Belajar Menuntut Hak Mahasiswa Melalui Sekolah Advokasi

124

Oleh: Nazwa Faridatus dan Reighina Faridah Solihah*

*Reporter Magang Isolapos.com

Bumi Siliwangi, Isolapos.comUnit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyelenggarakan Sekolah Advokasi pada Kamis (18/04) di Auditorium PKM Lantai 2, Gedung PKM, UPI. Kegiatan ini diadakan sebagai bagian dari rutinitas dalam memantau kebijakan kampus. Tema yang diusung pada Sekolah Advokasi 2024 ini, yaitu “Berjuang Bersama Menuntut Hak Mahasiswa”.

Terdapat tiga pembicara yang mengisi pematerian, yaitu M. Rafi Saiful Islam dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Rayhan Shaquille Kusuma, dan Rusli Karim Gunawan dari UKSK UPI. 

Dalam pemaparan pertama, Rafi menjelaskan bahwa advokasi merupakan suatu upaya terstruktur dan terorganisir yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Advokasi dilakukan sebagai respon terhadap masalah yang ada, baik itu masalah yang berkaitan langsung maupun tidak langsung. Hal ini mencakup hak-hak di lingkungan kampus, di masyarakat, dan sebagainya. 

“Ada hak yang harus diperjuangkan, ada hak orang lain yang harus diperjuangkan, ada hak masyarakat yang harus diperjuangkan, ada hak masyarakat tertindas yang harus diperjuangkan, ya, itu kira-kira alasan kita melakukan advokasi,” tuturnya.

Rafi juga menyebutkan terdapat tiga aspek yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan advokasi, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. “Ini (tiga aspek tersebut-Red) juga bisa menjadi alat untuk melakukan advokasi,” ujar Rafi.

Menutup pembicaraannya, Rafi menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan advokasi, termasuk pembungkaman, intimidasi, kriminalisasi, serangan siber, gugatan, dan skorsing atau drop out.

Melihat Kondisi Objektif UPI

Rayhan menyampaikan penetapan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) telah diatur dalam Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 pasal 7 ayat (5) yang mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan pihak lain yang membiayai mahasiswa. Kemudian, dipertegas oleh ayat (6) bahwa penetapan kemampuan ekonomi tersebut dilakukan berdasarkan pendapatan dan jumlah tanggungan keluarga dari mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa. “Nah, ini yang harus dijadikan pegangan untuk upaya penegakan,” tegas Rayhan. 

Di sisi lain, Rayhan juga menyebutkan bahwa di luar semua prinsip UKT, UPI mempunyai mekanisme perhitungan sendiri yang tercantum dalam peraturan Rektor UPI No. 4449/UN40/HK/2019 yang menjelaskan bahwa UKT mahasiswa dihitung berdasarkan kemampuan ekonomi orang tua/wali dan jumlah tanggungan. “Tapi permasalahan yang terjadi, sering kali kita melihat kemampuan ekonomi dari mahasiswa orang tua atau pihak yang membiayai itu tidak sesuai dengan penetapan golongan UKT yang ada,” ucapnya.

Rayhan kemudian memaparkan, sering kali surat edaran terkait penangguhan keluar di akhir pembayaran UKT. “Yang menjadi keresahan juga ada ketentuan yang berlaku jika ingin mengajukan penangguhan cicilan. Kalau misalkan nominal UKT kurang dari 2 juta, cicilan pertamanya 1 juta …. Mahasiswa yang ingin mengikuti penangguhan cicilan, tapi tidak ada untuk membayar cicilan pertama juga menjadi permasalahan,” jelasnya.

Adapun pembicara lainnya, Rusli, menekankan setiap tahunnya biaya pendidikan di UPI semakin naik. “Yang membayar golongan belum tentu sama dengan golongan adik tingkat, yang naik itu dari mahasiswa barunya,” ucap Rusli. Meskipun tidak semuanya seperti itu, tetapi menurut Rusli setiap tahun pasti biaya UKT tersebut semakin naik.

Rusli juga menambahkan, yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah belum adanya data terkait Biaya Kuliah Tunggal (BKT). “Sulit untuk bisa membuktikan kesesuaian UKT. Kami pernah menanyakan juga kepada kampus, katanya BKT-nya belum dibuat. Itu kan suatu logika yang aneh, gitu, padahal penetapan UKT tuh dari BKT, tapi mereka bilang belum dibuat, tapi saya rasa kampus tuh bukan belum dibuat. Ada, tapi gak mau dikasih kepada kita. Kecurigaan kami, ya, kalau belum dibuat gimana cara dia (kampus-Red) menentukan UKT?” pungkas Rusli.

Permasalahan lain yang disinggung oleh Rusli adalah fasilitas yang berbayar. Dia juga menanyakan mengenai penggunaan biaya pendidikan yang seharusnya sudah mencakup biaya operasional, tetapi mahasiswa UPI diharuskan membayar tambahan untuk menggunakan gedung dan fasilitas lainnya.

Rangkaian kegiatan terakhir ialah simulasi penanganan advokasi dengan mahasiswa dan birokrat. Simulasi dilakukan sebagai gambaran kejadian saat ini yang dialami para mahasiswa dalam menuntut haknya.

Salah satu peserta yang mengikuti Sekolah Advokasi UKSK 2024, Widi Manda dari Prodi Pendidikan Sejarah, memberi kesan pesan yang positif untuk kegiatan ini. “Acara nya cukup seru, terus pematerian nya menarik. dan disini kita mau praktek advokasi,” ujar Widi. Ia juga berharap semakin banyak orang yang mengedukasi betapa pentingnya advokasi, sekaligus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-sehari terutama di lingkup universitas. 

Redaktur : Amelia Wulandari

Comments

comments