Sekolah untuk Anak-anak Desa

299

Isolapos Bicara Pendidikan

Sebut saja namanya Iman, tetangga saya di kampung, setelah lulus sekolah kejuruan empat tahun lalu, dia mencari kerja di Tangerang, sempat bekerja di salah satu perusahaan, tapi nasibnya kurang beruntung, setelah setengah tahun bekerja, kontraknya tak diperpanjang, mencoba bertahan di pinggiran Ibu Kota, tapi akhirnya memutuskan pulang kampung. Iman, masih beruntung sebab orangtuanya, punya bengkel kecil-kecilan, kadang dia membantu di bengkel, kadang diminta menjadi sopir tembak oleh tetangganya. Pada saya, dia sempat bercerita, ingin bekerja atau punya usaha yang menghasilkan pendapatan yang cukup, lebih-lebih dia sudah mempunyai istri dan anak.

Lain lagi cerita Irfan, setelah lulus sekolah menengah atas, dia sempat ikut temannya ke Jakarta, sempat juga bekerja di salah satu perusahaan ritel sebagai kasir, di Tangerang, tapi hampir sama dengan Iman, kontraknya tak diperpanjang, akhirnya kembali pulang kampung. Kerjanya, tak jelas. Cerita anak-anak desa yang merantau ke Kota, memang tidak selalu identik dengan cerita suram, cerita sukses juga banyak, mereka bisa mendapatkan pekerjaan, menikah, mempunyai rumah, bahkan kendaraan.

Tapi, cerita tentang semakin banyak saja anak-anak muda yang gagal di kota semakin bertambah saja, di desa-desa semakin banyak saja pengangguran, ironisnya pendidikan anak-anak muda di desa semakin meningkat, sebab sekolah-sekolah lanjutan atas, semakin berkembang dan dibangun, baik oleh pemerintah maupun swasta. Sebagai contoh, di Kecamatan Picung, Kabupaten Pandeglang, sebuah kecamatan yang berada sekitar 35 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten, Kecamatan dengan sembilan desa, terdapat enam sekolah setingkat SMA/sederajat, rinciannya; tiga SMA, dua Madrasah Aliyah, satu sekolah kejuruan. Padahal, sebelum tahun 2000, tak satu pun sekolah menengah atas berdiri di sana.

Jadi persoalan akses terhadap pendidikan lanjutan sudah bukan masalah lagi di banyak desa-desa sekarang ini, tapi bagaimana relevansi sekolah bagi kehidupan mereka serta lingkungan sekitar. Bagaimana sekolah bukan hanya berperan meningkatkan dan menyebarkan kepemilikan izajah, tapi juga bagaimana mempersiapkan anak-anak muda di desa-desa untuk membekali kemampuan dan bekal menghadapi kehidupan. Sekolah juga diharapkan berperan, memiliki fungsi yang lebih luas, semisal ikut berperan dalam membangun desa.

***

Persoalan relevansi sekolah di pedesaan, sebenarnya sudah dibicarakan sejak tahun 70-an, C.E Beeby, di dalam bukunya, Pendidikan di Indonesia, (1981:146), menuliskan seperti kebanyakan negeri berkembang banyak kritik dilancarkan terhadap sekolah di pedesaan, karena sekolah di pedesaan, baik SD maupun lanjutan, sedikit atau sama sekali tidak menyiapkan siswanya untuk mengolah tanah pertanian yang merupakan kehidupan mayoritas penduduk. Berbagai desakan agar diadakan kurikulum khusus bagi sekolah-sekolah di pedesaan dengan titik berat pada masalah-masalah pertanian dan pedesaan yang akan mengurangi arus anak muda mengalir ke kota.

Putusan yang harus dibuat, adalah apakah membuat dua variansi kurikulum, satu untuk sekolah di kota-kota dan satu lagi untuk sekolah pedesaan. Tapi, persoalannya, kemudian banyak ketakutan para siswa yang ada di sekolah-sekolah pedesaan akan kesulitan untuk menghadapi memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang lebih tinggi yang secara tradisional meremehkan kemampuan tradisional. Selain itu, banyak anggapan di masyarakat untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya hanya dipersiapkan menjadi petani atau berwirausaha mengembangkan desanya.

Sebenarnya, kesalahan itu bisa perlahan meluntur, sebab ada beberapa hal yang mendorong, semakin berkurangnya kesempatan bekerja di perkotaan, semakin meningkatnya potensi di pedesaan, dan berkembangnya tata cara mengolah pertanian yang semakin modern. Hubungan komunikasi bisa dilakukan tanpa jarak, sebab kemajuan semakin memudahkan orang berhubungan, jadi desa dan kota semakin tipis saja perbedaannya. Tapi, persoalannya, bagaimana kemudian orang-orang desa semakin sadar akan potensi yang ada di sekitar mereka.

Pendidikan perlu dikembangkan dan dimplementasikan secara konstektual untuk merespon kebutuhan daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Ragam karakter dan keunikan daerah melahirkan kebutuhan dan tantangan antar daerah berbeda. Salah satu akomadasi yang dilakukan yaitu dengan mengembangkan kurikulum muatan lokal, yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal, yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan daerah tempat tinggal. (Permendikbud/79/2014/Pasal 2/1). Pelajaran muatan lokal itu, seperti pertanian, kesenian daerah, perikanan, kelautan dan sebagainya.

Sayangnya, pelaksanaan di lapangan terdapat sejumlah kelemahan diantaranya; kurikulum muatan lokal dianggap bukan sebagai mata pelajaran yang serius dipelajari siswa. Persiapan guru terkesan asal ada, bukan berasal dari guru yang dipersiapkan secara matang, tiap tahun seringkali guru muatan lokal bongkar pasang. Selain itu, banyak yang guru yang merasa tidak tertarik dan berminat mengajar muatan lokal, sebab dianggap dianggap tidak linear, sehingga dianggap tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan karir dan sertifikasi guru. Selain itu ada beberapa sekolah, yang mengajarkan mulok namun yang diajarkan pelajaran Bahasa Asing.

Meningkatkan pemahaman dan karakter lokal sebenarnya dapat juga terlihat pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dimana kurikulum yang dikembangkan disusun dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan. Penyusunannya, dikembangkan oleh satuan pendidikan dengan melibatkan komite sekolah/madrasah. Tapi, sampai dengan munculnya kurikulum yang baru terutama kurikulum 2013, masih banyak sekolah yang tidak mengembangkan KTSP, sesuai dengan potensi lokal yang ada di sekolah. Singkatnya, KTSP tidak disusun berdasarkan potensi yang ada di sekitar sekolah. Kadang, kurikulum sekolah pedesaan hampir sama dengan kurikulum yang ada di perkotaan.

Pada proses pembelajaran, pelaksanaan KTSP semestinya bersandar pada model pembelajaran Contextual Teaching Leraning (CTL) dimana proses pembelajaran direlevansikan dengan kenyataan yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka bukan hanya mengerti konsep materi namun juga bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataannya, proses pembelajaran yang dilakukan di banyak sekolah, lebih terpaku pada buku ajar. Praktek pembelajaran di kelas, lebih menekankan pada ketuntasan belajar, berdasarkan kurikulum yang disusun dan dibuat dari pusat.

Selain itu, karena sistem Evaluasi, yang dilakukan bertahun-tahun mengacu pada sistem Ujian Nasional (UN), sehingga bagaimana materi yang diajarkan dapat mensukseskan UN. Materi-materi yang kurang relevan dengan kondisi pedesaan dan kehidupan anak pun dipaksakan untuk dipahami, semisal pelajaran ekonomi anak di pedesaan diajarkan tentang menghitung nilai tukar rupiah dengan mata uang asing terutama dolar Amerika, manajemen badan usaha, perdagangan internasional, menghitung pendapatan dan belanja nasional, sementara dalam pelajaran PKn misalnya, hubungan internasional. Masih banyak, materi-materi pelajaran dalam pelajaran yang sudah dicontohkan atau dalam pelajaran yang lain, yang sebenarnya kurang relevan dengan pendidikan bagi anak-anak desa, agar mereka bisa hidup dari tanah yang mereka pijak, kini maupun di masa yang akan datang.

***

Berbagai usaha untuk membangun dan memberdayakan desa dilakukan, terbitnya Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014 sebagai salah satu cara. Undang-Undang Desa itu bertujuan untuk meningkatkan prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan aset Desa. Pembangunan dan Pemberdayaan Desa dilakukan dengan menyuntikan dana Desa, yang langsung ditaransfer ke rekening masing-masing desa, yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, aksesibilitas, yang dirata-rata mendapatkan Rp 800 jutaan pertahun, dan kemungkinan meningkat sampai miliaran, untuk tahun 2016 ke depan. Pemerintah juga mengangkat Pendamping Desa, yang bertujuan untuk fasilitasi dan peningkatan program pembangunan desa antar sektor.

Pertanyaannya kemudian dimana peran pendidikan dalam ikut serta membangun desa? Apakah sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak juga dilibatkan secara aktif untuk dipikirkan ulang kembali, untuk memberi ruang untuk mendidik dan mempersiapkan anak-anak untuk bisa hidup dan mengembangkan Desa mereka. Padahal sebenarnya sekolah sebagai lembaga pendidikan, menjadi instrumen paling penting untuk mengembangkan dan memberdayakan desa, sebab hampir semua anak-anak sekarang ini duduk dibangku sekolah. Penyebaran sekolah-sekolah juga semakin luas, termasuk ke desa-desa.

Sampai saat ini, sekolah-sekolah di desa, masih dibayangkan sebagai lembaga yang mencetak generasi muda yang mengalir ke kota. Apa yang dimaksud dengan mencari kerja, yaitu dengan berduyun-duyunlah alumni sekolah tingkat lanjut ke pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan yang masih tersebar di kota, sebab alumni sekolah masih bingung, menggarap potensi desa, jadilah orang desa yang bingung hidup dan tinggal di kampungnya sendiri. Seonggok Jagung, begitu penyair W.S Rendra menggambarkan, lewat puisi. Pemerintah daerah terutama Provinsi yang diberi kewenangan untuk mengelola sekolah lanjutan, mestinya mulai memikirkan ulang, bagaimana sekolah-sekolah mampu berfungsi lebih luas, membangun dan memberdayakan desa, sehingga nasib-nasib penerus seperti Iman, Irfan dan anak-anak muda desa lebih jelas memandang masa depan, untuk dirinya dan desa dimana mereka dilahirkan. [Ginanjar Hambali/Guru SMA Negeri 7 Pandeglang]

Comments

comments