Kisah Dari Pulau Dewata : Budaya, Tradisi, dan Spiritual

293

Oleh: Muhammad Wildan Al Gifari

*) Penulis adalah Mahasiswa UPI Prodi Pendidikan Sejarah 2017

Jalanan begitu lengang. Lantunan nada “Tuan Reagan dan Tuan Andropov” karya musisi Bimbo mengiringi deru mesin bus yang membawa kami menuju Pulau Dewata, Rabu (03/04/2019). Perjalanan ke Bali kami tempuh 2 hari 1 malam dalam rangka mengikuti Program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang diadakan Prodi tiap semester. Ini bukan kali pertama Saya ke Bali. Ketika Kanak-kanak, Saya sempat menyambangi Pulau tersebut beserta keluarga. Bali Berubah. Begitulah kesan pertama Saya saat menapaki kembali Pulau Dewata tersebut.

Dari Pulau Jawa ke Pulau Bali

Sebelum sampai ke Banyuwangi untuk menyeberang, saya tertegun ketika melewati Paiton, Situbondo. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) disana begitu megah dan besar. Saking besarnya, saya yang mengantuk tiba-tiba segar karena terperanjat. Wajar untuk pemasok listrik sepulau Jawa jika dilihat luasnya. Tapi yang saya tahu, PLTU juga punya kerugian tersendiri bagi warga sekitar. Asapnya dapat menyebabkan masalah kesehatan pernapasan dan juga masalah-masalah sosial yang ditimbulkan.

Bus  sampai di Banyuwangi. Tepatnya di Pelabuhan Penyeberangan Ketapang, Jumat (05/04/2019) Pukul 02.00 WIB. Singkatnya kami memasuki kapal feri yang tersedia dan sampailah di Gilimanuk tepat pukul 04.00 WITA. Sebenarnya menyeberang Selat Bali tidak begitu lama, hanya sekitar 45 menit. Namun, saya beserta teman-teman melakukan perjalanan antar zona waktu WIB-WITA yang berbeda 1 jam.

Tempat Wisata Sekaligus Tempat Ibadah

Lelah setelah menyeberang selat, saya pun tertidur di dalam bus. Apa yang bisa dilihat diluar bus? Hanya pepohonan di dalam kegelapan. Bus yang saya naiki melewati Taman Nasional Bali Barat. Di pagi buta, bus telah sampai di daerah Negara, Jembrana. Di sebuah rumah makan muslim, saya pun lekas mandi, salat subuh, dan sarapan.

Di Bali dan belahan Indonesia lainnya masih banyak tempat ibadah yang merangkap menjadi daya tarik wisata karena memiliki keunikan tersendiri,Tanah Lot contohnya. Tempat itu sejatinya sebuah pura, tempat ibadah yang terletak di pantai berkarang. Tidak heran di keramaian para wisatawan masih ada kegiatan peribadatan. Peribadatan tetap berjalan dengan khusyuk. Bahkan seorang pedande (pendeta) berjalan dikerumunan wisatawan hanya untuk menaruh banten (sesajen) disalah satu pura. Tidak ada yang terganggu, menggangu, atau diganggu. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun berada di destinasi wisata, esensi-esensi nilai kekhusyukan ibadah itu sendiri tidak berkurang.

Budaya, Tradisi, dan Nilai Sosial

Selama di Bali rombongan Pendidikan Sejarah punya dua orang pemandu lokal Bali, Bli Putu dan Bli Wayan alias “Bli Black”. Bli dalam bahasa Bali seperti halnya panggilan mas untuk orang Jawa ataupun akang untuk orang Sunda. Bli Putu bertugas di bus 1, bus yang saya naiki. Bli Wayan atau Bli Black bertugas di bus 2. Saya tidak tahu seperti apa Bli Black selama perjalanan karena tidak satu bus dengannya. Tapi Bli Putu, adalah orang humoris, merepresentatifkan karakter orang Bali yang lucu dan bersahaja.

Salah satu destinasi yang saya kunjungi adalah Pura Gunung Kawi. Lokasinya berada di Tampaksiring, Gianyar. Unik jika dilihat bahwasanya pura ini sudah berdiri sejak abad ke-XI dan dipahat di dalam tebing. Strukturnya menjadikan pura ini masuk kedalam jajaran monumen bersejarah yang dipahat di tebing batu selain Petra di Wadi Rum, Yordania. Sampai sekarang fungsinya tetap menjadi pusat peribadatan bagi warga sekitar. Uniknya, wisatawan yang mendominasi adalah wisatawan asing. Sangat jarang wisatawan domestik diluar warga sekitar pura yang berkunjung. Seolah-olah turis asing lebih menghargai situs ini dibanding bangsa kita sendiri.

Bli Putu menjelaskan selain untuk beribadah, pura ini juga sering dipakai sebagai tempat bermeditasi atau mencari ketenangan. Namun, Bli Putu menjelaskan ada amalan dalam agama Hindu yang lebih besar dibanding ibadah vertical yaitu melakukan amal baik kepada sesama manusia, seperti berbuat baik atau turut melakukan kegiatan sosial didalam pura.

“Kalau Cuma sembahyang kan gampang, kalau yang ini rela keluar tenaga tapi gak dibayar pahalanya lebih besar”, tegasnya. Hal tersebut mengingatkan kita sebagai umat beragama mengenai “ketuhanan” dan “kemanusiaan”.

Perjalanan berlanjut menuju Desa Panglipuran, roda bus berputar melewati pedesaan di sekitar Gianyar. Pemandangan unik terlihat ketika lebih banyak motor yang diparkir begitu saja di pinggir jalan dengan kunci yang masih menggantung seakan tidak takut dicuri orang.

Ternyata desa di Bali relatif aman dibanding perkotaan. Jarang sekali ada pencurian maupun kriminalitas lainnya. Masyarakat di pedesaan sangat patuh terhadap norma adat, nilai moral dan agama. Mereka percaya adanya karma, jika mereka melakukan tindakan buruk. Hal yang jarang ditemukan lagi untuk ukuran masyarakat kota. Jika nilai tersebut berlaku bagi orang di perkotaan, maka polisi akan lebih banyak menganggur dibanding bergumul dengan para penjahat.

Tidak perlu waktu lama, sampailah di Desa yang dimaksud. Berdasarkan info yang dikatakan Bli Putu, desa ini menyandang desa terbersih ketiga di dunia. Benar saja, desa itu bersih. Masyarakatnya pun ramah. Ada lagi aturan adat yang dipegang sampai saat ini, salah satunya larangan poligami. Jika ada yang melanggar, pelakunya akan diberi sebuah sanksi. Sanksinya unik, pelaku akan diberi sebuah hunian bernama Karang Memadu. Pelaku mungkin enak diberi huniannya sendiri, namun siap-siap saja pelaku akan di isolir dari masyarakat.

Toleransi Beragama

Dapat dikatakan, Bali tempat yang cukup nyaman bagi berbagai macam agama dan keyakinan. Dosen saya pernah mengatakan orang Majapahit adalah orang-orang yang toleran. Seiring runtuhnya Majapahit, orang-orang Majapahit pindah ke Bali. Gambaran sosial masyarakat Majapahit yang toleran tercermin dari masyarakat Bali sekarang.

Berlokasi di Nusa Dua, Komplek bernama Puja Mandala membuat saya berdecak kagum. Bagaimana tidak? Komplek itu merupakan komplek bagi tempat peribadatan 5 agama yaitu Hindu, Buddha, Protestan, Islam, dan Katolik.

Pada hari terakhir di Bali saya beserta rombongan mengunjungi kampung Muslim Bedugul, tepatnya di Candikuning, Baturiti, Tabanan. Dekat dengan Danau Beratan. Kampung muslim ini sudah ada sejak zaman dahulu, tepatnya ketika masa Kerajaan Gelgel hingga Kerajaan Karangasem. Ada yang mengatakan Raja Karangasem sengaja menempatkan mereka untuk menjaga keamanan ujung Mengwi seiring banyaknya perang antar kerajaan di Bali. Ada juga yang mengatakan mereka dihadiahi tempat pemukiman atas jasanya membantu Kerajaan Karangasem dalam melawan Belanda.

Muslim disini mayoritas suku Sasak yang berasal dari Lombok, meskipun sekarang ini suku Jawa juga terbilang banyak. Di kampung muslim ini terdapat masjid utama yang digunakan oleh banyak warga muslim, Masjid Al Hidayah namanya. Ketika saya berkunjung masjid itu sedang direnovasi bagian luarnya dengan ornamen khas Bali-Lombok sehingga mempercantik suasana masjid. Dekat masjid terdapat sebuah pura dipinggir danau, Pura Ulun Danu namanya. Jika kamu tahu lembaran uang 50 ribu rupiah, pasti tidak asing dengan suasana pura itu.

Perlu diingat Bali pernah dua kali diguncang bom antara tahun 2002 dan 2005, namun Bali mampu bangkit tanpa ada konflik sama sekali. Tidak pernah ada dendam terhadap satu umat beragama satu sama lain. Walaupun kini keamanan tetap diperketat dengan diperiksanya tiap pendatang yang datang ke Bali. Tidak perlu konsep wisata halal, sampai sekarang pun Bali juga sudah mengakomodasi semua kalangan turis, termasuk turis muslim

Bali memiliki kesan yang mendalam bagi Saya. Budayanya, pemandangannya, dan masyarakatnya. kesan selama di Bali Saya tuturkan lewat tulisan ini.. Hikmah yang bisa saya ambil dari pengalaman ini adalah, Bali bukan hanya soal hedonisme dan kesenangan duniawi belaka. Ada nilai-nilai seperti budaya, tradisi, dan spiritual. Kisah yang saya tulis hanya secuil keindahan dan keragaman yang ada di Pulau Dewata.[]

Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis yang bersangkutan

Comments

comments