasari hal tersebut, solusi dari masalah ini sebetulnya sudah ada, yaitu slogan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang berbunyi “bahasa Indonesia itu wajib, bahasa daerah itu pasti, dan bahasa asing itu perlu”. Sekarang, tinggal bagaimana praktik dari slogan tersebut dalam kehidupan berbahasa masyarakat. Tentu saja, realisasi slogan tersebut tidak akan pernah berhasil bila tidak ada upaya dari pemerintah. Oleh karena itu, peran pemerintah yang menghasilkan berbagai kebijakan yang mendukung keberadaan bahasa nasional dan bahasa daerah sangat diharapkan. Jangan sampai, kebijakan-kebijakan pemerintah malah mematikan bahasa kita seperti yang pernah terjadi di tempo dulu.

***

*Muhamad Patoni, Kepala Departemen Penelitian dan Penalaran UKM Leppim UPI. Tulisannya pernah tersiar di media massa. 

Comments

comments