Oleh: Wildan Maulana*
Diberikan tanggung jawab yang besar seperti mengelola dan mengurus segala macam urusan kenegaraan di tingkat tertinggi tentu diperlukan seseorang yang memiliki kemampuan yang mumpuni. Hal tersebut bukan tanpa alasan karena menjadi suatu pemegang kekuasaan tinggi artinya mempunyai kewenangan untuk menentukan arah bangsa dan negara yang pada implementasinya akan memengaruhi kehidupan masyarakat secara luas dan berarti hal itu juga akan menentukan bagaimana nasib banyak orang yang ada di dalam negara tersebut. Maka tidak berlebihan rasanya ketika kita menuntut seseorang yang mendekati kata sempurna untuk memegang kendali atas tanggung jawab besar tersebut.
Kita mungkin mengharapkan sosok yang memiliki moralitas tinggi, kecerdasan luar biasa, kecakapan secara politik, menjunjung tinggi keadilan dan hak-hak asasi manusia untuk bisa menjadi pemimpin dan bisa memberikan kontribusi terbaik untuk membuat kehidupan di berbagai elemen masyarakat menjadi lebih sejahtera. Singkatnya, diperlukan orang-orang terbaik di bidangnya masing-masing untuk diberikan kesempatan untuk memimpin berbagai sektor di suatu negara yang di dalamnya terjadi berbagai macam polemik dan dinamika yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Pemimpin di bidang kesehatan diharapkan dipegang oleh seorang yang cakap dalam menentukan akar permasalahan kesehatan yang biasa dialami oleh masyarakat, pemimpin di bidang ekonomi diharapkan dipegang oleh seorang yang andal dalam merumuskan berbagai kebijakan fiskal yang bisa mengurangi angka ketimpangan ekonomi di kalangan masyarakat, dan lain-lain.
Bisa dikatakan jika posisi strategis tersebut diisi oleh mereka yang memang mengerti dan paham mengenai akar suatu permasalahan yang tengah terjadi dan dibarengi oleh kecakapan individu yang kompeten. Lalu bagaimana jadinya jika mereka yang tidak memiliki kompetensi, tidak mengerti akar permasalahan yang tengah dialami suatu masyarakat, diberikan wewenang tinggi semacam itu? Tentu hal tersebut berpotensi membawa berbagai macam bencana sosial di masyarakat karena tanggung jawab besar dipegang oleh mereka yang sebenarnya tidak layak untuk mengemban tanggung jawab tersebut, kondisi demikian disebut sebagai kakistokrasi.
Kakistokrasi, menurut Bowler (1985) adalah suatu kondisi di mana pemerintahan yang tengah berjalan di suatu negara berada dalam kendali orang-orang paling buruk, paling tidak berkompeten bahkan paling tidak bermoral. Istilah ini sudah lama muncul sejak abad ke-17, tapi kondisi seperti itu sebenarnya sudah terjadi bahkan jauh sebelum istilah itu muncul yang menggambarkan kekuasaan strategis jatuh ke tangan orang-orang yang tidak layak. Dalam kondisi demikian, kasarnya, suatu negeri dipimpin oleh para orang jahat. Jika membayangkan demikian rasanya begitu miris karena bagaimana mungkin tanggung jawab sebesar itu harus dipegang oleh mereka yang berpotensi melakukan pelanggaran birokrasi yang immoral, seperti korupsi, suap dan berbagai tindakan tidak beradab lainnya.
Dalam negara yang terkurung dalam perangkap pemerintah kakistokrasi, masyarakat yang tinggal di dalamnya cenderung berada dalam kondisi tidak sejahtera, terjebak dalam jerat kemiskinan, susah untuk bisa menaikan taraf hidup karena mereka tidak diakomodir untuk bisa meraih penghidupan yang lebih baik oleh pemerintahnya. Sebaliknya, kondisi di mana suatu pemerintahan negara berada dalam kendali orang-orang cerdas, bermoral dan paling kompeten di bidangnya disebut dengan meritokrasi. Dalam kondisi pemerintahan seperti ini, mereka yang memegang kekuasaan tahu betul masalah seperti apa yang dihadapi oleh masyarakatnya, bagaimana merancang suatu kebijakan untuk mengatasi permasalah tersebut karena pengetahuan yang dimilikinya maka dia mampu menjawab berbagai polemik yang diderita oleh masyarakat yang pada outputnya, beban di masyarakat setidaknya bisa berkurang dengan kehadiran sosok pemimpin yang memang kompeten. Lalu bagaimana kondisi pemerintahan di negeri kita Indonesia? Apa negara kita berada dalam kendali orang-orang terbaik atau terburuk?
Rasanya cukup menyayat hati jika harus berkata bahwa di tanah air kita ini sekarang tengah berada dalam kondisi kakistokrasi. Tentu pernyataan ini bukan semata-mata berasal dari ketidaksukaan secara personal kepada pemimpin yang saat ini tengah berkuasa, tetapi lebih melihat kepada bagaimana kondisi saat ini yang bisa dibilang banyak sekali ketidak kompetenan terjadi di sektor eksekutif pemerintahan.
Kita ambil contoh saja yang berkaitan dengan salah satu program ambisius presiden yang saat ini tengah menjabat, yaitu program MBG (Makan Bergizi Gratis) yang digagas oleh presiden ketika masih dalam masa kampanye presiden, program ini bertujuan untuk memastikan gizi dari anak-anak sekolah di Indonesia bisa terpenuhi mengingat masih tingginya angka kekurangan gizi di Indonesia. Program tersebut sekilas mempunyai tujuan yang begitu mulia dengan berusaha memberikan anak-anak tersebut asupan makanan bergizi yang diberikan secara cuma-cuma kepada para siswa, akan tetapi jika kita nalar kembali, program ini jelas membutuhkan pembiayaan yang sangat besar dan bisa mencapai angka triliunan rupiah agar bisa berjalan dengan optimal. Penerapan di lapangannya program ini juga menemui serangkaian permasalahan pelik yang semakin menunjukkan kalau program ini tidak dikaji dengan baik sebelum diberlakukan, mulai dari ketimpangan porsi antar sekolah yang mendapatkan bantuan program tersebut, rasa dari makanan yang dinilai aneh oleh para siswa penerima program tersebut, bahkan kasus paling parah adalah program ini akhirnya menyebabkan keracunan di beberapa tempat.
Selain itu, pembiayaan yang besar akhirnya membuat pemerintah memberlakukan kebijakan realokasi anggaran agar program ini bisa tetap berjalan dengan melakukan efisiensi di beberapa kementerian, bahkan termasuk kementerian pendidikan yang pada konsekuensinya menyebabkan penyelenggaraan pendidikan terganggu dan berpotensi membuat biaya pendidikan khususnya pendidikan tinggi melambung tinggi yang bisa berakibat semakin banyaknya masyarakat tidak bisa mengakses pendidikan tinggi, padahal sekarang saja angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia masih sedikit dengan hanya sekitar 6% masyarakat. Hal ini menjadi indikator bahwa pemerintah masih belum mampu mengidentifikasi kebutuhan yang lebih genting, lebih diperlukan oleh masyarakat Indonesia saat ini yaitu pendidikan tinggi yang bisa diakses oleh semua golongan masyarakat tanpa membedakan status sosial atau ekonominya.
Hal yang menjadi indikator lain bahwa saat ini Indonesia berada dalam kendali kakistokrasi saat ini adalah dari sikap dan perilaku dari pemimpin tertinggi Indonesia saat ini, yaitu Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan pemerintah saat ini banyak sekali menerima penentangan dari berbagai macam kalangan, entah itu masyarakat sipil secara umum, akademisi, pakar dan aktivis-aktivis lainnya. Penentangan terhadap suatu kebijakan menjadi suatu yang lumrah dan menjadi warna tersendiri dalam sebuah negara yang menjadikan demokrasi sebagai landasan dalam bernegara. Suatu pertentangan atau kritik perlu ditanggapi secara bijak karena kritikan tersebut juga didasari rasa kekhawatiran akan dampak buruk yang mungkin ditimbulkan dari kebijakan tersebut, akan tetapi presiden kita saat ini menanggapi kritik-kritik yang muncul tersebut dengan cara yang sebenarnya tidak etis untuk dilakukan, memberikan tanggapan terhadap kritik-kritik yang muncul dengan sepenggal kata “ndasmu” dan cenderung meremehkan pihak-pihak yang menentang kebijakannya memberikan kesan anti terhadap kritikan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang selama ini dianut.
Sebenarnya masih cukup banyak contoh bentuk dari kakistokrasi yang selama ini masih mengakar cukup kuat di lembaga-lembaga tinggi negara dan tentu ini menjadi ciri bahwa evaluasi perlu dilakukan sehingga negara ini bisa keluar dari kekangan kakistokrasi. Salah satu bentuk negara yang bisa dibilang terbebas dari genggaman kakistokrasi adalah Jepang, menurut World Bank negara ini pernah dinyatakan sebagai salah satu negara yang memiliki efektifitas pemerintahan, stabilitas politik, dan supremasi hukum terbaik di dunia. Hal-hal tersebut bisa terjadi ketika posisi-posisi strategis diisi oleh individu-individu yang kompeten dan hasilnya bisa menciptakan kebijakan yang mampu memberikan penghidupan yang lebih baik ke masyarakatnya.
Apa Indonesia mampu untuk lepas dari genggaman kakistokrasi? Tentu bisa, tetapi hal ini juga perlu dibarengi dengan kesadaran masyarakat untuk ke depannya lebih kritis dalam menentukan pemimpin mereka nanti, pilihlah pemimpin yang memiliki rekam jejak mengesankan, riwayat pendidikan yang baik, serta kecerdasan emosional yang baik sebagai modal untuk ke depannya mampu menanggapi segala kritikan yang datang dengan bijaksana. Lalu sekarang tetaplah awasi mereka yang tengah berkuasa dengan terus menyuarakan sesuatu yang dirasa membawa negatif untuk masyarakat secara luas, tetaplah menyuarakan pendapat dan kritik sekalipun mendapatkan respons yang kurang baik karena setidaknya dengan hal itu kita tetap menjaga iklim demokrasi kita tetap berjalan dan mencegah kondisi kakistokrasi ini semakin memburuk ke depannya.
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan
*Penulis merupakan Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi angkatan 2023 FPIPS UPI.