Kebijakan Penyelesaian Studi Setara Skripsi, Mahasiswa Dibebaskan Memilih
Oleh: Amelia Wulandari
Bumi Siliwangi, Isolapos.com-Pada Agustus lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan peraturan tentang kebijakan skripsi bagi jenjang S-1 dan D4. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Dalam peraturan itu, penyelesaian studi mahasiswa dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek, ataupun tugas akhir lainnya yang sejenis baik secara individu maupun kelompok.
Sebenarnya, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sudah menerapkan hal tersebut. Berdasarkan Surat Edaran No. 045 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Nomor 054/UN40.RI/KM.01/2021 Tentang Konversi Karya Tulis Ilmiah Program Sarjana di Lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia, mahasiswa sarjana dapat melakukan penelitian setara skripsi yang dipublikasikan dalam jurnal bereputasi atau karya kreatif di bawah bimbingan dosen.
Menanggapi hal itu, Tim Isolapos.com mencoba mewawancarai Yedi Rudiawan selaku Kepala Divisi Layanan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) apakah UPI membolehkan mahasiswanya mengambil pilihan tugas akhir selain skripsi. Menurutnya, kebijakan penyelesaian studi dengan setara skripsi merupakan tindak lanjut dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). “Jadi, dasarnya dari MBKM yang membolehkan konversi ke mata kuliah apa saja yang diinginkan, makanya timbul ide. Kemudian, skripsi pun bisa dikonversi dari kegiatan lain,” ungkapnya.
Selanjutnya, Yedi mengatakan bahwa kebijakan tersebut diserahkan kembali kepada tiap program studi (prodi). “Tapi, kembali lagi ke prodi masing-masing. Penelitiannya kalau menurut prodi memang setingkat dengan skripsi, silakan saja. Itu hak prodi menentukan,” ujarnya.
Ketua Program Studi (Kaprodi) Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) Tedi Permadi memaparkan bahwa terdapat tiga jenis tugas akhir yang dapat dipilih untuk penyelesaian studi di prodinya, yaitu tugas kajian berupa skripsi, penciptaan berupa karya kreatif, atau diseminasi keilmuan berupa artikel yang dimuat dalam jurnal sinta 1–6.
Menurutnya, kebijakan tersebut dapat memudahkan mahasiswa untuk menyelesaikan studi. “Dengan adanya kebijakan itu, memungkinkan mahasiswa untuk melakukan percepatan studi 7 semester selesai. Tidak 8 semester, ya, itu lumayan banyak itu kan, positifnya, termasuk bagi yang akan studi lanjut,” ungkapnya.
Tedi juga mengatakan bahwa mahasiswa prodinya lebih banyak memilih tugas selain skripsi untuk penyelesaian studi. “Sekarang yang ngambil skripsi tidak sampai 50%, bahkan tidak sampai 25%, di bawah 20%-nya. Anggap 55% ke penciptaan, 20% ke artikel. Jadi, memang ternyata minat mahasiswa pun tidak di skripsi semuanya. Malah, lebih banyak yang non skripsi,” tuturnya.
Kami kemudian mencoba mencari keterangan dari prodi lain, yaitu Wiji selaku Kaprodi Pendidikan Kimia Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA). Wiji mengatakan bahwa penyelesaian studi di prodi Pendidikan Kimia justru hanya berupa skripsi. “Kalau sampai saat ini untuk S-1 itu skripsi, S-2 itu tesis, dan tidak ada yang lain,” ujarnya.
Wiji memberikan tanggapannya tentang kebijakan penyelesaian studi setara skripsi. “Kalau menurut saya, sih, tidak ada masalah. Tidak masalah sepanjang bisa digunakan untuk mengukur, gitu, capaian yang memang dicapai oleh mahasiswa itu,” tuturnya.
Wiji juga mengungkapkan bahwa penulisan artikel tidak bisa menggantikan skripsi karena mahasiswa sebagai calon guru dapat mengakumulasikan pengetahuannya selama kuliah dan mengintegrasikan aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap dengan menulis skripsi.
“Kalau hanya artikel saja aspek keterampilannya mungkin hanya terbatas, keterampilan menulis. Sementara keterampilan yang ingin kita ajarkan itu, ya, kalo Pendidikan Kimia itu selain keterampilan menulis, keterampilan berpikir, itu ada keterampilan di laboratorium, gitu. Kemudian, sikap tentu saja tidak bisa diukur dengan artikel,” ungkapnya saat ditemui Tim Isolapos pada Selasa (26/09).
Sependapat dengan Wiji, Nia mahasiswa Pendidikan Kimia 2020 mengatakan bahwa menulis skripsi dapat melatih keterampilan sehingga jika ada jalur lain selain skripsi, dirinya tetap akan memilih skripsi.
“Karena menurut aku lewat pembuatan skripsi selain kita bisa membuat suatu gagasan penelitian sebagai solusi dari permasalahan dalam dunia pendidikan yang sedang terjadi saat ini (karena aku dari prodi pendidikan ya), kita juga bisa melatih banyak hal tentang keilmiahan melalui skripsi,” tulis Nia saat diwawancarai tim Isolapos melalui pesan WhatsApp.
Berbeda dengan Nia, Qolbi salah satu mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2020 mengatakan dirinya lebih memilih artikel dengan alasan bisa leluasa membuatnya karena tahapannya yang cukup mudah sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga.
“Alasannya karena pada jalur ini saya bisa dengan leluasa menulis artikel ilmiah tanpa melalui proses proposal skripsi dan sebagainya. Pada jalur ini juga kita bisa skip proses skripsian yang cukup memakan waktu lama,” kata Qolbi.
Qolbi juga mengungkapkan dalam pembuatan artikel pun terdapat tantangan yang harus dilewati. “Tapi tentunya, tantangannya adalah kita harus sampai menerbitkan artikel kita, yang dalam prosesnya melewati beberapa tahap yang cukup kompleks seperti revisi, editing, dsb. Tapi worth it, lah,” ungkapnya. []
Redaktur: Wulan Nur Khofifah