Keterasingan Wiji Thukul dalam Istirahatlah Kata-kata

307

Oleh: Nurul Yunita

Judul Film          : Istirahatlah Kata-kata

Genre                   : Drama, biografi

Produser             : Yosep Anggi Noen, Yulia Evina Bhara, Tunggal Pawestri, Okky Madasari

Sutradara            : Yosep Anggi Noen Penulis                : Yosep Anggi Noen

Produksi             : Muara Foundation, Kawan-kawan Film, Partisipasi Indonesia, Limaenam Films

Pemain               : Gunawan Maryanto, Marissa Anita, Dhafi Yunan, Eduwart Boang, Melanie Subono, Joned Suryatmoko

Durasi                 : 97 menit

Tanggal Rilis     : 19 Januari 2017

Solo, 1996. Anak dan istri Widji di interogasi aparat. Anaknya ditanyai kapan ayahnya pulang. Anak Wiji tetap bungkam. Buku-buku Wiji dirampas, Sipon dipaksa menandatangani dokumen penyitaan barang bukti. Bagian pembuka film ini, penonton disuguhi adegan-adegan yang menggambarkan Sipon sebagai istri yang tegar. Ia tetap memasak seperti biasa, menunggui masakannya, dan menunggu suaminya pulang, meski entah dimana.

Tahun 1996 menjadi awal perjuangan bagi Widji Widodo atau yang lebih dikenal dengan nama Widji Thukul (Gunawan Maryanto). Setelah ia dan aktivis yang memperjuangkan demokrasi berhasil membentuk Partai Rakyat Demokratis (PRD), Wiji harus mengasingkan diri. Ia pergi ke Pontianak, Kalimantan Barat, 972 km dari Solo.  Widji meninggalkan istrinya, Sipon (Marissa Anita) serta kedua anaknya yang masih kecil.

Awal pelariannya ke Kalimantan, Widji harus berpindah-pindah tempat. Dalam satu adegan di ruang makan, Widji dan kedua temannya sedang makan malam. Salah satu temannya bercerita tentang aktivis-aktivis yang turut pula menjadi buronan, satu persatu ditangkap. Teman yang lainnya menimpali, bahkan Widji yang menulis puisi-puisi, mengkritik dengan kata-kata pun turut menjadi buronan. Lalu Widji dengan tegas mengatakan, “Itulah yang aku katakan tadi, orde ini bangsat, tapi hanya takut dengan kata-kata,” ujar Widji.

Setelah sempat berpindah-pindah tempat, Wiji kemudian menetap di rumah Thomas (Dhafi Yunan). Beberapa waktu kemudian, Wiji juga tinggal dirumah kawannya, yang juga aktivis. Bersama kedua kawannya inilah, dengan status buronan orde baru, Wiji memulai hidupnya kembali. Ia membuat identitas baru, mulai bertemu dengan orang-orang baru,  mulai memotong rambutnya dengan model baru, bahkan mulai untuk bekerja. Namun, Wiji masih orang yang sama, ia masih menulis.

Kisah hidup di tengah keterasingan seorang Wiji Thukul, menjadi fokus film ini. Widji yang terpaksa jauh dari orang-orang yang dikasihinya. Widji yang harus mempersiapkan kemungkinan untudk lari, sebab kapan saja ia bisa ditangkap. Widji yang tetap menulis puisi, dengan kertas-kertas bekas yang harus ia hapus lebih dulu coretan sebelumnya, dengan penghapus dari karet gelang. Film biografi ini menyampaikan kisah hidup seorang Widji dengan sederhana. Apa adanya sebagai manusia.

Penggambaran latar di Pontianak tahun 1966, turut menunjang film ini. Suasana Kalimantan saat itu, digambarkan dengan kondisi penerangan yang serba terbatas. Malam hari, listrik padam. Siang hari pun, listrik bisa padam kapan saja. Salah satu latar di kedai pinggiran sungai Kapuas malam hari, menjadi penggambaran film yang memiliki kesan tersendiri. Kedai sederhana dengan latar sungai Kapuas dan jembatan saat malam, serta obrolan Wiji dan kedua temannya tentang perbedaan bersembunyi dan lari hingga puisi tentang tahi.

Puisi-puisi Widji yang dihadirkan dalam film ini juga menjadi kekuatan film ini. Cuplikan puisi “Istirahatlah Kata-kata” yang juga dijadikan sebagai judul film ini, menjadi pembuka film saat menggambarkan tempat tinggal Widji di Kalimantan.

Istirahatlah kata-kata

jangan menyembur-nyembur

orang-orang bisu

 

kembalilah ke dalam rahim

segala tangis dan kebusukan

dalam sunyi yang meringis

tempat orang-orang mengingkari

menahan ucapannya sendiri

 

tidurlah kata-kata kita bangkit nanti

Film ini tepat bagi penonton yang ingin tahu sisi kehidupan Widji Thukul. Sosok Sipon sebagai istri yang tegar menunggu kedatangan suaminya juga digambarkan dengan apik. Meskipun diceritakan Widji akhirnya pulang menemui Sipon, disitu pula Sipon menangis untuk pertama kalinya.

“Aku tidak ingin kamu pergi. Tapi aku juga tidak ingin kamu pulang. Aku ingin kamu ada,” tutur Sipon.

Pada akhirnya, Widji memang tidak pernah pulang. Tahun 1998, ia hilang. Hingga kini, tidak ada yang tahu Widji dimana, tapi puisi-puisi dan tulisannya, tetap dan akan selalu ada.

Sederet penghargaan juga telah disabet film bertema drama-biografi ini menjadi bukti film “Istirahatlah Kata-kata” merupakan film Indonesia yang layak ditonton diawal tahun ini.[]

Comments

comments