Pendidikan, Kemerdekaan, dan Beberapa Cuil Tragedi

629

Oleh:  Revi Nurmaola Salam. Sosiologi UPI 2016.

*Keseluruhan isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya

Pra-revolusi 1945, kemerdekaan dimaknai sebagai hal yang luhur. Dalam pendidikan, sebut saja R.A Kartini, salah satu yang percaya sekaligus memperjuangkan pendidikan sebagai prasyarat kemerdekaan manusia. Di jamannya, pendidikan tidak bisa diakses oleh masyarakat biasa, khususnya yang tertindas secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Hanya golongan tertentu yang bisa mengaksesnya. Yang di luar golongan dipaksa menjadi inferior di hadapan pendidikan. Dengan aturan pendidikan yang seperti itu, diskriminasi sosial tidak bisa terhindarkan, malah dilestarikan. Sebut saja, pembedaan antara ningrat/priayi dan rakyat jelata yang digunakan saat itu sebagai ukuran bagi yang berhak dan tidak untuk mengenyam pendidikan. Belum lagi cacat budaya dari dalam pribumi sendiri yang ampuh membelenggu perempuan dari akar laku domestiknya. Kartini, dalam konteks ini, adalah pejuang yang tragik. Dia berdaya sebagai ningrat, namun identitasnya telah menjadi batas yang pedih.

Pendidikan yang terkontaminasi pandangan diskriminatif seperti itu hanya berperan sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan yang menindas, yang pada saat itu adalah Kolonialis. Kemerdekaan tidak bisa dicapai melalui pendidikan yang dengan sadar merendahkan derajat memandang manusia. Tujuan pendidikan menurut Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas (1968) adalah humanisasi, sebuah proses memanusiakan manusia. Mungkinkah kolonialis memandang budak-budak jajahannya (sebagai manusia) setara? Apakah niscaya kelas berkuasa melebur sentimen kelasnya dan dengan rendah hati mulai mengupayakan kesejahteraan kelas tertindas?

Untuk mencapai kemerdekaan, pendidikan harus didirikan menjembatani proses kemerdekaan. Tahun 1922, Taman Siswa didirikan. Alih-alih menjadi institusi dengan segudang formalitas dengan cita-cita abstrak, Taman Siswa malah menganggap dirinya sebagai rumah pendidikan yang memupuk impian mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Peserta didik yang diacunya adalah mereka yang disisihkan, yang tak diakui dan ditempatkan pada kolom terbawah di daftar panjang manusia beradab versi kolonial. Taman Siswa didirikan Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang biasa dikenal Ki Hajar Dewantara demi memfasilitasi pemuda Indonesia memperjuangkan kemerdekaan rakyat. Taman Siswa adalah tempat menumbuhkan bibit masyarakat Indonesia agar tumbuh dengan semangat juang memerdekakan diri dari kekuasaan kolonial.

Taman Siswa maju pesat, dan pendidikannya progressif menyuarakan urgensi kemerdekaan dan kesetaraan. Menyadari potensi besar perlwanan dari Taman Siswa, pemerintah kolonial menghadang-halangi perkembangan Taman Siswa. “Ordonasi Pengawasan”, peraturan pemerintah, dibuat dan dipaksa-terapkan sebagai langkah intervensi sekaligus antisipasi akan letupan perlawanan dari rakyat. Peraturan yang mengatur hajat institusi pendidikan non-formal yang tidak dibiayai pemerintah negeri. Aturan dengan sentiment kelas penguasa, dimana isinya adalah menertibkan sekolah-sekolah “liar”. Apakah arti “liar” di hadapan institusi pendidikan? Adakah rakyat dengan rasa pedih tertindas yang diabaikan ataukah penguasa dengan segala kemudahan dan kewenangan?

Kemerdekaan adalah tubuh rapuh, sedang kekuasaan besar dan tangguh, Tan Malaka berucap. Dia adalah seorang pejuang yang tak dipahami. Keberadaannya bisa menjadi garang dan tidak kompromis sebagai tokoh Komunis, lembut sebagai Muslim, namun tegar dan bersahaja sebagai rakyat yang memutuskan tenggelam dalam perih hati ketertindasan buruh tani dan kaum miskin. Gagasannya mengenai pendidikan jauh melampaui wacana kemerdekaan dan pembebasan temporal saat penindasan terjadi. Baginya, penindasan adalah tumor tumbuh di luar kesadaran manusia. Sebgai seorang Marxis, dia percaya bahwa kelas adalah perihal kepemilikan. Selama kesadaran manusia adalah kesadaran akan kepemilikan, kesetaraan hanyalah mimpi boros di siang yang sia-sia. Pendidikan harus mau turun ke bawah, bercampur dengan bau keringat buruh tani-pabrik dan peluh orang-orang miskin. Diluar itu, pendidikan hanya omong kosong belaka. Guru adalah seorang yang kemuliaannya dinilai atas ketersediaannya terlibat mengentaskan masalah sosial yang menyebabkan manusia terpisah oleh jurang senjang atas ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pendidikan wajib berupaya menghapuskan kelas!

Taman Siswa sebagai rumah pendidikan rakyat tertindas, berkontribusi besar terhadap kemerdekaan. Namun, sebagai institusi, keberadaannya hanya sebagai tonggak nostalgia yang merawat ingatan akan kebebasan. Sehabis kemerdekaan, keberadaan Taman Siswa tak lagi efektif mentransformasikan semangat perjuangan ke generasi selanjutnya. Dan hari ini, pendidikan sibuk dengan dirinya sendiri. Dengan berbagai kebijakan mulai dari penggolongan UKT, pembatasan kegiatan malam, sampai standar harga menjadi awan gelap di langit negeri. Pendidikan yang menyaru wajah kolonial melalui topeng demokrasi. Sebut saja berbagai kasus penggusuran, korupsi, wabah kemiskinan, dan segudang kasus diskriminasi tidak terlepas dari peran pendidikan yang disoriented. Pendidikan acapkali tidak ramah dengan nilai-nilai lokal dengan memaksakan logikanya sendiri, bahkan tanpa tedeng-aling menyanjung keegeoisan tangan-tangan pemodal ataupun pihak yang berupaya merongrong keuntungan dari tindak eksploitif atas tenaga orang-orang dari kelas tak berpunya.

 

Lantas begitu, apa arti kemerdekaan hari ini? Barangkali akan terlampau degil jika kita berkhotbah akan kesia-siaan segala hal. Kemuakan memang bisa tak tertampung, namun upaya dan jerih sakit bermakna amat dalam sekalipun imbasnya tak berarti apa-apa. Tan Malaka, R.A Kartini, Ki Hajar Dewantara hanyalah salah tiga dari banyaknya orang dengan kepahlawanan yang sabar dan tragis. Keberadaannya saat ini adalah hantu-hantu yang siap mengusut setiap laku lalim di negeri Indonesia. Hantu, yang mencari tubuh dan hasrat pemuda-pemudi yang tak kuasa menampung jerit terluka orang-orang rudin. Serupa mimpi, kita akan sulit mengenali kilau jarum harapan akan kesetaraan jika kita tidak berupaya mengurai gunungan jerami penindasan. Barangkali jarum itu tak perlu rampung diurai. Sebagaimana pahlawan, kita bisa berusaha dengan sabar mengurai, dengan ikhtiar dan ketersediaan untuk ikut terbakar suatu saat kemuakan membumi-hanguskan jerami beserta jarum impian. Barangkali hanya dengan begitu, pendidikan bisa kembali bermakna, dan kemerdekaan menjadi suatu yang niscaya. Sekalipun acapkali berujung tragis.

Comments

comments