Pendidikan Seks Bukan Hal Tabu
Laporan Analisis oleh Tim Redaksi Isolapos.com
Bumi Siliwangi, isolapos.com—“Kekerasan seksual” menjadi isu langganan yang menghiasi pemberitaan media beberapa tahun ke belakang ini. Seolah-olah pembahasan mengenai isu ini seperti tiada habisnya menjadi topik perbincangan. Para pelaku kekerasan seksual di Indonesia bagaikan predator yang mengincar korbannya dengan gencar. Entah itu siang entah itu malam, entah itu perempuan ataupun bocah laki-laki, semuanya tidak luput menjadi target kekerasan seksual.
Lebih parahnya lagi kini kekerasan seksual telah menjalar ke segala sektor. Pendidikan yang seharusnya dijadikan garda terdepan dalam menghalau kasus ini, seolah-olah lumpuh dan tidak efektif. Bagaimana tidak, pengetahuan mengenai kekerasan seksual di Indonesia tergolong rendah; dijadikan celah bagi predator seksual untuk mejalankan aksinya. Mungkin masih hangat mengenai isu ujian akhir kelas 5 SD yang memiliki muatan kekerasan seksual yang sensitif. Ataupun pemberitaan tentang seorang guru mengaji yang mencabuli anak didiknya. Lalu mau ditaruh dimana wajah pendidikan Indonesia jika kejahatan seksual telah merasuk ke dalamnya?
Keresahan itulah yang menggiring Bincang Isola untuk membawa problema ini ke depan umum untuk didiskusikan secara kritis dan digali secara mendalam pada Jumat malam (23/12). Acara yang dipelopori oleh Unit Pers Mahasiswa (UPM) UPI yang dihelat di Teater Terbuka Museum Pendidikan Nasional ini mendatangkan narasumber-narasumber kredibel dan komprehensif mengenai isu kekerasan seksual yang diantaranya adalah; Yusi Riksa Yustiana dari LPA Jabar, Sri Maslihah dari Departemen Psikologi UPI, Riyanti dari Dinas Pendidikan, Hary Santoni dari Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan (GMPP), M. Djunaedi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Endang Yuli Purwati, pemerhati kekerasan seksual dari SMAN 4 Bandung.
Kekerasan Seksual Bukan Hanya Perkosaan
Masyarakat sering mengartikan kekerasan seksual adalah segala bentuk penganiayaan terhadap lawan jenis atau sama jenis lewat pemaksaan hubungan kelamin dan eksploitasi tubuh. Namun menurut M. Djunaedi kekerasan seksual tidak dapat diharfiahkan secara terminologis sebagai kekerasan fisik saja.
Djunaedi menyampaikan secara detil mengenai segala bentuk kekerasan seksual dan prosesnya. Beberapa kasus seperti perkosaan dan pencabulan adalah kategori yang paling kentara, namun menurutnya masyarakat juga harus mengetahui bahwa kekerasan seksual dapat juga berupa kalimat hinaan hingga ajakan pemaksaan berhubungan seks. “Bisa jugha berupa eksloitasi, penjualan manusia, perbudakan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi,” tambahnya.
Beberapa kasus kekerasan seksual juga dapat merusak kinerja organ dan juga psikologi dari korban. Dipandang dari bingkai kedokteran, pemaksaan kekerasan seksual adalah salah satu faktor penyebaran penyakit menular seksual. Adapun ketika proses kejadiannya terjadi pemaksaan dan penganiayaan maka akan menimbulkan kerusakan organ kelamin ataupun organ lain yang digunakan oleh predator seksual “Pernah ada kasus bakteri yang ditemukan ditenggorokan yaitu bakteri gonnorhea,” tuturnya.
Sementara itu, kekerasan seksual juga menyasar psikologis korban. Fenomena yang sering ditemukan adalah kasus trauma berlebihan, bahkan pada ada juga pola yang terjadi ketika korban pada akhirnya juga menjadi oknum kekerasan seksual karena dasar balas dendam atau terlanjur ketagihan karena mendapatkan kekerasan seksual yang tidak sekali.
Sri Maslihah dari Departemen Psikologi UPI, lebih lanjut menjelaskan ketika kekerasan tersebut terjadi pada anak, dampak psikologisnya pun akan semakin fatal. Misalnya dengan perubahan perilaku (regresi) ataupun ketakutan dan depresi. Jangka pendeknya korban akan stress dan lama kelamaan korban akan merasa jijik dan membenci gender tertentu dan pada akhirnya membenci dirinya sendiri. Sehingga kasus ini memerlukan penanganan cepat dengan pendampingan kepada korban “Dampak jangka panjang dapat memungkinkan kembalinya trauma si korban jika tidak sembuh total,” imbuhnya.
Pelaku Bisa Siapapun dan Dimanapun
Menurut data yang diperoleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat, sampai Desember 2016 sudah terjadi 136 kasus kekerasan seksual. Banjar memecahkan rekor di tahun 2016 dengan kasus yang tejadi pada 145 anak. “Bahkan hari ini (Jumat (23/12), –red) sudah ada 8 anak di Kota Bandung dan 8 (dari, -red) Kabupaten Bandung yang telah melaporkan,” katanya.
Data tersebut juga didukung data dari Kemdikbud yang berbicara bahwa 84% orang pernah mengalami kekerasaran, 45% korbannya merupakan pria, 40% di rentang 13-15 pernah mengalami kekerasan oleh pihak sebaya, 74% pernah melakukan kekerasan, 50% bullying. Sementara itu institusi pendidikan seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat menjadi tempat yang sering terjadi kasus
Membahas data mencengangkan tersebut, Yusi Riksa menambahkan bahwa lingkungan masyarakat merupakan tempat yang rawan terjadi kekerasan seksual. Korbannya pun mayoritas tergolong anak-anak atau berusia muda. Modus yang dilakukan pelaku biasanya mengiming-imingi anak dengan hadiah atau uang supaya mau diajak bersetubuh atau bentuk eksploitasi lainnya.
Menurutnya bentuk literasi yang kurang tepat menjadi faktor utama terjadinya fenomena ini. Banyak korban bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sedang mengalami pelecehan seksual atau kekerasan seksual. “Dua bulan kemarin saya menangani dua anak yang tidak mengalami kondisi pemerkosaan, tetapi diminta oleh temannya yang bertemu di Facebook untuk foto telanjang,” tuturnya.
Diakibatkan literasi pendidikan seks yang kurang dan juga tidak diimbangi dengan terpaan negatif media, kini anak-anak pun berpotensi untuk menjadi pelaku. Misalnya saja anak-anak yang tidak diawasi penggunaan medianya dapat mengakses konten porno dengan mudah. “Anak-anak SD kelas 4 di kota bandung berhubungan seksual di sekolah karena melihat fillm porno,” jelasnya.
Pendidikan Seks Bukan Hal Tabu
Salah satu masyarakat pemerhati kekerasan seksual sekaligus guru SMAN 4 Bandung, Endang Yuli Purwati, membeberkan pengalamannya menangani beberapa kasus kekerasan seksual. Endang mengaku sering mendapatkan kasus anak-anak di bawah umur yang terlanjur terjebak dalam pergaulan bebas sehingga hamil diluar nikah padahal beberapa korban mempunyai latar belakang sosial tinggi di masyarakat seperti anak pejabat. Namun hal itu tidak menjadi acuan bahwa anak mendapatkan pendidikan yang tepat pula.
Adapun dia menceritakan kisah salah satu muridnya yang mengaku menyukai sesama jenis. Awalnya anak tersebut mengikuti piknik ke Jogja di SMP-nya, pada saat itu dalam keadaan terpaksa dia harus menggunakan kamar mandi bersamaan dengan temannya yang lain karena kamar mandi hotel yang terbatas. Namun secara tidak sengaja, dia memergoki teman laki-lakinya saling memegang kemaluan dan diancam akan “dikerjai” jika melaporkannya pada siapapun. Namun beberapa lama kemudian, dia pun mengalami hal yang sama dan akhirnya mendapatkan sensasi kenikmatan dan pada akhirnya itu yang menyebabkan penyimpangan orientasi seksual anak tersebut.
Untuk menangani hal tersebut, Endang berpendapat bahwa faktor yang paling mendasar adalah pendidikan seksual yang diberikan oleh keluarga, namun Ia menyayangkan bahwa pendidikan seks masih dianggap tabu oleh masyarakat.
Pendapat yang sama juga dilayangkan Djunaedi dan Sri Maslihah yang mengatakan bahwa dari sisi psikologis dan kedokteran, pendidikan seks merupakan hal yang penting dan perlu untuk disampaikan. Pendidikan seks dapat berupa pengenalan tubuh dan tidak ada batasan umur untuk menyampaikannya. “Siapa yang boleh menyentuh bagian tubuh, kapan (orangtua, –red) boleh memandikan harus lebih ditekankan, karena pendidikan seks bukan hal yang tabu,” ujar Sri.
Menanggapi hal tersebut, Riyanti dari Dinas Pendidikan Kota Bandung menjelaskan bahwa kekerasan seksual di dunia pendidikan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 82 Tahun 2015 yang mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan. Hal itu akan diimplentasikan dengan membentuk tim penanggulangan, memantau, memberi hak siswa perlindungan hokum dan juga memasang papan sosialisasi mengenai tindak pidana di sekolah.
Sekalipun ada aturan tersebut, Riyanti meminta agar masyarakat turut andil dalam membantu penanggulangannya dengan misal melakukan pelaporan yang cepat kepada pihak berwajib dan juga guru atau orangtua siswa.
Riyanti melanjutkan walaupun sampai sekarang masih belum ada kurikulum pendidikan seks, ke depannya Dinas Pendidikan Kota Bandung dakan menyisipkan program yang mengembangkan ke arah pendidikan seks.[]