Oleh: Levi Lita*
Pendidikan menurut KBBI adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sedangkan menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Simpulan tidak formalnya, pendidikan itu merupakan suatu kegiatan antara pendidik dan pihak yang terdidik dengan tujuan untuk memajukan.
Bahkan, dari dulu pendidikan itu merupakan hal yang integral dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk menancapkan eksistensinya. Terutama di 1920-an, dimana pendidikan dan taktis diplomatis mulai merambat di ranah perjuangan melawan penajajah, terutama di kalangan pemuda. Dikarenakan keadaan sosial masyarakat Indonesia saat itu ada yang “membolehkan” mereka untuk mengenyam pendidikan, dan hal ini terjadi tidak hanya di periode tersebut.
Ketika membicarakan perjuangan melewati jalur pendidikan, kita tidak bisa lepas dari membicarakan sosok Ki Hajar Dewantara. Jasa beliau dalam melawan kekuatan kolonial melalui pendidikan, mendirikan banyak fondasi pendidikan maupun perkumpulan orang-orang Indonesia. Beliau pun mendirikan Taman Siswa, Indisje Partij, Komite Bumiputera, dan lain-lainnya. Maka dari itu, Hari Pendidikan Nasional akhirnya bersamaan dengan ulang Ki Hajar Dewantara, yakni 2 Mei.
Sebagai negara dengan sejarah yang kental dengan perjuangan pendidikan, Indonesia seharusnya memiliki perhatian khusus mengenai perkembangan di bidang ini. Namun, nyatanya pendidikan di Indonesia masih merupakan subjek yang disia-siakan, dipergunakan secara tidak bijak, dan bahkan terbengkalai.
“SEMUA WARGA NEGARA INDONESIA BERHAK MENDAPATKAN PENDIDIKAN!”-
-adalah satu kutipan dari Pasal 31 ayat 1. Namun, nyatanya pendidikan di Indonesia bukanlah sesuatu hak yang melekat pada masyarakat kita. Undang-undang kita jelas menjabarkan bahwa pendidikan ialah sesuatu hal yang seharusnya sudah bersifat hak inti sebagai warga Indonesia, tidak ada yang menghalangi aksesnya. Hal ini berbanding terbalik dengan fakta lapangan yang ada.
Menurut data yang diapaparkan oleh Kemendagri dalam 2 tahun lalu, ialah sebagai berikut;
- Jumlah masyarakat Indonesia yang tidak duduk di bangku pendidikan sama sekali berjumlah ± 66 juta (23,78 %)
- Jumlah masyarakat Indonesia yang tidak tamat jenjang SD berjumlah ± 31 juta (11,12 %)
- Jumlah masyarakat Indonesia yang tamat jenjang SD berjumlah ± 64 juta (23,15 %)
- Jumlah masyarakat Indonesia yang tamat jenjang SMP berjumlah ± 40 juta (14,21 %)
- Jumlah masyarakat Indonesia yang tamat jenjang SMA/SMK berjumlah ± 58 juta (21,08 %)
- Jumlah masyarakat Indonesia yang berhasil ke perguruan tinggi, termasuk S1, D1, D2, dan D3, hanya berjumlah ± 18 juta (6,52 %)
Jika dibandingkan angkanya bagi mereka yang mendapatkan syarat pendidikan layak di tingkat minimum, yakni tamat SMA/SMK, atau bagi mereka yang mampu melanjutkan sampai tingkat perguruan tinggi, tidak lebih banyak dari angka mereka yang belum menyentuh pendidikan sama sekali. Bukankah ini harusnya menjadi hak mereka, seperti yang sudah ditulis dalam undang-undang? Namun faktanya, presentase-presentase tersebut menandakan ada yang janggal jikalau pendidikan, yang disebut sebagai hak semua warga Indonesia, memiliki angka dan presentase yang jomplang.
Faktor terbesar atas berkurangnya presentase tamat jenjang ialah karena putus sekolah.
Berikut angka putus sekolah yang bersifat drop out;
- Jenjang SD/Sederajat, ± 26 ribu
- Jenjang SMP/Sederajat, ± 93 ribu
- Jenjang SMA/SMK/Sederajat, ± 133 ribu
Sementara itu, berikut adalah angka putus sekolah karena tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi;
- SD/Sederajat ke jenjang SMP/Sederajat sebesar ± 56 ribu
- Tidak melanjutkan ke jenjang SMA/Sederajat sebesar ± 181 ribu
Minimnya tamat jenjang ini juga didukung dengan APK (Angka Partisipasi Kasar) di tahun 2022 pada jenjang SMA/SMK/Sederajat, yang menunjukkan 85,49 % namun angka penyelesaiannya hanyalah 66,13%. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan bersekolah di Indonesia masihlah sangat lemah.
Ketahanan bersekolah yang lemah ini dapat dijelaskan oleh tiga faktor tertinggi putus sekolah.
- Terbebani oleh biaya (24,87 %)
- Mencari/membantu mencari nafkah (21,64 %)
- Pernikahan dini, kehamilan dini, atau memiliki anak di usia dini (10,07 %)
Di bawahnya, ada faktor-faktor lain seperti faktor internal dimana ia sudah merasa cukup, mengurus rumah tangga, atau faktor sosial lain seperti perundungan dan sebagainya. Tanpa mengucilkan faktor-faktor lain, kita mengacu kepada dua faktor yang hampir mencapai 50 % dari seluruh faktor yang ada; yaitu terhambat biaya dan mencari nafkah. Maka, dapat disimpulkan bahwa mirisnya berbagai presentase dan angka tingkat pendidikan di Indonesia bersandingan dengan (lagi-lagi) masalah ekonomi.
Apakah kutipan dari Pasal 31 Ayat 1 tersebut sudah tercermin dan teraplikasikan dengan baik? Jelas tidak.
Dimana letak kesalahannya—negara yang gagal menaungi warga Indonesia dalam mendapatkan haknya, atau justru anak-anak yang tidak bisa berdedikasi dalam pendidikannya? Tentu lebih mudah bagi kita untuk menjadikan masalah ini menjadi masalah moral dan berdalih, ‘anak jaman sekarang, mah, males sekolah… maunya main aja,’ tetapi data dan fakta lapangan secara gamblang menunjukkan bahwa hal ini tidak bisa menjadi moral freakout, namun sesuatu yang bersifat masalah konkret. Hal ini menunjukkan kegagalan negara ini.
LAGI-LAGI IMPE, FEO, DAN KABIR!
Berasal dari negara-negara imperialisme yang melestarikan sistem feodalisme, lalu menggunakan kapitalis birokrat sebagai pihak yang menjalankan sistem tersebut.
Jika ditarik garis untuk menelusuri asal-usul pendidikan yang nominalnya membludak ini, salah satunya ialah GATS; General Agreement Trade in Service, sebuah perjanjian dibawah WTO (World Trade Organization). Pada GATS itulah disetujui liberalisasi pendidikan, bersamaan dengan sekian sektor lainnya sebagai perjanjian trading agar di tahun 1988, di era krisis moneter, Indonesia diberikan pinjaman. Umpamanya, terjadi percakapan berikut;
“Hei, minta duit dong! Kasian lah, gua butuh banget.”
“Mana ada.”
“Plis lah, gua bener-bener krismon.”
“Ya udah deh, gua kasih nih.”
“Makas-”
“Eits, ‘ntar dulu. Gini cuy, gua kasih kalo lu mau liberalisasi 12 sektor punya lu.”
“Maksud?”
“Ya gitu. Gua butuh invest, nih, sekalian juga lah butuh lahan komersil buat produk-produk gua. Bisa lah lu liberalisasi 12 sektor.”
“Eh… nanti suka-suka elu dong. Nanti ga dipegang sepenuhnya sama gua lagi dong?”
“Salah sendiri miskin. Gimana, mau ga nih duit?”
“Ah. Ya udah, deh. Gua ambil.”
Dikarenakan kita mengkomersilkan dan meliberalisasikan sektor-sektor tersebut, yang mana salah satunya adalah pendidikan, maka kita tidak merdeka secara finansial atas sektor-sekor tersebut. Belum lagi, mengarah kepada UU DIKTI nomor 12 tahun 2012, dimana mulai dikenalkan konsep PTN-BH, atau Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum.
PTN-BH sendiri suatu konsep yang dikenalkan seolah-olah akan berdampak positif kepada universitas-universitas, dikarenakan mereka diberikan otonomi yang lebih luas untuk mengatur dapur mereka sendiri, tidak melulu dimonitor oleh negara. Hal ini merupakan scam terbesar, mengingat sektor pendidikan kita sudah tidak independen secara finansial. Dan ketika negara melepas tanggung jawab finansial akan PTN-BH berkedok memberikan otonomi, maka sumber keuangan PTN-BH ialah tidak lain dari komersialisasi dan liberalisasi dari sektor pendidikan. Bahkan, dengan diterapkannya UU DIKTI ini, jumlah UKT naik sebesar 50 % – 100 %. Pendidikan tidak lagi sebagai suatu sektor sakral yang dibuat untuk mencerdaskan anak-anak serta pemuda-pemudi Indonesia, pendidikan tidak lebih dari barang dagangan.
Buktinya, jika kalian berada di lingkungan kampus, lihatlah sekeliling kalian, minimal ada satu investasi asing.
‘Kan, lagi-lagi negara-negara imperialisme berhasil mengatur negara-negara korban seperti negara kita ini dengan sistemnya. Ini merupakan feodalisme modern, komersialisasi dan liberalisasi pendidikan di negara kita adalah bukti bahwa kita tidak merdeka atas sektor-sektor kita sendiri. Belum lagi, kapitalis birokrat-lah yang akan meraup keuntungannya, sirkulasi uang ada di kedua telapak tangan mereka, dan kita yang sudah berjuang napas dan fisik hanya untuk belajar, hanya mendapatkan ampasnya saja.
Kita bagaikan rumah reyot yang terbuat dari emas. Begitu bertriliun-triliun uang yang dihamburkan untuk universitas-universitas ini, begitu banyak bangunan arsitektur mdoern yang dibuat seadanya, fasilitas baru yang sebenarnya bukan urgensi, dan begitu mahal uang ini-itu yang kita harus bayarkan untuk semua fasilitas ini. Namun, di balik semua “emas” ini, semuanya hampir kopong. Apa gunanya gedung-gedung yang terkesan megah jika mahasiswa tersendat untuk bayar UKT dan terhambat fasilias yabg tersendat-sendat?
Lalu, apakah uang maupun investasi-investasi tersebut berdampak positif dalam proses pembelajaran, maupun fasilitas-fasilitas yang ada? Sepertinya, para mahasiswa dapat menjawab hal tersebut.
DISTOPIA PENDIDIKAN DAN STUDI KASUS-KASUSNYA
Rezim Jokowi bersama dengan sang menteri Nadiem, dikilas balik 10 tahun ini, tidak membuahkan apa-apa bagi dunia pendidikan Indonesia yang sudah babak belur ini.
Di HUT PGRI ke-78, ditulis dalam media artikel dengan jujur menggegerkan; JOKOWI MENEGUR NADIEM MAKARIM.
Seolah-olah ia mengatakan hal yang berbobot dan tajam.
“Saya lihat sekolah-sekolah di kota itu beda dengan sekolah di 3T, ya. Tidak merata. Itu tugas menteri pendidikan,” ucap Jokowi (dengan dialog yang dipersingkat). Seorang tunanetra menggunakan kacamata hitam pun bisa memberikan input mengenai pendidikan yang lebih berbobot dari hal tersebut. Kutipan itu seolah-olah menggambarkan bahwa mereka tidak peduli. Berbicara ini-itu di depan pers, senyum untuk foto, selesai.
Di balik layar, mereka kerap melestarikan keadaan dan biaya pendidikan yang naas ini. Seperti, universitas yang makin bebas menentukan biaya UKT-nya, penggencaran komersialisasi dan industrialisasi kampus melalui program seperti MBKM, serta perilisan Kemendikbudristek mengenai SSBOPT tahun 2024.
Menurut tim Litbang UKSK, SSBOPT tahun 2024 ini sudah edan. Diimulai dari golongan UKT yang naik sampai 11 golongan, lalu perubahan aturan dimana di SSBOPT sebelumnya dijelaskan bahwa penentuan nominal UKT harus menyesuaikan kondisi ekonomi mahasiswa, namun di SSBOPT 2024, kalimat tersebut dihilangkan.
Ketika berusaha melawan hal tersebut dengan advokasi, maka kita harus menghadap ke birokrat-birokrat yang mengulang-ulang poin yang sama; tidak bisa meringankan biaya, karena hal ini, hal itu, dan lain sebagainya. Perkara ini pun tidak hanya terjadi di satu kampus saja. Bahkan, kampus, melalui birokrat, rela mendekatkan mahasiswa dengan putus kuliah dibandingkan meringankan biaya pendidikan bagi mahasiswanya.
Pendidikan memang dibikin mahal, aksesnya benar-benar dipersempit, karena mereka tahu bahwa pendidikan adalah hal yang krusial dalam mengubah nasib hidup seseorang. Dan itulah yang diinginkan oleh banyak pemuda-pemudi Indonesia; maka dari itu, bisnis pendidikan laku keras. Belum lagi dengan adanya hirarki pendidikan, sekolah favorit, universitas top, dan lain-lain, yang pada akhirnya tidaklah lebih dari usaha mengiklankan pendidikan ini. Glorifikasi edukasi tidaklah lebih dari usaha mendagangkan pendidikan.—
Ayo berdiskusi, runcingkan kepalamu!
Salam demokrasi nasional!
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2023 FPIPS UPI