Tolak Putusan Eksekusi Lahan, Warga Dago Elos Datangi Pengadilan
Oleh: Nabil Haqqillah
Bandung, Isolapos.com-Selasa (20/02) siang, ratusan Warga Dago Elos mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Kedatangan warga ke PN Bandung sendiri, adalah untuk memenuhi panggilan surat aanmaning terkait permohonan eksekusi lahan dari PT Dago Inti Graha terhadap warga Dago Elos sebagai termohon eksekusi.
Pembacaan Aamaning ini merupakan kelanjutan dari konflik lahan seluas 6,3 hektare di Dago Elos yang mengancam ruang hidup warga. Penyebabnya adalah klaim secara sepihak oleh Muller bersaudara dan P.T Dago Inti Graha.
Berdasarkan pantauan Isolapos, persidangan diawali dengan pembacaan aanmaning oleh Wakil Ketua Pengadilan Bandung. Sementara itu PT Dago Inti Graha diwakili oleh kuasa hukumnya, Alvin Wijaya Kusuma.
Setelah pembacaan aanmaning, agenda dilanjutkan dengan pembacaan subjek dan objek tergugat sebanyak 300 orang. Namun, beberapa nama yang disebutkan ternyata tidak valid, sehingga suasana sidang pun memanas. Beberapa nama juga terdengar mengalami pengulangan.
“Berdasarkan tadi putusan atau aanmaning yang bapak bacakan, ya bapak tahu sendiri bahwa itu terdapat banyak sekali subjek yang ngaco,” ujar Ketua RT 02 Dago Elos, Heri Purnomo kepada Wakil Ketua Pengadilan.
Heri mewakili warga kemudian menyatakan menolak aanmaning yang dibacakan, sehingga Wakil Ketua Pengadilan harus menunda sidang ke tanggal 19 Maret 2024 mendatang.
Warga yang kecewa terpantau sempat memasang spanduk protes di dalam ruang sidang, sebelum akhirnya melakukan orasi dan konferensi pers di depan pengadilan.
Dalam konferensi pers yang digelar di luar pengadilan, Ketua Forum Dago Melawan, Angga, mengatakan bahwa warga tetap menuntut dibatalkannya putusan eksekusi. Ia juga mengatakan adanya ketidakjelasan subjek dan objek tergugat serta wilayah yang disengketakan menjadi salah satu dasar mereka menuntut pembatalan putusan
“Atas dasar ketidakjelasan, subjek tergugat, ketidakjelasan wilayah objek yang disengketakan, maka hal itu sebetulnya sudah sangat jelas bahwa yang namanya eksekusi harus dibatalkan demi hukum,” Ucap Ketua Forum Dago Melawan, Angga, dalam konferensi pers.
Ada hal terakhir mengenai penetapan non-executable yang memang kita tuntut, agar pihak pengadilan, dapat melakukan penetapan yang berwenang adalah kepala pengadilan sekalipun adanya keputusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung, yang mengalahkan untuk sementara mengalahkan posisi warga yang mana amar putusannya tadi telah dibacakan bahwa warga diminta secara sukarela, untuk meninggalkan tanah dan bangunannya.
“Maka kami pastikan sampai kapan pun ratusan kali teguran ratusan kali peringatan ketika putusan itu ada, maka ini adalah kewenangan, sekali lagi, kewenangan dari pengadilan khususnya ketua pengadilan untuk meng-acc baik dilakukannya eksekusi maupun ditolaknya eksekusi. Maka dari itu, sekali lagi, atas dasar ketidakjelasan, subjek tergugat, ketidakjelasan wilayah wilayah objek yang disengketakan, maka hal itu sebetulnya sudah sangar jelas bahwa yang namanya eksekusi harus dibatalkan demi hukum,” tegas Angga selaku ketua Forum Dago Melawan
Warga mendesak agar pengadilan dan ketua pengadilan mengeluarkan penetapan non-executable object.
“Meskipun mereka memiliki kemenangan di atas kertas, itu hanya akan menjadi seutas kertas. Dan yang menang siapa? Kita yang menang, yang menguasai lahan tanah warga dago elos dan seluruh ruang hidup kita.” kata Angga.
Heri Purnomo, tim advokasi Dago Melawan, menegaskan jika putusan aamaning tidak bisa diterima karena banyak ketidakjelasan dan merugikan warga.
“Berdasarkan tadi putusan atau aanmaning yang bapak bacakan, ya bapak tahu sendiri bahwa itu terdapat banyak sekali subjek yang ngaco. Terdapat pengulangan, maka kami beserta warga menolak untuk aanmaning itu pak,” terang Heri.
Warga tetap bersikukuh mempertahankan tanah yang sudah mereka tempati sejak lama. Lahan yang menjadi subjek gugatan ini berasal dari dokumen Eigendom Verponding di zaman kolonial Belanda. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), batas akhir untuk mengkonversi tanah Eigendom Verponding menjadi hak kepemilikan diatur sesuai dengan hukum yang berlaku hingga September 1980.
Hal ini berarti, jika ada tanah dengan status Eigendom Verponding, maka hak waris zaman Belanda tidak bisa ditegakkan hingga batas waktu tertentu.
Akibatnya, tanah tersebut secara otomatis menjadi milik negara bukan milik individu atau kelompok. Namun, meskipun demikian, tiga keturunan keluarga Muller tetap kukuh dalam keyakinan bahwa lahan di Dago Elos merupakan hak waris yang seharusnya menjadi milik mereka, sehingga mereka tetap mengajukan gugatan.
Redaktur: Dini Putri