POSTULAT PICASSO

95

Oleh: Irma Kurnia Sukmana

“Mati… Adalah… Kematian adalah kecupan terhangat yang dengan caranya sendiri membawamu mengerti: yang berkian-kian kau perjuangkan, hanyalah ketidakpermanenan.”

            Bola mata Seni membaca sebuah coretan tangan yang ditulis menggunakan acrylic toska di atas robekan kanvas hitam seukuran postcard natal dengan inisial “VVV” pada sudut kiri bawah. Bola-bola imajiner kembali bergulir. Membawanya kembali pada ilusi serumit labirin yang tak terproyeksikan. Arus pasang cerita tergambar jelas di sorot mata gadis itu.

“Murid itu! Tidak mungkin! Please, Gami! Lelucon kotor apa lagi ini? Anak sekecil Gami? Anak usia sembilan tahun seperti Gami menuliskan hal-hal yang bahkan di luar nalar orang dewasa?” Rahang Seni mulai mengeras. Guru perempuan itu hanya berdiri mematung dengan lutut lemas di tepi kolam renang sekolah. Ini lebih buruk dari simpul-simpul benang kusut yang menciptakan ketidakberaturan.

***

VENI

“Mati… Ingin… Ia… Ia ingin… Ia mati di… Ia ingin mencintai kematiannya di tempat itu.”

Lukisan-lukisan anak itu. Mampu menghentikan setiap aliran darah dalam arteri Seni. Seperti sebuah petisi untuk mengalihkan sebuah kebahayaan. Seperti lawan dari lambang segitiga di dalam lingkaran yang ditemukan melalui kengerian.

Seni bersandar pada pintu kelas. Tapi tidak setelah retinanya menangkap keadaan dimana murid itu berdiri di salah satu sudut kelas dengan posisi memunggunginya. Dapat kau bayangkan? Sore terakhir di bulan April, kelas ini seharusnya kosong, tapi seorang murid malah berdiri mematung dengan sebuah kanvas di tangannya. Kuas-kuas lukis berceceran di lantai bersama acrylic yang teksturnya aneh dan berbau anyir. Lalu di antara kursi dan meja yang posisinya terputar ke segala arah, juga tiga buah kaca jendela yang pecah, Seni hanya mampu melangka dengan lemas memasuki kelas.

“Gam… Gami…?” ucap Seni dengan bibir bergetar. Sementara ia kesulitan menelan ludah, murid itu tetap memunggunginya tanpa bergerak sedikit pun.

Kegetiran mengalir saat Seni menyentuh pundak murid itu dari belakang, “Gami… Apa yang sedang kamu lakukan?”

Murid itu tetap tidak merespon. Tangan Seni bergerak menyentuh sesuatu di tangannya. Kanvas. Tidak ada yang Seni temukan selain bau anyir dalam warna hitam dan merah yang membentuk gambar abstrak beraliran ekspresionisme.

“Si… si… siapa yang melukisnya?” Seni mulai merasa kesulitan bernapas saat memandangi murid itu. Pipi tirus dengan wajah yang lebih kusam dari kapur, struktur bibir tipis terbelah dengan dagu mungil yang biasa dimiliki gadis-gadis kecil berdarah Jepang, seragam lusuh berbau anyir penuh bercak merah dan rok pendek yang memperlihatkan lutut kecil dengan banyak bekas luka. Lewat jari-jari tangan kecilnya, sebuah nyawa seperti ditiupkan pada kanvas-kanvas di bawah aliran ekspresionisme dari coretan-coretannya. Dan Seni hanya bisa merinding saat membaca sebuah kalimat di sisi belakang kanvas itu.

“Mati… Ingin… Ia… Ia ingin… Ia ingin mati di… Ia ingin mencintai kematiannya di tempat itu.” Seni berusaha membaca tulisan buruk itu. Keningnya berkerut. Semua ini menciptakan ribuan pertanyaan, tapi bibir Seni seolah kelu oleh ketakutan yang dihidupkan dalam lukisan ini.

***

*Bersambung

Irma Kurnia Sukmana, Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam UPI

Comments

comments