Oleh: Razib Iled*
Magang adalah sebuah proses belajar sekaligus latihan dalam sebuah pekerjaan secara langsung di sebuah perusahaan dalam beberapa waktu, sedangkan menurut KBBI, magang berarti calon pegawai (yang belum diangkat secara tetap serta belum menerima gaji atau upah karena dianggap masih dalam taraf belajar). Baru definisi dari KBBI saja sudah menunjukkan nasib miris mahasiswa magang yang tak digaji.
Magang umumnya menjadi salah satu syarat pemenuhan kurikulum bagi mahasiswa. Banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mewajibkan mahasiswanya magang dengan terjun langsung bekerja di perusahaan agar mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan pada pekerjaan terkait bidang yang dikaji selama perkuliahan.
Saya lebih senang menyebut mahasiswa magang sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sesungguhnya. Bukan tanpa alasan. Hal itu karena sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak mahasiswa yang bermagang di suatu perusahaan mendapatkan tugas yang sama beratnya seperti karyawan tetap, tetapi mendapat upah yang tak layak atau bahkan tidak dapat upah sama sekali. Belum lagi permasalahan lainnya, seperti jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang tidak diberikan kepada peserta magang, padahal pemagang juga memiliki risiko kecelakaan kerja. Satu-satunya hal yang mereka dapat adalah embel-embel “pengalaman”.
Bukan berarti pengalaman itu tidak penting. Namun, pada kenyataannya, pekerjaan yang dilakukan pemagang tidak kalah berat dengan karyawan tetap. Sudah sepatutnya, pekerjaan berat itu mendapat bayaran yang sesuai. Paling tidak biaya untuk kebutuhannya selama bermagang di perusahaan tersebut. Mungkin memang benar, sebenarnya penjajahan oleh bangsa sendiri lebih kejam dibandingkan penjajahan oleh bangsa Belanda. Bukankah kerja rodi itu sebenarnya dibayar oleh Daendels? Lantas siapa yang korupsi uang itu? Betul, bupati setempat.
Saya memang tidak mengalami pengalaman buruk dalam bermagang karena paling tidak, perusahaan pengujian kualitas lingkungan tempat saya magang masih memberi uang makan kepada pemagang di sana. Meskipun sejatinya masih kurang. Namun, berbeda halnya dengan rekan-rekan saya yang bermagang di salah satu perusahaan swasta atau bahkan perusahaan BUMN yang berpusat di Bandung. Kebanyakan tidak mendapat upah sepeser pun, bahkan ada beberapa yang harus membayar nominal tertentu untuk bisa bermagang di perusahaan tersebut, seperti yang dialami rekan saya ketika mengajukan pemagangan di salah satu perusahaan lab kesehatan di Bandung.
Kejadian lain dialami oleh rekan magang saya di perusahaan yang sama. Dia mengalami kecelakaan kerja yang hampir menyebabkan kebakaran satu laboratorium (saya bermagang di laboratorium mikrobiologi) akibat kondisi alat yang sudah tidak memadai. Lantas, apa yang terjadi? Bukannya mendapat bantuan kesehatan (andaikan dia pun trauma dengan kejadian tersebut), yang ada justru dia dikeluarkan dari perusahaan. Bukankah unik? Ketika sebuah kecelakaan terjadi akibat kondisi fasilitas kerja yang tak memadai, perusahaan mengambil langkah menghentikan seseorang yang hampir saja terkena kecelakaan kerja tersebut, padahal status perusahaan tersebut adalah “Perusahaan Umum Daerah” atau sering disebut “Perumda”.
Itu hanya segelintir bukti yang sudah tak dapat dimungkiri banyak orang. Sialnya adalah saat ini masih banyak perusahaan yang berperilaku serupa. Senang memanfaatkan tenaga pemagang tanpa memenuhi hak pemagang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sialnya lagi, kejadian tersebut sudah dianggap umum pada kalangan masyarakat, bahkan pada kalangan mahasiswa yang menjadi “korban”.
Sebenarnya, status dan hak pemagang diatur dalam undang-undang. Hak-hak pemagang diatur dalam pasal 13 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Beberapa hak bagi pemagang di antaranya mendapatkan fasilitas kesehatan dan keselamatan kerja; mendapatkan uang saku mencakup uang makan, transportasi, dan insentif pemagangan; serta diikutsertakan dalam program jaminan sosial, utamanya jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Peraturan tertulis yang mengatur hak-hak pemagang telah jelas keberadaannya. Namun, sayangnya, sampai kini kenyataan di lapangan berbeda jauh dengan apa yang tercantum pada peraturan perundangan.
Fakta miris terkait permagangan dibuktikan oleh penelitian Arindrajaya dkk. pada tahun 2021. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa terdapat hanya 50% mahasiswa magang yang mendapatkan fasilitas kesehatan dan keselamatan kerja dari perusahaannya, 50% yang mendapatkan uang saku, dan hanya 12% yang diikutsertakan dalam program jaminan sosial. Penelitian tersebut menuturkan bahwa implementasi peraturan tersebut dalam pemenuhan hak pemagang masih belum terimplementasi secara sempurna dan efektif. Ini tentu cukup horor melihat bagaimana kenyataannya penindasan sistem kapitalisme merugikan banyak orang, tetapi dianggap wajar pada kalangan masyarakat.
Makanya, saya sendiri lebih setuju jika gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” itu disematkan kepada para mahasiswa pemagang. Hal itu karena kalau guru umumnya masih mendapat upah dari tugas dan tanggung jawab yang ia emban, meski jauh dari kata layak, sedangkan mahasiswa magang bekerja seperti karyawan tetap, tetapi tak mendapat upah atas jasa yang mereka lakukan. Menjadi guru masih bisa makan gaji buta. Lah, mahasiswa magang bagaimana makan gaji buta, orang digaji saja tidak.
Perusahaan perlu menghargai keberadaan mahasiswa magang sebab sejatinya mereka berjasa kepada keutuhan bangsa ini. Bayangkan saja bagaimana mereka bisa menyuntik perekonomian negara. Adanya mahasiswa magang mampu meningkatkan produktivitas perusahaan tanpa tambahan biaya. Selain itu, kehadiran mahasiswa magang juga mampu meningkatkan indeks kebahagiaan Indonesia. Mereka dapat mencegah terjadinya bunuh diri karena stress pekerjaan. Iya tentu, soalnya yang menjadi karyawan tinggal duduk santai, arahkan para pemagang, kalau sudah pada bisa tinggalkan saja mereka bekerja. Sisanya tinggal disuruh-suruh saja.
Dari semua jasa besar yang diberikan mahasiswa magang tersebut, umumnya tidak ada tanda jasa yang mereka terima. Boro-boro gaji yang besar, terkadang uang makan, uang ganti transportasi, bahkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja saja tidak ada. Undang-undang hanyalah tulisan. Kenyataan jauh berbeda dari apa yang ditetapkan.
Jadi, bukankah mahasiswa magang lebih cocok disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa?
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Biologi Angkatan 2020 FPMIPA UPI