Menilik Memoar Sunyi Pembantaian

165

Oleh: Dzahban Jodhie dan Syahid Syawahidul Haq

Bumi Siliwangi, isolapos.com UKSK menggagas Ngobras (Ngobrol Bareng Sejarah) sebagai bentuk penawaran lain untuk menilik sejarah yang telah menjadi pemahaman bulat kolektif masyarakat Indonesia, mengenai G30S/PKI. Kegiatan yang dihelat dari tanggal 11 hingga 12 Oktober 2017 ini menyuguhkan tayangan film dan diskusi sejarah di gedung Geugeut Winda UPI.

Rabu (11/10), diawali pemutaran film Shadow Play yang menarasikan bagaimana upaya Amerika menjatuhkan Soekarno dengan berbagai cara. Terjadinya pembataian 65 adalah siasat barat, dalam hal ini CIA yang memanfaatkan tentara Indonesia untuk menyerang PKI dan menurunkan Soekarno dari jabatannya sebagai presiden. Setelah itu, Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto, yang kemudian membuat pemahaman bahwa PKI adalah sesuatu yang harus dihindari, dimusuhi dan dimusnahkan dari peradaban.

Dampaknya adalah kekerasan, intimidasi serta diskriminasi terhadap anggota dan simpatisan PKI yang telah dianggap wajar saat itu.

Selain melalui propaganda sejarah yang kemudian disebarkan melalui pelajaran yang diajarkan sekolah, CIA juga manaruh hati pada pergerakan budaya. Kala itu Lekra tumbuh dengan baik dan terjaga rapi dengan spirit seni untuk rakyat. Pembentukan lembaga Congres Cultural of Freedom (CCF) yang kemudian membawa misi anti komunis dari CIA, banyak memberikan pengaruh mengenai terciptanya humanisme liberal di Indonesia.

Dilanjutkan dengan pemutaran film G30S/PKI pada Kamis (12/10), UKSK menghadirkan narasumber dari Dinas Sejarah TNI-AD Letkol, Komisioner Komnas HAM dan salah satu dosen sejarah Universitas Galuh. Masing-masing diantaranya adalah Letkol Yusuf Ambari, Dianto Bachriadi dan Tito Wardani.

Menurut Yusuf, komunisme memang merupakan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan partai yang ingin membuat negara baru dengan cara pengudetaan tahun 1965. “Tak punya nasionalisme Republik Indonesia, lihat benderanya dan nasionalismenya adalah Internasionale,” katanya. “Mengacu pada TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, jadi dilarang,” lanjut Yusuf.

Sementara itu, Dianto menyampaikan bahwa sejarah harus memiliki unsur kebenaran layaknya sejarah 1965. “Ilmuwan tidak boleh berbohong, salah boleh.” Ia menjelaskan, sejarah seyogyanya dilihat dari berbagai konteks agar menarik kesimpulan secara komprehensif. “Pertama, kita harus melihat itu ada dalam situasi ketegangan 30 September, ada pertentangan dalam tubuh TNI AD. Kedua, konteks perang dingin antara blok barat dan timur.”

Diskusi yang cukup alot mengenai G30S/PKI bagi Dianto, sangatlah menarik dengan banyak kontroversi didalamnya. “Mungkin tidak akan menemukan kesimpulan,” ujarnya kepada para penonton pada sela-sela diskusi.[]

Comments

comments