Mak Onyah

62
Ilustrasi

Cerpen Dian Hartati*

Kereta api terus melaju, tak berhenti. Apalagi di stasiun-stasiun kecil. Terus saja melurus. Aku hanya duduk termangu-mangu. Menikmati taburan cahaya dari luar gerbong. Tidak lagi berkonsentrasi pada buku di pangkuan. Aku melihat bulan menangis. Matahari menangis. Dan bintang meredup. Ada tangga menuju langit. Seseorang entah memancing apa. Dia berdiri di lantai rumput tertinggi di muka bumi. Dia memancing kematian rupanya? Tiba-tiba saja kalimat itu menyergap ingatanku. Kalimat-kalimat dalam buku yang kubaca.

Delapan belas tahun aku meninggalkan kota kelahiran. Segala sesuatu berubah. Jalanan. Gedung-gedung. Pemakaman. Tidak aku temui lagi pohon-pohon rindang menuju rumah. Semuanya sudah beraspal. Aduh… kenapa kalimat-kalimat dalam buku itu masih saja terngiang. Ada apa gerangan? Ingin rasanya segera sampai rumah. Memeluk mama dengan hangat dan melihat bagaimana perubahan yang terjadi di rumah.

Tak sampai-sampai. Apakah jarak semakin memanjang. Rumahku tidak berpindah sejak kutinggalkan. Rumah orangtuaku lebih tepatnya. Tapi mengapa, setiap yang kulalui menciptakan masa lalu.

***

Aku berlari-lari kecil. Ugh! Sudah penuh. Padahal, begitu keluar dari gerbang sekolah aku sudah mengkhayalkannya. Lotek segar dengan taburan kerupuk renyah. Kriuk-kriuk-kriuk. Dari jauh sudah terlihat warung itu dikerubuti pembeli. Kebanyakan seusia ibuku. Seperti biasanya, mereka antre sambil membicarakan berbagai hal.

Setiap hari aku selalu melewati warung ini. Mak Onyah nama pemiliknya. Dia seorang perempuan yang begitu sederhana. Bersahaja kata ibu. Aku menganggapnya seperti nenekku. Sebenarnya, nenekku ada di Jawa Tengah sana. Aku sangat senang jika melewati warung yang letaknya di jalan yang menanjak ini. Jika kelelahan, aku pasti meminta pada ibu untuk beristirahat di warung. Memilih jajanan atau hanya meminta minum.

Walaupun penuh, kali ini aku akan bersabar menunggu giliran. Mumpung ibu tidak menjemput. Aku mencoba menerobos. Mendesak. Yups! Akhirnya bisa duduk juga walaupun ada beberapa ibu yang protes. Aku senyum-senyum saja.

“Euleh-eulehtos uih, Neng Ati?” Mak Onyah melihat kehadiranku yang sudah duduk manis di antara pembeli.

“Iya, sudah Mak….” Aku menjawab singkat sambil melihat-lihat jajanan di meja warung. Ada banyak jenis gorengan: bala-bala, pisang, tempe, ubi, combro, dan ada juga gorengan tepung yang ditaburi kedelai. Apa, ya, namanya, aku lupa. Ada juga kacang bulu yang masih segar-segar. Hm. Terus itu apa, ya, yang merah-merah? Oh, jambu air yang diuntai dengan bilah bambu. Uih, segarnya….

“Sok atuh, Neng, mun hoyong mah candak hiji….” Barangkali Mak Onyah mendapati mataku yang berbinar-binar melihat semua makanan yang ada di meja jualannya.

“Enggak, ah, Mak. Ati mau lotek aja,” aku melihat ke arah rebusan sayur mayur.

“Lamun kitu, Mak ngaladangan ibu-ibu heulanya?”

Aku mengangguk. Menurut ibuku, Mak Onyah ini penjual lotek paling enak di sekitar rumah. Sebenarnya ada beberapa orang yang menjual lotek. Jenisnya pun ada yang matang dan ada yang mentah. Aku sendiri lebih menyukai lotek matang, terlebih lagi buatan Mak Onyah. Selain itu, kebersihannya terjamin. Enggak bakalan bikin aku sakit perut.

Aku selalu memperhatikan ketika Mak Onyah meracik lotek. Sebenarnya sudah berkali-kali aku melihat bagaimana uletnya tangan Mak Onyah. Menghaluskan kacang goreng. Mencampurkannya dengan kangkung, tauge, kacang panjang, kol, dan sayuran lainnya yang sudah direbus. Sering kali, aku bertanya pada ibu: Apa rahasia lotek Mak Onyah, sampai-sampai aku selalu ketagihan? Barangkali, pembeli yang lain juga ketagihan. Buktinya warung ini selalu penuh.

Aku selalu kecewa ketika ibu tidak dapat menjawab pertanyaanku. Tapi, kini aku tahu rahasia lotek Mak Onyah. Ada pada kentang rebus yang diulek bersama kacang goreng. Benar! Itu rahasianya. Akan kuberitahu ibu, agar dapat membuat lotek seenak buatan Mak Onyah.

***

Sudah dua minggu aku di sini. Betapa sedihnya tidak menemukan warung di depan jalan itu. Berubah. Jadi rumah permanen. Padahal dulu, dindingnya hanya bilik-bilik. Sewaktu lewat di depan rumah itu, terasa begitu sepi. Padahal aku mencari wajah yang dulu. Ibu-ibu berkerumun. Angin sepoi. Aroma kacang goreng yang khas.

Makan siang. Sajian hari raya yang istimewa. Lotek. Jadi teringat lotek Mak Onyah. Tak apa. Ibuku sudah pandai membuat lotek yang likat. Sesuai lidah masa kecilku. Aku melihat bulan menangis. Matahari menangis. Dan bintang meredup. Ada tangga menuju langit. Seseorang entah memancing apa. Dia berdiri di lantai rumput tertinggi di muka bumi. Dia memancing kematian rupanya? Lagi-lagi kalimat itu jelas terngiang.

Benar-benar ajaib. Aku menemukan jawabannya. Tak lama berselang, sejak keberadaanku di rumah ini, berita itu sampai ke pendengaranku. Mak Onyah meninggal dunia. Seolah menungguku. Aku terhenyak. Di pagi yang masil gigil dan aku benar-benar tak habis pikir. Sudahlah. Bukankah kematian bukan untuk dipikirkan? Dia akan datang dengan kepastiannya sendiri.

Sudah tiga bulan terakhir, akupun selalu dihantui kematian bahkan kehilangan. Sesuatu yang aku takutkan. Benar-benar tak dapat menggenggamnya. Lemas.

***

Aku mau ke bulan, Ma. Pamitku pada suatu senja. Mama hanya tersenyum dan memelukku. Sungguh menyenangkan memiliki orangtua yang membebaskan aku pergi ke mana pun.

Aku pergi tak membawa apa-apa. Hanya kenangan tentang masa kecil dan samar wajah Mak Onyah. Dia begitu baik, sering memberiku apa saja. Masih suka menyapa ketika aku melewati rumahnya yang bilik. Dengan aroma minyak tawon yang awalnya aku tak suka. Minyak tawon yang menghangatkan penciumanku. Minyak tawon yang mungkin saja selalu menemani keberadaan Mak Onyah.

Aku akan pergi ke bulan. Barangkali di jalan bertemu Mak Onyah. Siapa tahu dia masih suka mengulek kacang goreng kesukaanku. Kacang yang menimbulkan banyak jerawat di wajah puberku. Tiba-tiba aku merindukan Mak Onyah. Kematiannya masih dapat dihitung hari. Tapi kenangannya begitu mengakar.

Aku akan tinggal di bulan. Menemaninya agar tak menangis. Seperti aku dulu, yang tak suka menangis, walaupun ibu tak menjemput ke sekolah. Akan kubuatkan lotek sebagai makanan pembuka. Sebagai makanan penutup. Aku juga tak pernah lupa dengan buku pemberian Mak Onyah yang selalu kubawa. Tentang perjalanan bulan. Dari malam ke malam. Tentang perjalanan yang selalu ditemani bulan. Aku dan bulan, seolah aku dan lapangan. Aku akan pergi ke bulan. Menggunakan kereta api.

***

 

 

 

 

Dian Hartati*, mahasiswa Sekolah Pascasarjana-UPI lahir di Bandung pada 13 Desember 1983. Cerpennya terhimpun dalam antologi Kolase Hujan (Yayasan Sagang, 2009)

Mimpi Jelang Pemilu (Taman Budaya Jawa Tengah, 2009), Loktong (CWI-Menpora, 2006), dan La Runduma (CWI-Menpora, 2005). Kumpulan cerpen tunggalnya berjudul Perempuan Kupu-Kupu (Shell, 2012).

 

Mendapatkan beragam penghargaan di antaranya Anugerah Sastra Jurdiksatrasia, Juara I Lomba Menulis Puisi Bahasa Melayu-Betawi/Indonesia Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat.

Comments

comments