Memberangus Buku, Lemahkan Budaya Literasi
Oleh Restu Puteri
Bumi Siliwangi, isolapos.com–
Pada Bincang Isola Mei, Unit Pers Mahasiswa Unviersitas Pendidikan Indonesia mengangkat tema tentang “Pelarangan Buku dan Ancaman Dunia Pendidikan”. Maraknya pelarangan bahkan pemberangusan buku ini ditengarai membangkitkan kembali idiologi komunis dan sempat menggemparkan dunia literasi. Buku-buku dan kegiatan akademik seperti teater dan diskusi yang yang dianggap “kiri” diberangus dan dibubarkan.
Sastrawan sekaligus aktivis literasi Bandung Ahda Imran mengatakan pendidikan layaknya seperti taman. Bila ada banyak ragam bunga, maka semua bunga berhak tumbuh disana. Sama halnya dengan kasus ini, ia menuturkan, keberagaman pemikiran dan keyakinan berhak “tumbuh” di Negara ini. Sehingga pemerintah dalam hal ini layaknya seperti pemilik taman yang mengurusi, merawat, dan menjaga semua keberagaman yang ada, pun halnya dengan buku. “Hatta belajar khatam Das Kapital tapi dia bukan komunis. Ini persoalan dengan kita belajar. Pendidikan tidak hanya bisa hadir dengan satu saja macam bunga,” ujarnya saat Bincang Isola di Teater Terbuka Museum Pendidikan Nasional UPI, Jumat (27/5).
Berbeda dengan Ahda, esais Zen Rs menilai pelarangan buku ini tidak berdampak pada dunia pendidikan. Menurutnya, masyarakat saat ini berada ditengah-tengah rezim yang mengutamakan penyamarataan nilai, bukan mengutamakan proses belajar. Maka tak heran, ketika membaca saat ini hanya dijadikan kegiatan temporal saja. ”Itulah sebabnya bimbel lebih penuh sesak daripada taman bacaan. Semuanya tentang jalan pintas,” tuturnya.
Bagi Zen, membaca merupakan proses menguji pemikiran dan keyakinan. Ia menilai tradisi itulah yang belum terbangun dalam bangsa ini. Untuk itu, pemerintah perlu mendukung upaya penguatan lliterasi buku, bukan semakin melarang rakyat untuk membaca buku. “Persoalannya adalah minat baca sudah rendah, apalagi kalau dilarang,” ujarnya mengundang tawa audiens.
Selain Ahda dan Zen, Bincang Isola kali ini pun turut dihadiri oleh berbagai aktivis literasi dan pakar pendidikan dari berbagai daerah seperti Muhidin M Dahlan dari Masyarakat Literasi Yogyakarta, Anton Kurnia dari Aktivis Literasi Jakarta,Rama Prambudhi Dikimara dari Dewantara Institute, dan Pakar Pendidikan UPI Deni Darmawan. []
Redaktur: Syawahidul Haq