Oleh : Agil Nanggala
*) Penulis adalah Mahasiswa Departemen Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI 2015
Intrik
Sejatinya masyarakat Indonesia tidak boleh anti dalam berpolitik, karena politik bukan hanya berbicara mengenai kekuasaan, kepentingan, atau pengaruh saja, lebih dari itu, politik berbicara bagaimana mengelola negara secara dinamis, serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang, karena kedaulatan berada ditangan rakyat, sudah sewajarnya masyarakat Indonesia harus melek politik, yang pada tujuan akhirnya ikut berpartisipasi dalam kepentingan umum. Tidak dibenarkan apabila kekuasaan politik dimonopoli oleh kelompok tertentu, sehingga mereduksi kepentingan mereka seolah kepentingan rakyat.
Politik Indonesia begitu dinamis, terlebih baru saja melewati perhelatan pilkada serentak 2018, yang dilaksanakan di 171 daerah (Sindonews, 2018), apapun dalil politiknya, hasil pilkada serentak tersebut sangat berpengaruh kepada perhelatan pilpres 2019. Bukan politisi apabila segala perilakunya tidak memiliki maksud, terutama elit politik, segala intrik politik melalui gestur serta mimik yang dilakukan guna mendapatkan citra publik, yang berhubungan langsung dengan elektabilitas.
Tidak masalah apabila para politisi melakukan manufer politik demi mendulang suara terbaik publik, sejauh apa yang mereka lakukan tidak merusak persatuan dan kesatuan nasional. Ironinya hari ini demokrasi tidak ditentukan dengan kualitas. Oleh karena itu dengan sistem “one man., one vote, one value”, segala kebijakan dan jurus politik dilancarkan oleh elit politik, namun sayang kadang kepentingan mereka tidak mencerminkan kepentingan rakyat.
Kotak Kosong
Terjadi hal yang unik dalam pelaksanaan pilkada serentak 2018, tepatnya dalam pemilihan Walikota Makassar, pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi kalah melawan kotak kosong, pasangan tersebut meraih suara sekitar 46,51% dan kotak kosong meraih 53,49% , berdasarkan suara masuk 100% per 22.52 WITA (Cnnindonesia.com, 2018), walaupun mereka merupakan calon tunggal yang mengikuti kontestasi pemilihan Walikota Makassar dan didukung oleh 10 Partai Politik berjumlah 43 kursi di DPRD, tetapi tidak menjamin kemenangan.
Mengutip pasal 54D ayat 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016, menjelaskan bahwa pada intinya KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada kontestasi pilkada yang diikuti oleh 1 pasangan calon sebagaimana dimaksud Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50% dari suara sah (Tribunnews, 2018).Diperkuat dengan ketentuan Pasal 25 ayat 1 PKPU No.13 Tahun 2018 menegaskan apabila kolom kosong meraih suara lebih banyak dari perolehan suara pasangan calon, maka KPU berhak menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pemilihan serentak periode berikutnya, dan ayat 2 menyebutkan bahwa pemilihan serentak yang dimaksudkan pada ayat 1 dapat dilaksanakan pada tahun berikutnya, atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Tempo.co, 2018). Dikarenakan 2019 akan dilaksanakan hajat besar berupa pileg dan pilpres, maka kemungkinan besar pemilu Walikota Makassar akan dilaksanakan pada tahun 2020.
Kehendak rakyat tidak sesuai dengan kepentingan para elit politik. Masyarakat melawan kehendak politik elit, daripada mereka dipimpin oleh orang yang tidak mereka inginkan, lebih baik dipimpin oleh kotak kosong. Otomatis terjadi kekosongan kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan, dan itu merupakan wewenang Kemendagri dalam menunjuk siapa pejabat Walikota Makassar selama 1 tahun, untuk dimandatkan menjalankan roda pemerintahan daerahnya, karena apapun alasannya pembangunan daerah dan upaya mewujudkan keadilan sosial tidak boleh terhalangi hanya karena permasalahan politik. Dan ini harus dianggap sebagai kritik keras dari masyarakat, yang menegaskan bahwa segala kepentingan politik harus diiringi dengan kepentingan masyarakat.
Kontemplasi
Elit politik harus menjadikan ini sebagai pelajaran, pada intinya tidak boleh memonopoli kekuasaan politik demi hasrat politiknya semata, masyarakat sudah semakin cerdas dalam menilai segala fenomena politik, dan ini menegaskan hukuman dari masyarakat karena elit politik hanya berusaha melancarkan maksud politiknya, tanpa mendengar suara dari masyarakat, vox populi vox dei, suara Tuhan adalah suara rakyat, maka disimpulkan kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan.
Mereka harus sadar karena semua jabatan yang tersedia di bumi Indonesia, hanya sebuah jabatan mandataris, yang intinya bersifat sementara, dan semua akan diperhatikan oleh rakyat dan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sudah jemu rasanya fenomena politik hari ini hanya mengatasnamakan publik, maka dari itu dibutuhkan politisi pembaru. Kaderisasi partaipun harus jelas dan berkualitas, sebagai tempat menempa para pemimpin politik, partai politik harus menghasilkan kader politik yang memiliki komitmen, kapasitas dan kapabilitas, dan menjadi kepercayaan publik, jangan hanya menciptakan kader-kader yang selalu terlibat dengan skandal korupsi.
Inilah saatnya perpolitikan Indonesia harus berbenah, elit politik harus ingat dengan segala kepentingan bangsa, jangan sibuk hanya menaikan citra, dan memonopoli kekuatan politik saja. Karena Ir. Soekarno pernah berkata “Jadikanlah deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”. Lalu apapun kehendak manusia jika Tuhan telah berkata Kun Fayakun “Jadilah, maka terjadilah ia”.
Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis yang bersangkutan.