Sexy Killers: Menyingkap Asap PLTU Batubara
Oleh: Aulia Rachma Febriani
Ungkapan don’t judge book by it’s cover rasanya tepat untuk menggambarkan film ini. “Sexy Killers” bukanlah film dewasa dengan adegan senonohnya, melainkan film untuk orang-orang yang mau berpikir mengenai energi yang selama ini menghidupi tiap kegiatan manusia. Yap, energi listrik jawabannya. Pada film ini kita akan mengetahui asal muasal energi listrik yaitu batubara dan apa yang terjadi di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Dari judul filmnya saja sudah membuat orang-orang awam menjadi tergelitik pikirannya, terlebih lagi dengan adegan mesra di sebuah kamar pribadi sebagai pembuka. Walaupun adegan tersebut “hanya” sebagai representasi dari kegiatan manusia kota yang menikmati hasil listrik dari batubara tanpa mengetahui proses kasarnya.
Film yang digarap oleh Watchdoc dalam program “Ekspedisi Indonesia Biru” ini memperlihatkan kasus-kasus perusakan lingkungan akibat PLTU yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Tidak hanya mengenai reklamasi tambang, kapal tongkang pun ikut terlibat dalam penyebab kerusakan lingkungan.
Film dokumenter keduabelas setelah “Asimetris” ini merekam berbagai dampak dari pertambangan batubara sebagai pasokan energi listrik di PLTU dan hal-hal yang terkait di sekitarnya. Seperti kerusakan lingkungan, masalah ekonomi warga disekitar tambang, kepemilikan perusahaan tambang, serta aksi-aksi penolakan PLTU barubara yang dinilai sudah sangat mencemari makhluk hidup disekitarnya.
Tidak sedikit kasus yang disuguhkan mengenai PLTU di Indonesia. Hal itu sepertinya masih kurang jika hanya menampilkan kasus perusakan lingkungan akibat reklamasi yang hanya janji belaka. Dampak polusi dari PLTU yang menyebabkan makhluk hidup, termasuk masyakarat sekitar pun dikemukakan karena telah menimbulkan banyak korban jiwa.
Contohnya seperti di Kalimantan Timur. Jika kalian berpikiran bahwa Borneo itu isinya hutan, maka pasti kalian jarang memperhatikan peta persebaran kekayaan alam di Indonesia. Di film ini, penampilan dari tanah Kalimantan ialah tambang batubara yang tersebar di mana-mana. Tanah sekitar pemukiman terlihat gersang karena irigasi pertanian tertutup dan malah menghasilkan lumpur. Lubang bekas galian tambang pun tidak direklamasi, melainkan dibiarkan menjadi kolam dan anak-anak dibiarkan bermain di sekitarnya. Tanpa peringatan atau sekiranya menutup daerah kolam agar tidak ada yang mendekati kawasan tersebut. Alhasil belasan anak tiap tahunnya menjadi korban jiwa akibat tenggelam di kolam itu.
Di Pulau Jawa, yang memang menjadi daerah yang memiliki pemasukan listrik terbesar, harus membayar hal itu dengan tanah dan terumbu karang yang rusak. Dari kapal tongkang yang hilir mudik di sekitar Kepulauan Karimunjawa, yang merusak banyak terumbu karang disekitar pulau. Hingga pembangunan PLTU baru di Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang meresahkan warga karena petak sawahnya diambil alih untuk pembangunan walaupun masih ada padi yang belum selesai digarap. Tidak hanya petani, nelayan pun ikut kena gusur karena PLTU Batang karena berlokasi di pesisir pantai. Niatnya, Presiden Jokowi ingin menjadikannya PLTU Batang itu terbesar di Asia Tenggara, tetapi rakyat kecil malah menjadi sengsara karena tanah garapan mata pencahariannya dikuras untuk pembangunan.
Tidak hanya masalah lingkungan dan ekonomi, masalah kesehatan pun menjadi dampak negatif dari PLTU. Tidak lain jika alasan utamanya karena polusi udara di pemukiman warga. Seorang bidan di Jepara yang sering menghadapi pasien dengan penyakit pernapasan pun mengakui bahwa hal ini dikarenakan polutan dari PLTU yang bertebaran di area pemukiman. Tetapi beliau tidak mampu dan tidak berani jika harus mengatakan demikian.
Di Palu, Sulawesi Tengah juga mengalami hal serupa. Belasan bahkan puluhan warga terkena penyakit pernapasan seperti asma, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), bronkitis kronis, hingga kanker paru-paru. Setengah dari warga yang terkena penyakit sudah meninggal dan sisanya mencoba bertahan hidup dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat.
Selain dampak negatif dari PLTU, film dokumenter ini juga menampilkan keterkaitan unsur politik dengan kepemilikan perusahaan batubara. Bahkan dalam penjabarannya yang ditampilkan menggunakan bagan, disebutkan pula pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilu 2019. Sebut saja Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjahitan yang mempunyai banyak tambang batubara sebagian perusahaannya rata-rata berada di Kalimantan. Lalu ada juga Sandiaga Uno yang mempunyai banyak perusahaan termasuk perusahaan batubara yang dijual ke Luhut Panjahitan. Anak dari Joko Widodo juga memiliki perusahaan yang berkerjasama dengan perusahaan batu bara milik Luhut Panjahitan. Tak disangka-sangka, ternyata ada keterlibatan purnawirawan TNI dalam pekerjaan di perusahaan batubara yang merupakan bawahan Prabowo Subianto.
Lebih-lebih lagi saat 10 perusahaan batu bara terbesar yang mendapat keuntungan akibat target Jokowi di tahun 2015 agar listrik 3500 megawatt bisa tersebar di seluruh Indonesia. Belum lagi perusahaan yang masuk ke dalam bursa efek mendapat sertifikat halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diketuai oleh Kyai Haji Ma’ruf Amin.
Selain penampakan kegelisahan, Watchdoc juga menampilkan aksi penolakan PLTU batubara sebagai dessert manis di film ini. Dari aksi kamisan tentang orang-orang yang meninggal akibat PLTU hingga aksi mencoret bagian kapal tongkang dengan tulisan “Coral Not Coal”. Di film ini terlihat banyaknya aksi yang dilakukan oleh organisasi Greenpeace di Bali, terutama ketika aksi pencoretan kapal tongkang di Kepulauan Karimunjawa.
Di sisi lain pula, ada beberapa warga Bali yang beralih pada tenaga surya. Hanya saja sampai sekarang cukup sulit untuk menyebarluaskan energi matahari kepada masyarakat karena ongkos lebih mahal dari energi batubara. Itulah mengapa PLTU makin berhamburan di Indonesia. Meskipun murah, tetap ada harga yang harus dibayar. Sayangnya harga itu hanya dibebankan pada masyarakat yang tidak tahu apa-apa sebelumnya.
Secara garis besar, film dokumenter “Sexy Killers” mampu mempresentasikan data-data dan infomasi kepada penonton mengenai PLTU secara luwes. Sehingga film ini tidak terlalu membosankan di mata penonton. Hanya saja, pesan yang disampaikan hanya bersifat searah dan to the point, masih banyak kekurangan dalam angle pengambilan gambar. Tapi hal itu juga yang menambah poin originality dalam proses pembuatannya. []
Redaktur: Zaki Annasyath