APATIS Gelar Aksi Tuntut Pemerintah Wujudkan Pendidikan Gratis

78

Oleh: Reighina Faridah Solihah dan Savitri Rahmadhanti

Jakarta, Isolapos.com—Kamis (11/07), Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) menggelar aksi di depan Gedung Mahkamah Agung (MA). Aksi ini bertujuan menuntut pemerintah dan negara agar segera mewujudkan pendidikan gratis. Aksi digelar sebagai imbas dari lambatnya proses registrasi gugatan permohonan uji materi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 2 Tahun 2024 yang sebelumnya telah diajukan ke MA.

Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 berisi tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Permendikbudristek tersebut di antaranya mengatur penentuan tarif Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) di PTN. 

Sekar, salah satu perwakilan APATIS, mengatakan bahwa APATIS dalam risetnya dengan tim advokasi pendidikan nasional menemukan ketidaksesuaian antara peraturan yang ditetapkan dengan norma dan hukum yang mendasar. Hal tersebut menjadi dasar APATIS untuk mengajukan gugatan uji materi ke MA terkait Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 tersebut. 

Namun,  proses pengajuan gugatan mengalami hambatan. Nomor registrasi yang diajukan APATIS tidak kunjung diproses. Sebagaimana yang disebutkan oleh Sekar, nomor registrasi baru dikeluarkan, padahal gugatan sudah diajukan sejak (13/06) lalu.

“Aliansi Pendidikan Gratis mengirimkan nomor register itu tanggal 13 Juni kepada Mahkamah Agung yang seharusnya diproses dalam waktu 14 hari, tapi sayangnya ternyata nomor register dari permohonan yang telah kita lakukan itu baru datang kemarin. Itu udah lebih dari tenggat 14 hari.” ujar Sekar.

Salah satu tuntutan yang dilayangkan APATIS, yaitu berkaitan dengan pinjaman dana pendidikan.  Obi Mahendra Ghandi, perwakilan lainnya dari APATIS, menyinggung kebijakan student loan yang menurutnya bukan merupakan solusi tepat untuk masalah UKT. Ia mengatakan kebijakan tersebut pernah diterapkan di Amerika dan hasilnya para mahasiswa harus dibebani tunggakan utang yang sangat besar setelah menyelesaikan studinya, tetapi di sisi lain tidak ada kepastian pekerjaan untuk para mahasiswa tersebut ketika lulus. 

Obi juga menawarkan solusi lain agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat dialokasikan lebih banyak untuk hak-hak dasar masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan.

Pengalokasian dana untuk kampus pun, menurutnya, perlu diupayakan secara merata agar tidak terjadi kesenjangan kampus, terutama terkait pengalokasian dana untuk sekolah-sekolah kedinasan yang lebih besar daripada PTN. Obi menyebutkan bahwa menaikkan anggaran untuk sekolah kedinasan adalah sebuah praktik yang salah. 

“Karena tentu sekolah-sekolah kedinasan adalah sekolah-sekolah yang dicetak untuk bagaimana untuk bekerja sebagai aparatur negara, untuk alat-alat negara, yang akhirnya nggak bisa diakses oleh setiap orang. Toh, bisa diakses oleh setiap orang yang akhirnya banyak banget praktik-praktik yang kemudian di dalamnya bermasalah sampai hari ini sudah menjadi rahasia umum,” kata Obi. 

Jika ke depannya tuntutan yang diajukan masih belum diproses oleh MA, Obi menegaskan akan terus memperkuat konsolidasi di tiap-tiap daerah di Indonesia untuk membuat gerakan yang jauh lebih besar. “Karena seperti aku bilang, ini hanya awal dari pemuda, mahasiswa, sampai kemudian Permendikbud ini tidak dicabut, kita akan aksi di tiap-tiap daerah yang lebih besar. Bahkan, tersentral di nasional,” pungkas Obi.

Berikut 10 tuntutan yang dilayangkan APATIS:

  1. Cabut Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi.
  2. Kembalikan rumus Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah (BOPTN dan BPPTNBH), yang wajib mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, ortu mahasiswa atau pihak lain yang membiayainya.
  3. Tingkatkan sekurang-kurangnya dua kali lipat anggaran BOPTN dan BPPTNBH, lalu alokasikan untuk memberi subsidi tarif UKT mahasiswa, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
  4. Wajibkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menerapkan UKT golongan 1 (nol rupiah) dan UKT golongan 2 (500.000 s/d 1.000.000 rupiah) pada mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi sekurang-kurangnya 40% dari seluruh populasi mahasiswa di suatu PTN, di luar mandat program KIP-K dan beasiswa.
  5. Kembalikan pungutan tunggal dalam sistem UKT, dengan melarang penerapan IPI di kampus-kampus dan termasuk segala pungutan di luar UKT (seperti pungutan KKN, KKL, praktikum, yudisium, wisuda, dsb).
  6. Terapkan kebijakan tarif UKT regresif (tarif yang mengalami penurunan nominal secara periodik) sekurang-kurangnya 10% setiap tahun untuk diberlakukan ke semua PTN, seiring dengan penambahan BOPTN ke semua PTN.
  7. Terapkan indikator penempatan mahasiswa dalam golongan UKT secara nasional, dengan mempertimbangkan aspek-aspek sekurang-kurangnya kemampuan ekonomi dan jumlah tanggungan keluarga/wali mahasiswa. Indikator tersebut harus diumumkan secara transparan kepada publik.
  8. Batalkan seluruh kerjasama pinjaman dana pendidikan (student loan) antara perusahaan-perusahaan lembaga keuangan (perbankan maupun perusahaan pinjaman online) dengan perguruan tinggi.
  9. Anggarkan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Swasta (BOPTS) pada semua Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang bersifat nirlaba, yang fokus dialokasikan untuk penurunan tarif uang kuliah mahasiswa PTS yang kurang mampu secara ekonomi.
  10. Wajibkan perguruan tinggi untuk melibatkan civitas akademika (mahasiswa, dosen, dan pekerja kampus) secara terbuka dalam setiap perencanaan, perumusan, dan pengambilan kebijakan perguruan tinggi yang berdampak pada civitas akademika. 

Sesudah aksi, pihak APATIS mendapat kesempatan melakukan audiensi. Namun, APATIS hanya bertemu dengan biro humas MA, bukan kepaniteraan MA.  Setidaknya. gugatan yang diajukan APATIS sudah teregister dan terbit nomor register perkara 37 P/HUM/2024. 

Setelah mendapat nomor register tersebut, berbagai pihak dapat mengirimkan amicus curiae ke MA untuk mencabut Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024. “Harapannya adalah semoga di minggu ini kita bisa sama-sama serentak melakukan aksi untuk mengirimkan amicus curiae.” ujar salah satu pemohon. []

Redaktur: Amelia Wulandari

Comments

comments